Tanpa Sadar Sering Membentak Anak untuk Hal Sepele? Mungkin Ini yang Perlu Kita Renungkan

DESKRIPSI: Sering membentak anak karena hal sepele bisa jadi cerminan luka batin kita sendiri. Yuk, kita refleksi tanpa menghakimi diri.
CHARACTER LEARNING – Beberapa waktu lalu, saya mendapati diri saya membentak anak saya karena ia menumpahkan susu di lantai. Ia tidak sengaja melakukannya, tapi suara saya meninggi, wajah saya tegang, dan nada saya nyaris seperti marah pada musuh. Setelahnya, ia hanya diam. Matanya berkaca-kaca, tapi tak menangis. Saya tahu, di momen itu, ada bagian darinya yang terluka — bukan karena susu yang tumpah, tapi karena cara saya meresponsnya.
Ini bukan kejadian sekali dua kali. Dalam rutinitas yang padat, ketika lelah menumpuk, dan urusan rumah atau pekerjaan seperti tak ada ujungnya, sering kali bentakan jadi pelampiasan. Ironisnya, bukan karena anak melakukan kesalahan besar, tapi justru karena hal-hal kecil: mainan yang berserakan, baju yang tidak dilipat, atau ia terlalu lama di kamar mandi.
Saya mulai bertanya pada diri sendiri: kenapa saya, yang mencintai anak saya lebih dari apa pun, bisa berubah jadi sosok yang begitu mudah marah?
Luka Lama yang Belum Sembuh
Saat saya mencoba jujur pada diri sendiri, saya menemukan satu benang merah: saya tumbuh dalam lingkungan yang serba cepat dan kaku. Dulu, ketika saya melakukan kesalahan, saya sering dibentak. Bukan karena orang tua saya jahat, tapi karena mereka pun membawa luka dari masa kecil mereka. Kita semua — secara tidak sadar — adalah pewaris pola asuh yang belum tentu sehat.
Saya sadar, sering kali saya membentak bukan karena anak saya salah, tapi karena saya merasa tidak berdaya. Karena saya ingin segala sesuatu berjalan “sempurna”, karena saya merasa gagal mengontrol keadaan. Dalam banyak kasus, bentakan itu bukan untuk anak, tapi pada rasa frustrasi dalam diri saya sendiri.
Mungkin ini juga yang dirasakan banyak orang tua di luar sana. Kita ingin menjadi orang tua yang sabar, tapi kelelahan dan tekanan sering mengambil alih.
Anak Tak Butuh Orang Tua yang Sempurna, Tapi yang Sadar
Saya belajar, anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka tidak butuh rumah yang selalu rapi, atau orang tua yang tidak pernah marah. Yang mereka butuhkan adalah orang tua yang mau belajar memahami, yang mau mengakui kesalahan, dan yang bisa berkata, “Maaf ya, tadi Mama membentak. Itu salah Mama.”
Mengucapkan kalimat maaf pada anak memang tidak mudah. Tapi percayalah, itu tidak membuat kita lemah. Justru, itu menunjukkan pada anak bahwa kita juga manusia, bahwa emosi itu valid, dan bahwa meminta maaf bukan tanda kalah, tapi tanda kedewasaan.
Anak-anak belajar bukan hanya dari apa yang kita katakan, tapi terutama dari apa yang kita lakukan. Ketika mereka melihat kita bisa mengelola emosi, mereka pun belajar melakukannya.
Memutus Rantai, Pelan-Pelan
Tentu saja ini tidak berarti kita bisa berubah dalam semalam. Saya pun masih terus belajar. Masih ada hari-hari di mana saya terpancing emosi. Tapi sekarang, saya lebih cepat sadar. Ketika suara saya mulai meninggi, saya mencoba menarik napas. Kadang saya pergi sejenak ke kamar mandi, mencuci muka, atau sekadar duduk diam selama satu menit.
Saya mulai menanamkan pada diri saya: tidak semua hal harus ditanggapi dengan marah. Tidak semua kesalahan harus dibalas dengan bentakan. Ada cara lain — yang lebih lembut, lebih tenang, lebih penuh kasih — untuk mengingatkan anak.
Kadang, justru ketika kita mampu menahan diri dan memilih untuk bicara baik-baik, anak lebih mudah mendengarkan.
Karena Anak Adalah Cermin Kita
Anak-anak adalah cermin kecil dari diri kita. Mereka menyerap emosi, nada suara, bahkan bahasa tubuh kita. Mereka merekam semuanya, bahkan ketika kita mengira mereka tidak memperhatikan.
Suatu kali, saya melihat anak saya membentak adiknya karena hal sepele. Nada suaranya mirip saya. Intonasinya, ekspresi wajahnya — semuanya seperti bayangan saya dalam versi kecil. Saat itu saya tersadar: jika saya tidak berubah, ia akan mewarisi pola ini. Dan mungkin, suatu saat nanti, ia akan menyakiti orang lain dengan cara yang sama.
Bukan karena ia ingin, tapi karena ia belajar dari saya.
Belajar Memahami, Bukan Menghakimi Diri
Perjalanan ini membuat saya belajar satu hal penting: memaafkan diri sendiri. Saya bukan orang tua yang sempurna. Tapi saya mau berubah. Dan itu cukup.
Jika kamu juga pernah merasa bersalah karena membentak anak, jangan tenggelam dalam rasa bersalah. Jadikan itu bahan refleksi. Duduklah sejenak, tarik napas, dan tanyakan pada diri: “Apa yang sebenarnya sedang saya rasakan?” Kadang, kita butuh menangis dulu agar bisa tenang. Kadang, kita hanya butuh dipeluk — walau hanya secara emosional oleh diri sendiri.
Perubahan dimulai dari kesadaran kecil. Dari keberanian untuk berkata: “Aku tidak ingin mewariskan luka ini lagi.”
Penutup: Menjadi Orang Tua yang Lebih Hadir
Menjadi orang tua adalah perjalanan panjang. Kita akan jatuh bangun. Tapi yang penting, kita terus melangkah. Anak-anak tidak menuntut kita untuk selalu benar. Mereka hanya ingin kita hadir — dengan hati, dengan kesadaran, dan dengan cinta yang tidak dibungkus bentakan.
Mungkin, hari ini kita membentak. Tapi besok, kita bisa memeluk dan berkata, “Maaf ya, Nak. Mama sedang belajar.”
Dan itu adalah langkah besar.[*]