Qurban Bukan Soal Sapi Besar, Tapi Hati yang Lapang: Makna Berkorban yang Tak Selalu Terlihat

Semakin Besar, Semakin Ikhlas? (Gemini AI)

DESKRIPSI : Qurban tak melulu tentang hewan paling besar atau harga paling mahal. Justru, qurban sejati lahir dari hati yang rela memberi, meski diam-diam, tanpa ingin dilihat atau dipuji.

CHARACTER LEARNING – Saya pernah berdiri cukup lama di pelataran masjid, menyaksikan satu per satu sapi qurban diturunkan dari truk. Ada yang kecil, kurus, tampak biasa. Tapi ada pula yang besar, gemuk, kulitnya mengilap seperti baru dimandikan dengan sampo mahal. Orang-orang mulai berkerumun. Beberapa mengangguk-angguk sambil berdecak, “Wah, ini pasti dari Pak Haji yang itu.”

Saya tersenyum. Di satu sisi, saya ikut bahagia karena qurban memang menjadi ajang berbagi. Tapi di sisi lain, saya mulai berpikir: bagaimana kita diam-diam mulai mengukur makna qurban dari ukuran hewan, bukan dari kelapangan hati?

Semakin Besar, Semakin Ikhlas?

Tentu saja tidak salah memberikan hewan qurban yang terbaik. Bahkan, itu sangat dianjurkan. Memberi yang terbaik kepada Allah adalah bentuk cinta. Tapi ketika yang terlihat menjadi satu-satunya yang dibicarakan, saya merasa ada yang perlahan hilang—makna terdalam dari qurban itu sendiri.

Anak saya, yang waktu itu masih sekitar delapan tahun, menarik ujung baju saya dan bertanya, “Bunda, kenapa orang-orang ribut banget sama sapi besar itu?”

Saya terdiam sejenak. Lalu menjawab, “Karena kadang, kita lebih gampang terkesan oleh yang besar dan mencolok. Tapi qurban yang Allah lihat bukan seberapa besar sapinya, tapi seberapa besar hatinya.”

Anak saya tampak bingung, tapi saya yakin kelak ia akan mengerti. Sebab, hati yang lapang tak selalu tampak di mata manusia, tapi selalu terang di hadapan Tuhan.

Tentang Seseorang yang Diam-Diam Qurban

Saya jadi teringat seseorang di lingkungan kami. Seorang ibu tua, tinggal sendirian, hidup sederhana. Tahun lalu, ia ikut qurban. Bukan sapi. Seekor kambing kecil yang ia beli dari tabungan bertahun-tahun. Tak banyak yang tahu. Ia bahkan menitipkan namanya tanpa ingin disebut di pengeras suara.

Tapi saat saya tanyakan, ia tersenyum, “Saya nggak ingin orang tahu. Biar cuma saya dan Allah yang tahu. Qurban saya kecil, tapi semoga cukup jadi tanda cinta.”

Saya menangis diam-diam hari itu. Bukan karena kambing kecilnya, tapi karena hati besarnya. Saya merasa, di antara gemerlap sapi-sapi mahal, qurban ibu itu paling menyentuh langit.

Mengajarkan Anak: Qurban Bukan Kompetisi

Anak-anak kita tumbuh di dunia yang suka membandingkan. Siapa yang paling banyak, paling besar, paling mewah. Bahkan dalam hal qurban, bisa muncul bisik-bisik, “Wah, tahun ini dia nyumbang sapi. Tahun lalu cuma kambing.” Padahal, niat beribadah bukanlah panggung untuk dipamerkan.

Saya ingin anak saya tahu sejak dini bahwa qurban bukan kompetisi. Maka saya ajak ia menghitung tabungan sedekahnya, lalu menambahkan dari uang jajan yang ia kumpulkan. Kami tak membeli kambing, bahkan belum sampai setengahnya. Tapi saya bilang, “Yang penting kita niatkan. Allah itu lebih melihat usaha dan niat kita daripada hasilnya.”

Dan ia tersenyum. “Bunda, aku senang. Walau belum bisa beli kambing, aku ikut bantu.”

Di situlah saya melihat: hati lapang bisa tumbuh sejak kecil, asal kita tanamkan bahwa qurban bukan sekadar ritual, tapi latihan ikhlas yang pelan-pelan membentuk jiwa.

Lapang Hati: Itulah Inti Qurban

Qurban berarti mendekat. Bukan hanya mendekatkan hewan sembelihan pada tempat pemotongan, tapi mendekatkan hati pada Sang Pemberi Segala. Dan cara terbaik untuk dekat adalah melepas—melepas apa yang kita cintai demi Dia yang kita cintai.

Kadang, bukan hewan qurban yang paling berat untuk diserahkan, tapi ego. Kadang, bukan uang yang sulit dilepaskan, tapi rasa ingin diakui, ingin dipuji, ingin dilihat paling baik. Dan di sanalah qurban menjadi latihan membersihkan niat.

Saya pernah menyaksikan seseorang yang sedih karena ia “hanya mampu berqurban kambing kecil”. Tapi saya katakan, “Yang kau serahkan bukan kambing itu. Yang kau serahkan adalah hatimu. Dan saya rasa, hatimu sangat besar.”

Qurban dan Rasa Cukup

Momen qurban juga mengajarkan kita tentang rasa cukup. Bahwa kita tidak harus memiliki segalanya untuk bisa memberi. Bahwa memberi tidak menunggu berlebih, tapi menunggu keberanian melepas.

Saya ingat satu kalimat sederhana yang pernah saya dengar dari seorang ustaz, “Kadang Allah tidak menilai besarnya daging yang kau berikan, tapi berapa banyak cinta yang kau ikhlaskan.”

Daging bisa habis dalam sehari. Tapi hati yang dilatih ikhlas—itulah yang terus tumbuh dan bertahan.

Mengubah Fokus: Dari Besar ke Dalam

Tahun ini, saya ingin mengajak keluarga kecil kami untuk mengubah cara pandang terhadap qurban. Bukan siapa yang paling besar sapinya, tapi siapa yang paling tenang dan tulus dalam niatnya. Bukan soal dagingnya sampai ke mana, tapi soal seberapa banyak hati yang disentuh oleh cinta dan empati kita.

Qurban bukan soal seberapa banyak kita sembelih, tapi seberapa banyak kesombongan yang kita relakan untuk ditanggalkan. Bukan soal nama kita disebut di mikrofon masjid, tapi apakah nama kita terucap dalam doa mereka yang menerima.

Dan bukan soal apa yang kita lepaskan, tapi apakah setelah itu kita menjadi manusia yang lebih ringan, lebih lapang, lebih dekat pada-Nya.

Penutup: Mari Belajar dari Ibu Tua Itu

Jika boleh memilih satu pelajaran qurban yang paling membekas dalam hidup saya, maka saya akan menunjuk kembali pada ibu tua yang diam-diam ikut qurban. Ia tak dikenal, tak disebut, bahkan tak terlihat. Tapi saya yakin, di langit sana, namanya ditulis dalam tinta cinta.

Sebab dalam dunia yang suka riuh, ia memilih sunyi. Dalam dunia yang suka sorotan, ia memilih sembunyi. Tapi justru di sanalah, qurban menjadi paling murni: bukan soal apa yang terlihat, tapi soal siapa yang ikhlas.

Maka untuk tahun ini, jika kita punya sapi besar, mari niatkan sepenuh hati. Tapi jika hanya mampu menyumbang secuil tabungan, tak usah malu. Sebab di mata Tuhan, besar kecil bukan ukuran. Yang dilihat adalah lapangnya hati.

Dan semoga, qurban tahun ini bukan sekadar rutinitas, tapi momen untuk membersihkan hati—agar lebih ringan, lebih tenang, dan lebih dekat pada Yang Maha Memberi.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *