Mengorbankan Prestasi Duniawi: Menjadi Biasa di Mata Manusia, Istimewa dalam Pandangan Ilahi

Deskripsi :

Kadang Allah tidak menakdirkan kita jadi tokoh besar. Tapi hidup sederhana yang penuh cinta-Nya adalah pencapaian tertinggi—meski tak terlihat oleh mata manusia.


CHARACTER LEARNING – “Apa gunanya hidup jika tidak meninggalkan jejak besar?”

Itulah pertanyaan yang dulu sering mampir dalam kepalaku. Mungkin karena aku tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi kata “berprestasi”. Sejak kecil aku diajarkan bahwa hidup harus produktif, harus menonjol, harus jadi “sesuatu”.

Tidak cukup hanya menjadi baik. Kita harus menjadi yang terbaik. Tidak cukup hanya bahagia, harus diakui. Dan tidak cukup hanya hidup, harus berarti—tentu menurut standar dunia.

Lalu datanglah masa-masa ketika semua rencana tampak berantakan. Aku tidak menjadi sehebat yang kubayangkan. Cita-cita yang dulu membara satu per satu gugur. Hari-hari terasa biasa. Tidak ada prestasi menonjol. Tidak ada panggung. Tidak ada pengakuan.

Dan untuk waktu yang lama… aku merasa gagal.


Ketika Hidup Terlihat Sia-sia

Ada masa dalam hidupku ketika aku merasa seperti berjalan di tempat. Seperti hamster yang berlari di roda: capek, tapi tidak ke mana-mana.

Sementara teman-teman mulai meraih gelar, posisi penting, dikenal banyak orang, aku masih berkutat dengan urusan rumah tangga, pekerjaan kecil, dan hal-hal yang tidak akan pernah masuk headline media mana pun. Tidak ada yang memotretku. Tidak ada yang menyebut namaku di seminar. Tidak ada yang menunggu tulisanku terbit.

Hanya aku dan kehidupanku yang biasa-biasa saja.

Awalnya, aku menolak itu. Hatiku memberontak. “Aku diciptakan untuk sesuatu yang besar!” pikirku. Tapi lama-kelamaan, aku mulai mendengar bisikan lembut dari dalam diriku sendiri: “Bagaimana jika inilah takdirmu? Bukan untuk dilihat dunia. Tapi cukup untuk dilihat oleh-Nya.”


Pengorbanan Terhadap Obsesi Pencapaian

Tak mudah menerima bahwa dirimu mungkin tak akan pernah jadi siapa-siapa di mata manusia.

Kita hidup dalam budaya yang mengukur nilai diri dari pencapaian. Segalanya harus “ada hasilnya”. Bahkan waktu luang pun harus “produktif.” Sampai-sampai kita kehilangan kemampuan untuk sekadar hidup — dengan tenang, pelan, tanpa tekanan.

Tapi ternyata, dalam sunyi dan keheningan itu, aku justru menemukan satu pelajaran penting: bahwa hidup yang “tidak istimewa” di mata manusia bisa menjadi sangat istimewa di mata Tuhan—asal niat dan cintanya lurus.

Aku mulai belajar bahwa mengorbankan keinginan untuk diakui, adalah ibadah yang halus namun dalam. Menerima kenyataan bahwa waktu hidupku mungkin tidak akan ditulis dalam sejarah umat manusia, tapi cukup jika tertulis dalam catatan rahmat-Nya.


Menjadi Biasa adalah Ruang untuk Tulus

Ada kemerdekaan yang luar biasa ketika kita berhenti mengejar sorotan.

Kita bisa mencintai tanpa ingin dipuji. Kita bisa menulis, bekerja, merawat, membantu, tanpa mengharapkan imbalan selain ridha-Nya. Kita bisa bangun malam, menyapu halaman, menyuapi anak, menemani orang tua, bukan karena itu akan memberi kita standing ovation, tapi karena itu adalah bentuk cinta.

Dan kadang, hidup yang seperti itulah yang paling diberkahi.

Kita bisa bernapas dalam, memandangi langit, dan berkata, “Ya Allah, aku tahu hidupku mungkin tak akan besar. Tapi izinkan aku mencintai-Mu dengan segenap waktu hidupku yang kecil ini.”


Ada Nilai dalam Kesunyian

Dalam tradisi tasawuf, orang-orang besar bukan selalu yang tampak besar. Justru yang paling mulia adalah mereka yang tersembunyi, yang amalnya hanya diketahui oleh Allah. Yang menangis dalam sujudnya tanpa pernah diabadikan kamera. Yang memberi tanpa pernah mencatat angka.

Mereka tidak sibuk menata citra, tapi sibuk menjaga hati agar tetap jujur mencintai-Nya.

Dan aku ingin menjadi seperti itu. Atau setidaknya mencoba. Mengorbankan keinginan untuk “menjadi sesuatu” di dunia, dan menggantinya dengan hasrat untuk menjadi kekasih Allah—meski tak dikenal siapa-siapa.


Bukan Menyerah, Tapi Menyadari

Aku bukan sedang menyuruh siapa pun untuk berhenti bermimpi atau mengejar prestasi. Tapi aku ingin berbagi bahwa jika Allah menakdirkan hidupmu menjadi “biasa”, itu bukan aib. Itu bisa jadi jalan cinta.

Kita tetap boleh bercita-cita. Tapi kita juga perlu belajar melepaskan. Karena kadang Allah mencintai kita dengan cara yang tidak sesuai ekspektasi kita. Ia tidak selalu memberi panggung, tapi Ia memberi makna. Dan itu cukup.

Mungkin, sebagian dari kita ditakdirkan untuk menjadi seperti sumur tua di pekarangan sepi. Tidak dilihat orang. Tidak dikunjungi banyak. Tapi airnya tetap memberi hidup bagi yang haus. Diam-diam. Tulus. Tanpa pamrih.


Penutup: Waktu yang Tidak Sia-Sia

Kini aku mulai memahami, bahwa waktu yang kuanggap “sia-sia” dulu, justru mungkin adalah waktu terbaik dalam hidupku. Saat aku tidak sibuk mengejar pencitraan, tapi mulai mengenal siapa diriku sebenarnya.

Saat aku tidak memburu pengakuan, tapi menemukan bahwa Allah sudah lebih dulu mengakuiku sebagai hamba-Nya.

Hidupku mungkin tak akan pernah viral. Tak akan dibukukan. Tak akan jadi inspirasi banyak orang. Tapi jika hidup ini bisa membuatku semakin mencintai-Nya, maka tidak ada satu detik pun yang sia-sia.

“Ya Allah, jika seluruh waktuku hanya untuk mencintai-Mu dalam kesunyian, maka aku ridha. Dan semoga Engkau pun ridha.”[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *