Guru Seperti Laut yang Luas: Menerima Sungai Mana Pun, Menyimpan Dalamnya, dan Tak Cepat Menghakimi

Guru Seperti Laut yang Luas (Cici AI)

Deskripsi :
Refleksi pribadi tentang guru sejati yang seperti laut—lapang menerima siapa pun, tak menghakimi, dan selalu belajar. Guru yang memahami bahwa mengajar juga berarti terus menyelami diri.

CHARACTER LEARNING – Ada satu sosok dalam hidup saya yang hingga kini masih terasa seperti teka-teki yang hangat. Bukan karena ia rumit, tapi karena setiap kali saya mengenangnya, ada lapisan baru yang muncul. Seperti laut yang tampak tenang di permukaan, tapi menyimpan dunia penuh keajaiban di kedalaman.

Ia adalah guru saya di masa sekolah menengah. Tidak keras, tidak galak, tapi juga bukan tipe guru yang selalu ceria atau penuh gimik. Ia tenang. Ia hadir seperti ombak kecil yang menyapa perlahan. Tidak memaksa, tidak mendominasi, tapi terasa.

Dulu, saya tidak benar-benar memahami betapa istimewanya ia. Ia bukan guru yang suka menghakimi. Tidak cepat memberi cap atau label. Bahkan ketika sebagian besar guru lain sudah terbiasa berkata, “Kamu malas,” atau, “Kamu ini memang bandel,”—guru ini hanya diam, mengamati, dan lalu berkata pelan, “Ada apa, nak?”

Itu saja. Tapi terasa dalam.
Saya merasa diterima. Tidak dinilai. Tidak langsung disimpulkan.

Seperti laut yang menerima sungai dari mana pun, ia menerima kami semua dengan latar belakang yang berbeda. Anak dari keluarga rumit, anak dari keluarga mapan, anak yang pendiam, anak yang sulit diatur—semuanya diterima tanpa syarat.

Ia tidak buru-buru menyimpulkan hanya dari rapor, sikap di kelas, atau keluhan guru lain. Ia percaya bahwa anak-anak adalah makhluk yang sedang mencari arah, bukan pelaku kesalahan permanen.

Saya pernah melihatnya duduk dengan seorang siswa yang kerap membolos. Ia tidak marah. Tidak berteriak. Hanya bertanya, dengan keheningan yang membuat siapa pun jujur.
Dan entah bagaimana, anak itu berubah perlahan. Bukan karena dimarahi, tapi karena merasa dilihat sebagai manusia, bukan sebagai masalah.

Saya mulai sadar, guru ini bukan hanya mengajar pelajaran, tapi juga memperlihatkan bagaimana menjadi manusia yang utuh—yang luas jiwanya, yang dalam hatinya.

Laut tidak merasa perlu menjelaskan dirinya kepada semua orang.
Ia tidak membentak agar dipahami. Ia tidak mengancam agar dihormati.
Ia cukup hadir, dengan ketenangan dan keluasan yang membuat siapa pun merasa cukup kecil untuk belajar dan cukup diterima untuk tumbuh.

Dan saya pikir, begitulah guru seharusnya.

Tidak merasa lebih tahu. Tidak takut untuk belajar dari muridnya.
Tidak minder menerima kekurangan, dan tidak jumawa atas kelebihan.

Saya pernah bertanya kepadanya, “Kenapa Bapak tidak pernah marah seperti guru lain?”
Ia tertawa pelan dan berkata, “Karena saya pernah jadi anak seperti kamu. Dan saya tahu, anak kadang bukan butuh marah, tapi butuh dimengerti.”

Jawaban itu membekas.
Mungkin karena saya sadar, selama ini saya terlalu sering melihat guru sebagai pihak yang selalu benar. Tapi ia menunjukkan bahwa guru pun manusia—yang pernah salah, pernah bingung, pernah belajar, dan masih terus belajar.

Ia tidak membuat kami takut untuk jujur. Ia tidak membunuh rasa ingin tahu dengan kalimat, “Jangan tanya yang aneh-aneh.”
Sebaliknya, ia akan berkata, “Saya tidak tahu pasti. Tapi yuk, kita cari tahu sama-sama.”

Dan di situ saya belajar bahwa menjadi guru bukan soal tahu lebih dulu, tapi berani belajar bersama.

Seperti laut yang tidak pernah penuh, ia selalu siap menerima aliran baru. Sungai baru. Pemikiran baru. Bahkan kritik dari murid pun tak membuatnya defensif.

Ada satu kejadian kecil yang masih saya ingat. Waktu itu, saya secara spontan menyanggah pendapatnya di kelas, karena saya membaca hal berbeda dari sumber lain. Ia tidak marah. Tidak juga membenarkan dirinya. Ia malah berkata, “Menarik, ya. Jadi kita bisa lihat dari dua sisi.”
Itu adalah kali pertama saya merasa pendapat saya—sebagai anak SMA yang biasa-biasa saja—dianggap setara oleh seorang guru.

Dan saya kira, itulah dalamnya laut.
Ia tidak merasa harus selalu di atas. Ia tahu bahwa dalam dunia belajar, siapa pun bisa jadi guru, siapa pun bisa jadi murid.

Guru seperti ini tidak banyak bicara tentang “mental juara” atau “anak hebat”.
Tapi ia hadir bagi anak-anak yang tidak tahu harus mulai dari mana. Anak-anak yang canggung, yang ragu-ragu, yang bertanya, “Apakah aku cukup baik?”
Dan dengan tatapan matanya yang tenang, ia menjawab tanpa kata: “Kamu cukup. Di sini, kamu boleh jadi dirimu sendiri.”


Kini, saya menyadari satu hal penting:
Laut tidak harus membuktikan bahwa ia dalam. Ia cukup diam, dan mereka yang menyelam akan tahu.
Begitu pula guru sejati. Ia tidak harus memamerkan ilmunya, atau membuat semua tunduk pada wibawanya. Ia cukup hadir, dan dari caranya menerima, kita tahu kedalaman jiwanya.

Tidak semua orang bisa jadi laut.
Kadang kita lebih mirip kolam dangkal—mudah panas, mudah marah, mudah menghakimi.
Tapi kita bisa belajar.
Belajar untuk mendengarkan lebih lama.
Belajar untuk bertanya sebelum menyimpulkan.
Belajar untuk tidak membentuk opini hanya dari angka dan rapor.

Karena setiap anak adalah sungai.
Ada yang deras. Ada yang lambat. Ada yang berliku. Ada yang keruh. Tapi semuanya butuh tempat berlabuh. Butuh lautan yang tidak menolak.


Jika kamu adalah guru, atau calon guru, atau siapa pun yang mendampingi anak-anak—ingatlah,
menjadi luas lebih sulit daripada menjadi cerdas.
Menjadi dalam lebih indah daripada menjadi cepat.
Dan menjadi tempat yang bisa menerima, jauh lebih berarti daripada sekadar memberi nilai.


Guru seperti laut…
Ia mungkin tidak meninggalkan piala. Tapi ia meninggalkan ruang dalam hati murid-muridnya—tempat semua perasaan diterima, semua keraguan diredakan, dan semua harapan diselamatkan.

Dan jika suatu hari aku bisa menjadi seperti itu untuk orang lain,
aku tahu, aku sedang melanjutkan gelombang yang dulu sempat menyelamatkanku.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *