Bukan Sekadar Pintar: Menanamkan Ketekunan agar Anak Belajar Bertahan, Bukan Cepat Menyerah

Deskripsi: Ketekunan tak selalu lahir dari nilai bagus. Ia tumbuh dari kegigihan, pengulangan, dan dorongan lembut yang terus menerus. Ketika anak diajak tekun, mereka belajar tentang daya juang yang sesungguhnya.
CHARACTER LEARNING – Aku pernah melihat anakku frustrasi karena tak bisa mengerjakan soal matematika. Pensil dilempar, air mata keluar, dan kalimat itu muncul: “Aku nggak bisa. Aku memang nggak pintar.” Rasanya seperti ditampar. Bukan karena ia gagal menjawab soal, tapi karena ia menyerah terlalu cepat. Saat itu aku sadar, ini bukan cuma soal pelajaran. Ini soal ketekunan. Tentang daya juang. Tentang bagaimana ia kelak akan menghadapi hal-hal sulit di hidupnya—bukan hanya soal ujian.
Sebagai orang tua, mudah sekali terjebak pada target: nilai tinggi, ranking bagus, lulus ujian. Tapi hari itu aku bertanya pada diriku sendiri: apakah aku sudah cukup memberi ruang bagi anakku untuk gagal… dan bangkit lagi? Bukan hanya memuji ketika dia berhasil, tapi mendampingi ketika dia kesulitan.
Aku mulai memahami bahwa belajar bukan tentang seberapa cepat anak mengerti, tapi seberapa lama dia bersedia bertahan saat belum paham. Dan di titik itulah ketekunan lahir—bukan dari bakat, tapi dari keuletan. Dari kesediaan untuk mencoba lagi. Dari keberanian untuk salah dan tetap bertahan di situ.
Mengenalkan ketekunan pada anak, bagiku, bukan lewat ceramah. Anak-anak tidak belajar dari teori, mereka belajar dari pengalaman. Maka aku mulai dari hal-hal kecil. Mengajak anak menyusun puzzle tanpa buru-buru membantu. Menemani mereka membaca buku sulit tanpa menyela. Menyemangati mereka menyelesaikan proyek sederhana, seperti membuat miniatur rumah dari kardus, meski lemnya berceceran dan bentuknya tak sempurna.
Ketika mereka berkata, “Aku nggak bisa,” aku belajar menahan diri untuk tidak langsung berkata, “Bisa kok, gampang ini.” Karena baginya, itu tidak terasa gampang. Sebaliknya, aku bilang, “Memang sulit, ya? Tapi kamu sudah sampai sejauh ini, coba sedikit lagi.” Aku ingin mereka tahu bahwa sulit itu bukan alasan untuk berhenti.
Aku juga berusaha berhenti terlalu sering memuji hasil. Aku belajar memuji proses: “Wah, kamu tekun banget tadi baca bukunya sampai selesai.” Atau, “Aku lihat kamu berkali-kali nyoba gambar itu sampai pas. Hebat, lho.” Karena anak-anak perlu tahu bahwa usahanya dihargai, bukan hanya pencapaiannya.
Tentu ada tantangan. Di zaman serba instan ini, bahkan kita sebagai orang tua kadang sulit bersabar. Kita ingin semuanya cepat selesai, termasuk proses belajar anak. Tapi membentuk ketekunan butuh waktu. Ia tidak bisa tumbuh dari tekanan, hanya dari pendampingan yang konsisten dan sabar.
Ada masa ketika anakku belajar naik sepeda. Awalnya penuh tangis dan luka kecil. Tapi kami sepakat: tidak harus bisa hari ini. Cukup latihan sedikit demi sedikit. Kami rayakan kemajuan sekecil apa pun. Hari ketika ia berani duduk sendiri, kami rayakan. Hari ketika ia bisa mengayuh beberapa meter, kami bersorak. Dan hari ketika akhirnya ia bisa tanpa bantuan, kami tidak bicara soal kecepatan, tapi tentang keberanian dan kesungguhannya.
Dari situ aku melihat sendiri: ketika anak merasa didampingi dan tidak takut gagal, ia berani mencoba lebih lama. Dan saat ia melihat hasil dari ketekunannya sendiri, lahirlah rasa percaya diri yang berbeda. Bukan percaya diri karena dipuji pintar, tapi karena tahu dirinya mampu bertahan.
Menurutku, salah satu kesalahan umum dalam pendidikan anak adalah terlalu menekankan “pintar” sebagai tujuan utama. Padahal dunia tidak selalu berpihak pada yang pintar, tapi sering kali berpihak pada yang tekun. Yang tahan banting. Yang tidak mudah mundur ketika dihadapkan pada tantangan.
Maka, saat anakku menghadapi pelajaran yang sulit, aku tak lagi bertanya, “Kamu sudah bisa?” Tapi, “Sudah coba berapa kali?” Aku ingin ia mengerti bahwa mencoba itu lebih penting daripada langsung bisa. Dan bahwa belajar adalah proses, bukan perlombaan.
Ketekunan juga mengajarkan anak untuk menyukai proses, bukan hanya hasil. Karena hidup ini tak selalu menawarkan hadiah di ujung usaha. Tapi orang yang terbiasa tekun akan tetap berjalan, meski hasilnya tak selalu sesuai harapan. Dan itu adalah pelajaran yang akan berguna seumur hidup.
Menanamkan ketekunan memang tidak instan. Kadang melelahkan. Kadang membuat kita ragu apakah semua ini akan berhasil. Tapi di saat-saat tertentu, ketika anak akhirnya menyelesaikan tugas yang sulit, ketika ia berkata “Aku bisa!” dengan mata berbinar, semua lelah itu seolah terbayar.
Aku tidak tahu seperti apa masa depan anakku nanti. Tapi aku ingin ia tumbuh dengan satu keyakinan kuat: bahwa ia tidak harus jadi yang paling cepat, paling pintar, atau paling berbakat. Tapi kalau ia tekun, ia bisa sampai ke mana pun yang ia tuju.
Dan semoga, suatu hari nanti, saat hidup memberinya tantangan lebih besar daripada soal matematika, ia akan teringat pada semua proses kecil yang pernah ia lewati. Dan berkata pada dirinya sendiri, “Aku pernah gagal. Tapi aku juga pernah bangkit. Aku bisa mencoba lagi.”
Karena pada akhirnya, bukan kecerdasan yang membuat kita bertahan. Tapi ketekunan yang tak lelah bertumbuh—pelan, tapi pasti.[*}