Sekolah yang Terlalu Sibuk Berlomba, Lupa Membesarkan Jiwa

Sekolah Tak Lagi Membesarkan Manusia (Gemini AI)

Deskripsi: Sekolah berubah jadi arena lomba tanpa henti. Anak tak diberi waktu tumbuh, hanya dituntut menang. Lalu siapa yang memanusiakan mereka?

Kadang saya duduk sendiri, termenung melihat buku rapor anak-anak. Di situ tertulis angka-angka, grafik, ranking, dan indikator keberhasilan lainnya. Tapi tak ada ruang untuk bertanya: apakah mereka bahagia? Apakah mereka tumbuh menjadi manusia yang mengenal dirinya? Apakah mereka merasa cukup dicintai, diterima, dan dihargai meski tidak selalu menang?

Saya sering merasa bahwa pendidikan kita sudah terlalu jauh tersesat. Sekolah bukan lagi ladang tempat anak-anak tumbuh dan berakar, tapi sudah menjelma menjadi arena lomba tanpa henti. Setiap hari adalah kompetisi. Setiap proses dinilai dari hasil. Setiap anak harus bisa menjadi “yang terbaik”, tanpa sempat menjadi dirinya sendiri.


Logika Lomba yang Membunuh Pertumbuhan

Coba tengok ke ruang kelas hari ini. Dari SD sampai SMA, bahkan sampai kampus. Ada ranking, ada perbandingan nilai, ada seleksi, ada target nilai rapor dan standar ujian. Tak ada tempat bagi yang berjalan pelan. Tak ada waktu bagi yang masih ingin memahami. Yang dihargai adalah yang cepat, yang unggul, yang tampil.

Logika ini seperti tak pernah berhenti. Bahkan ketika anak-anak baru belajar menulis, mereka sudah ditanya: siapa yang paling bagus tulisannya? Siapa yang paling cepat selesai PR? Siapa yang hafal paling banyak?

Dan kita—orang tua, guru, sistem pendidikan—secara tidak sadar mendorong mereka ke jalur itu. Kita ingin anak kita “lebih pintar dari yang lain”. Kita bangga saat mereka juara. Kita posting nilai-nilainya di media sosial. Tanpa sadar, kita mengikatkan harga diri anak pada keberhasilannya dalam perlombaan yang kita ciptakan sendiri.

Lalu bagaimana dengan anak yang tak menang?

Dia dianggap kurang. Bahkan oleh dirinya sendiri.

Padahal, pertumbuhan manusia tidak pernah seragam. Tidak ada benih yang tumbuh dengan waktu yang sama. Ada yang cepat tinggi, ada yang baru mekar saat orang lain sudah berbuah. Tapi sistem kita tak sabar. Kita hanya menghargai siapa yang tumbuh paling dulu. Bukan siapa yang tumbuh utuh.


Anak Kehilangan Makna Belajar

Saya pernah bertanya pada seorang anak SMP: “Kamu belajar karena apa?”

Jawabnya polos, “Biar dapat nilai bagus, bisa masuk SMA favorit.”

Saya diam. Bukan karena tidak setuju, tapi karena sedih. Belajar tak lagi soal ingin tahu. Bukan lagi karena ingin memahami dunia. Tapi karena tuntutan nilai, ranking, dan jalur prestasi.

Anak-anak seperti itu tidak salah. Mereka hanya sedang bertahan dalam sistem yang mengajarkan bahwa “belajar adalah untuk menang”, bukan untuk tumbuh. Mereka menjadi cerdas secara akademik, tapi perlahan kehilangan rasa ingin tahu yang tulus.

Bayangkan, betapa sayangnya. Potensi besar dalam diri anak bisa layu hanya karena terlalu sering dibandingkan. Bahkan sebelum mereka tahu siapa dirinya, mereka sudah diminta mengalahkan orang lain.


Ketika Anak Tak Diberi Ruang Gagal

Lomba demi lomba, seleksi demi seleksi, membuat anak takut gagal. Mereka tak pernah diberi ruang untuk salah. Padahal kegagalan adalah bagian dari pertumbuhan.

Saya mengenal seorang anak SD yang sangat cerdas, tapi tiba-tiba enggan ke sekolah. Setelah digali, ternyata ia takut mendapat nilai jelek di ujian. Ia tidak ingin mengecewakan guru dan orang tuanya. Ia tidak ingin “turun ranking”.

Inikah pendidikan yang kita harapkan? Anak-anak yang belajar dengan ketakutan?

Pertumbuhan sejati lahir dari keberanian mencoba, dari kegagalan yang dipeluk, dari proses yang dihargai. Tapi sekolah sering kali terlalu sibuk melihat hasil. Anak yang nilainya bagus dipuji. Yang nilainya turun, ditekan. Tak ada waktu untuk menanyakan, “Ada apa denganmu? Kamu baik-baik saja?”


Mengubah Arah: Dari Lomba Menjadi Ruang Bertumbuh

Sekolah seharusnya menjadi tempat di mana anak-anak belajar mengenal dirinya, bukan melupakan dirinya demi menjadi seperti orang lain.

Kita perlu mengembalikan makna belajar. Bahwa belajar bukan untuk nilai, tapi untuk kehidupan. Bahwa keberhasilan bukan soal mengalahkan, tapi soal memahami dan berkembang.

Bagaimana caranya?

Mungkin dimulai dari hal kecil. Dari guru yang tak hanya mengumumkan ranking, tapi juga memberi ruang dialog personal. Dari orang tua yang tak sekadar menanyakan nilai ulangan, tapi juga menanyakan: “Apa yang kamu pelajari hari ini? Apa yang kamu rasakan?”

Mungkin dari sekolah yang mulai menghargai keunikan setiap anak. Yang memberi waktu lebih untuk yang berjalan lambat. Yang tak menjadikan anak sebagai angka dalam grafik, tapi sebagai jiwa yang sedang bertumbuh.

Dan yang paling penting: dari kesediaan kita semua untuk berhenti memaksa anak selalu jadi juara. Karena kadang, justru dalam kekalahan mereka belajar menjadi manusia yang tangguh.


Penutup: Kembali Menjadi Sekolah yang Menumbuhkan

Saya membayangkan sebuah sekolah yang bukan tempat lomba, tapi taman tumbuh. Di sana, anak boleh gagal tanpa malu. Boleh lambat tanpa dihina. Boleh berbeda tanpa dikucilkan. Di sekolah seperti itu, anak belajar tak hanya matematika dan IPA, tapi juga empati, keberanian, dan cinta pada dirinya sendiri.

Mungkin memang sulit mengubah sistem yang sudah puluhan tahun seperti ini. Tapi perubahan bisa dimulai dari hati. Dari guru yang mengajar dengan empati. Dari orang tua yang mendukung dengan kasih. Dari kepala sekolah yang berani berkata: “Kita tidak sedang mencetak pemenang, kita sedang membesarkan manusia.”

Sekolah bukan panggung kompetisi. Sekolah adalah ruang pertumbuhan. Kalau kita bisa kembali pada esensi itu, mungkin kita tak lagi butuh ranking untuk tahu bahwa anak-anak kita sudah hebat—cukup lihat bagaimana mereka tumbuh menjadi manusia yang utuh.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *