Saat Ia Terlalu Mudah Menuduh: Mungkin Bukan Curiga, Tapi Luka Lama yang Belum Benar-Benar Sembuh

Deskripsi: Orang yang mudah menuduh bukan selalu karena suka curiga. Kadang, ia pernah dikhianati begitu dalam hingga trauma membuatnya sulit percaya, bahkan pada orang yang tulus.
CHARACTER LEARNING – Aku pernah punya teman yang seperti ini: setiap kali pasangannya telat pulang, ia gelisah. Ketika handphone tidak langsung dibalas, pikirannya langsung lari ke skenario terburuk. Bahkan ketika orang-orang di sekitarnya bersikap ramah, ia cenderung menganggap ada “udang di balik batu.”
Dulu aku mengira ia cuma orang yang negatif—sulit percaya, suka berprasangka, dan keras kepala. Tapi semakin lama aku mengenalnya, aku sadar: ada ketakutan besar yang tersembunyi di balik semua tuduhannya.
Ketika akhirnya ia membuka cerita masa lalunya, barulah aku mengerti. Ia pernah dikhianati. Tidak hanya sekali. Dulu ia sangat percaya pada orang-orang yang dekat dengannya—pasangan, teman, bahkan keluarga. Tapi kepercayaan itu dipatahkan, disangkal, ditertawakan. Dan sejak itu, ia merasa satu hal: dunia tidak aman.
Bukan karena ia tak ingin percaya. Tapi karena percaya itu menyakitkan.
Dan aku belajar satu hal penting dari situ: tidak semua orang yang mudah menuduh adalah orang yang suka mencari-cari kesalahan. Bisa jadi, itu adalah cara mereka bertahan. Cara mereka melindungi diri dari luka yang sama, yang dulu nyaris menghancurkan mereka.
Mungkin kamu pernah mengalaminya juga—berurusan dengan seseorang yang tampaknya selalu curiga, selalu bertanya “kamu sebenarnya jujur nggak sih?”, atau bahkan menuduh kita melakukan hal yang tidak kita lakukan. Rasanya melelahkan, kadang menyakitkan, karena kita merasa tidak dipercaya. Kita mungkin ingin berkata, “Aku ini bukan mereka yang menyakitimu dulu.” Tapi, apakah semua orang bisa dengan mudah membedakan masa lalu dan masa kini?
Trauma tidak bekerja seperti itu.
Luka yang dalam sering kali menyisakan sisa rasa takut yang tidak selesai. Dan ketika seseorang merasa pernah ditipu, dikhianati, atau ditinggalkan tanpa penjelasan, maka otaknya belajar satu hal: jangan percaya terlalu cepat. Jangan mencintai terlalu utuh. Jangan buka pintu terlalu lebar, karena bisa jadi orang yang masuk akan merusak semua yang kita jaga.
Dan inilah yang membuat sebagian orang jadi “suka menuduh”. Bukan karena mereka ingin ribut. Tapi karena hati mereka terlalu waspada. Mereka terus-menerus mengawasi tanda-tanda bahwa “ini akan terjadi lagi.” Terkadang, bahkan sebelum ada ancaman nyata, mereka sudah bersiap menyerang lebih dulu—karena takut diserang lebih dahulu.
Refleksi ini membuatku berpikir ulang tentang cara kita menanggapi orang-orang seperti itu. Kita sering terburu-buru berkata, “Kamu paranoid”, atau “Kamu terlalu drama.” Padahal, yang sedang kita hadapi bukan sekadar sikap negatif—tapi sistem pertahanan diri. Orang-orang seperti ini bukan tidak tahu bahwa mereka menyakiti kita. Tapi kadang, rasa takut dalam diri mereka lebih besar dari kesadarannya.
Apakah artinya kita harus mentoleransi semua tuduhan yang menyakitkan? Tentu tidak. Tapi yang bisa kita lakukan adalah menahan diri untuk tidak membalas dengan kemarahan. Kita bisa berkata, “Aku mengerti kamu pernah disakiti, tapi aku bukan orang yang sama.” Lalu menunjukkan lewat konsistensi, bahwa kita memang bisa dipercaya.
Sulit? Sangat. Tapi proses penyembuhan jarang mudah.
Dan ini berlaku juga untuk diri kita sendiri.
Mungkin dalam hidup kita pun, pernah ada masa ketika kita merasa dikhianati. Dikecewakan oleh seseorang yang kita percayai sepenuhnya. Jika tidak disadari dan disembuhkan, luka itu bisa membentuk pola: kita jadi sulit percaya. Mudah curiga. Gampang menyalahkan.
Aku pribadi pernah merasakannya. Setelah dikecewakan oleh seseorang yang sangat dekat, aku mulai menyimpan jarak dengan semua orang. Hubungan-hubungan setelahnya tidak pernah terasa hangat sepenuhnya. Karena dalam diriku ada suara kecil yang berkata, “Jangan terlalu dekat. Nanti kamu disakiti lagi.”
Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa aku membawa-bawa ketakutan lama ke dalam cerita baru. Dan waktu yang lebih lama lagi untuk belajar membedakan mana yang benar-benar ancaman, dan mana yang hanya bayang-bayang masa lalu.
Dari sana aku belajar: menyembuhkan luka kepercayaan bukan hanya soal memaafkan yang menyakiti, tapi juga belajar memberi kesempatan baru pada yang tidak bersalah.
Maka kalau kamu saat ini punya pasangan, teman, atau anggota keluarga yang sering menuduh, cobalah bertanya dalam hati: “Apa yang membuatnya merasa harus selalu waspada?”
Dan kalau kamu sendiri yang sering merasa curiga, marah, dan tersulut tanpa alasan jelas, mungkin ada baiknya bertanya: “Apa yang sedang kutakutkan? Dari mana asalnya?”
Kepercayaan itu rapuh, tapi bukan mustahil untuk dibangun kembali. Butuh waktu, kesabaran, dan terutama keberanian untuk mengakui bahwa kita pernah terluka.
Pada akhirnya, kita semua hanya ingin merasa aman. Tapi rasa aman tidak datang dari menyalahkan. Ia tumbuh dari pemahaman, ketulusan, dan ruang untuk sembuh—bersama-sama.[*]