Sering Mengatur Semua Pilihan Anak Tanpa Bertanya? Hati-Hati, Kita Bisa Merampas Suara Mereka

Tidak Bermaksud Mengontrol, Tapi Terkadang Kita Terlalu Mengendalikan (Gemini AI)

DESKRIPSI : Mengatur hidup anak tanpa berdialog bisa membuat mereka tumbuh tanpa percaya diri dan takut mengambil keputusan. Yuk refleksi, bukan menghakimi.

CHARACTER LEARNING – Saya pernah bersikeras anak saya harus memilih jurusan IPA, karena menurut saya itu lebih “aman” untuk masa depannya. Ia diam saja saat saya bicara panjang lebar tentang prospek kerja, gaji, dan prestise. Saya pikir ia setuju — atau setidaknya mengerti. Tapi beberapa minggu kemudian, saya temukan ia menangis diam-diam di kamarnya, memandangi brosur jurusan seni yang selama ini disimpannya diam-diam.

Hati saya mencelos. Saya sadar, selama ini saya bukan sedang membimbing — saya sedang memutuskan hidupnya.

Tanpa sadar, kita sering memakai kalimat seperti:

  • “Pokoknya kamu ikut kata Mama, ini yang terbaik.”
  • “Nanti juga kamu ngerti kenapa ini keputusan yang benar.”
  • “Kamu belum cukup umur buat ambil keputusan sendiri.”

Dan walaupun niat kita baik, kadang niat baik pun bisa melukai — jika tidak dibarengi ruang dialog.

Niat Melindungi yang Berubah Jadi Mengendalikan

Sebagai orang tua, tentu kita ingin anak-anak kita aman, sukses, dan tidak salah langkah. Tapi dalam proses itu, kita kadang lupa bahwa mereka adalah individu yang berbeda dari kita. Mereka punya minat, rasa takut, dan nilai-nilai sendiri. Saat kita mengatur semua pilihan mereka — dari pakaian yang harus mereka pakai, teman yang boleh mereka dekati, sampai jalan hidup yang harus mereka tempuh — kita sebenarnya sedang merampas sesuatu yang sangat penting: rasa percaya diri dan otonomi.

Anak yang tumbuh dengan segala keputusan dibuatkan, sering kali tumbuh ragu terhadap dirinya sendiri. Ia akan bertanya terus-menerus pada orang lain, takut mengambil sikap, atau bahkan takut membuat kesalahan kecil. Karena ia tidak terbiasa dipercaya untuk memilih.

Saat Dialog Dikesampingkan, Hubungan pun Terkikis

Saya belajar, bahwa mengatur semua hal atas nama “kasih sayang” tanpa membuka ruang dialog bisa menjadi bom waktu dalam hubungan orang tua-anak. Mungkin sekarang anak kita menurut, diam, atau terlihat patuh. Tapi diam bukan selalu tanda setuju. Kadang, itu tanda mereka menyerah untuk didengar.

Dan ketika mereka mulai remaja, kadang kemarahan mereka meledak. Bukan karena satu keputusan, tapi karena akumulasi dari banyak hal yang dulu mereka tahan — karena mereka tidak merasa punya suara dalam rumahnya sendiri.

Bukankah Kita Dulu Pernah Merasa Begitu?

Saya refleksi, saya pun pernah menjadi anak yang merasa tidak punya kendali atas hidup sendiri. Saat saya ingin mengambil jalur seni, saya dianggap tidak realistis. Saat saya ingin mengenakan pakaian berbeda dari saudara-saudara saya, saya dianggap memberontak. Akhirnya, saya tumbuh menjadi pribadi yang patuh di luar, tapi memberontak dalam diam.

Dan kini, tanpa sadar, saya mulai mengulang pola itu ke anak saya. Saya lupa, bahwa menjadi orang tua bukan berarti menjadi pemilik mutlak kehidupan anak. Kita adalah pendamping, bukan pengendali.

Dialog Adalah Ruang Bertumbuh Bersama

Ketika saya mulai mengubah pendekatan, hasilnya mengejutkan. Saya mulai bertanya sebelum memutuskan. Saya tidak langsung menolak ide anak saya, walau kadang terasa “nggak masuk akal” di kepala saya.

Contohnya, saat ia ingin menata ulang kamarnya dengan gaya yang menurut saya aneh. Dulu saya pasti akan berkata, “Itu bikin sumpek! Sudah, ikut saja kata Mama.” Tapi kali ini saya tanya, “Kenapa kamu mau atur begitu?” Ia menjelaskan panjang lebar soal kenyamanan dan ruang kreativitasnya.

Dan ternyata, ketika saya beri ruang, ia bisa menjelaskan dengan sangat masuk akal. Ia tidak sembarangan. Ia tahu apa yang ia mau. Dan yang lebih penting, ia merasa dihargai.

Sejak itu, saya belajar bahwa dialog tidak melemahkan otoritas orang tua. Justru, itu memperkuat kepercayaan anak pada kita.

Belajar Melepaskan dengan Bijak

Tentu bukan berarti semua keputusan harus diberikan pada anak, apalagi jika usianya masih kecil. Tapi kita bisa melibatkan mereka dalam proses. Misalnya, saat memilih baju, beri pilihan: “Kamu mau pakai yang biru atau merah hari ini?” atau saat menentukan kegiatan di akhir pekan, tanya, “Kamu lebih suka ke taman atau di rumah saja hari ini?”

Mereka belajar dari pilihan-pilihan kecil. Dan seiring waktu, kita bisa membimbing mereka mengambil keputusan yang lebih besar, bukan dengan paksaan, tapi dengan diskusi.

Anak yang Dilibatkan, Akan Tumbuh Percaya Diri

Anak-anak yang diberi ruang untuk bicara dan memutuskan akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang sehat. Mereka tahu bahwa suaranya berharga. Mereka belajar menimbang risiko. Mereka belajar bahwa keputusan itu punya konsekuensi, dan mereka belajar dari proses itu.

Mereka tidak akan tumbuh sebagai anak yang takut salah. Tapi sebagai anak yang tahu bahwa salah adalah bagian dari perjalanan belajar.

Dan kita, sebagai orang tua, akan menjadi tempat pulang yang aman. Bukan karena kita selalu benar, tapi karena kita selalu siap mendengar dan berdialog.

Penutup: Mari Kita Mundur Selangkah, Agar Anak Bisa Melangkah ke Depan

Menjadi orang tua tidak mudah. Kita ingin yang terbaik, tapi kadang lupa caranya. Tapi selama kita mau merefleksi, memperbaiki, dan membuka ruang bagi anak untuk tumbuh sebagai dirinya sendiri, kita sudah berada di jalan yang benar.

Mungkin kita pernah terlalu mengatur. Tapi hari ini, kita bisa mulai bertanya:
“Menurut kamu bagaimana?”
Sederhana, tapi bisa jadi awal dari hubungan yang lebih sehat dan anak yang lebih merdeka.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *