Sabar: Zikir Tanpa Suara Seorang Ibu yang Menjadi Ibadah Tertinggi di Balik Hal-Hal yang Tak Terlihat

Deskripsi :
Kesabaran ibu sering sunyi, tersembunyi dari pandangan. Tapi di situlah letak ibadahnya—seperti zikir yang tak bersuara, tapi menggema dalam catatan langit.
Pernahkah kamu merasa kesabaranmu tidak dihargai? Pernahkah kamu menjadi ibu yang menahan diri untuk tidak membentak, menahan kantuk agar anak tidur nyenyak, menahan lapar demi bekal sekolah mereka cukup? Lalu tak ada yang tahu, tak ada yang melihat, tak ada yang bilang terima kasih?
Aku pernah. Bahkan sering.
Dan di sanalah aku belajar bahwa sabar seorang ibu bukan hanya perbuatan baik—tapi mungkin, itu adalah zikir yang paling dalam. Zikir tanpa suara.
**
Kesabaran seorang ibu seringkali tidak dilihat. Tak ada yang tahu berapa kali ia menahan amarahnya agar rumah tetap tenang. Tak ada yang menghitung berapa kali ia mengalah agar anak tetap bisa belajar bahagia. Tak ada yang mencatat berapa malam ia tidak tidur demi menjaga anak yang panasnya tak kunjung reda.
Tak ada suara, tak ada tepuk tangan. Tapi entah mengapa, hati ini tetap ingin bertahan.
Apakah ini cinta? Atau sesuatu yang lebih dalam?
Mungkin, ini adalah bentuk zikir—pengingat akan Allah—yang tak terucap oleh lisan, tapi menggema lewat tindakan.
**
Aku tidak selalu sabar. Aku bukan ibu yang sempurna. Kadang aku juga membentak, kadang aku menangis sendiri di dapur karena merasa gagal. Tapi setiap kali aku memilih diam saat ingin meledak, setiap kali aku memilih memeluk anak padahal aku sedang rapuh, aku tahu… aku sedang belajar menyebut nama-Nya dalam bentuk yang paling nyata: sabar.
Sabar bukan hanya soal menahan. Ia adalah bentuk pengakuan dalam hati bahwa aku tidak bisa mengendalikan segalanya, dan bahwa aku menyerahkan segalanya kepada Allah.
Dan menyerahkan, bagi seorang ibu, adalah perkara yang sangat berat.
**
Sabar ibu itu seperti air yang terus mengalir meski keruh. Ia tidak pernah menuntut untuk difilter. Ia hanya ingin sampai ke muara.
Kesabaran ibu itu seperti akar pohon. Ia tak tampak. Tapi dari sanalah pohon tumbuh, berdiri, dan berbuah. Tak ada yang memuji akar. Semua fokus pada daun yang rimbun, buah yang ranum. Tapi siapa yang tahu, bahwa di bawah sana ada bagian yang bekerja lebih keras—tanpa suara, tanpa sorotan?
Aku mulai memahami itu saat anakku mulai membentuk pikirannya sendiri. Mulai membantah, mulai tidak selalu menurut. Di situ aku tidak lagi ditantang sebagai pengatur rumah, tapi sebagai penjaga hati. Apakah aku akan memaksanya? Apakah aku akan menjatuhkannya dengan kata-kata? Ataukah aku akan memilih sabar—meski hati terasa dicabik?
Dan ternyata sabar yang paling dalam bukan saat aku diam. Tapi saat aku mendengarkan, memeluk, dan menerima bahwa anakku bukan boneka. Ia jiwa lain yang punya takdir sendiri.
**
Kadang aku merasa sendiri. Tak ada yang tahu betapa sulitnya menjadi ibu. Dunia sering memuja ibu dalam puisi dan kata-kata manis. Tapi kenyataannya, banyak ibu menangis dalam sunyi. Banyak ibu yang sabarnya disalahartikan sebagai lemah. Banyak ibu yang kelelahan tapi tetap berdiri—karena jika ia tumbang, siapa yang akan menjaga rumah ini?
Dan di titik itu aku sadar. Mungkin memang tidak semua sabar akan dipahami manusia. Tapi Allah pasti tahu.
Ada ayat dalam hatiku yang terus terulang, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Bukan hanya beserta. Tapi mendampingi. Menemani. Menyaksikan.
Dan itu cukup bagiku untuk bertahan.
**
Sabar ibu bukan berarti tak boleh marah. Bukan berarti harus selalu tenang dan manis. Tapi sabar itu tentang arah. Tentang memilih untuk tetap mencintai meski luka. Tentang memilih jalan yang lebih sunyi—jalan menahan ego, demi membesarkan jiwa yang masih kecil.
Aku teringat saat anakku menjatuhkan piring favoritku. Benda itu punya kenangan tersendiri. Aku bisa saja marah besar. Tapi aku melihat wajah kecil itu pucat. Matanya cemas, takut akan dimarahi. Dan aku tahu, hatinya lebih pecah dari piring yang jatuh.
Aku menarik napas, memeluknya, dan berkata, “Tidak apa-apa. Kamu lebih berharga dari semua barang di rumah ini.”
Dan saat itu aku menangis. Bukan karena piring. Tapi karena Allah memberiku kekuatan untuk memilih sabar. Dan mungkin itu lebih berharga dari segala pujian dunia.
**
Ibu mana pun yang membaca ini, barangkali pernah mengalami hal serupa. Mungkin kamu pernah merasa tak terlihat. Tapi ketahuilah, setiap kesabaranmu tidak hilang sia-sia. Ia disimpan, dicatat, dan kelak akan kembali kepadamu dalam bentuk cinta yang tak kamu duga.
Mungkin dalam bentuk anak yang tumbuh penuh kasih. Mungkin dalam bentuk kedamaian batin yang tak bisa dibeli. Mungkin dalam bentuk ampunan dan kemuliaan di sisi-Nya.
Dan jika kamu merasa tidak kuat, itu pun tidak apa-apa. Karena sabar bukan berarti kamu tidak lelah. Tapi kamu tahu kemana membawa lelah itu.
Kamu tahu ke mana harus bersandar. Dan itu sudah sangat mulia.
**
Di malam yang sunyi, saat semua tertidur, aku sering duduk sendiri dan berkata dalam hati:
“Ya Allah, Engkau tahu betapa aku lelah. Tapi aku tidak akan menyerah. Karena aku mencintai anak-anakku bukan karena mereka sempurna, tapi karena Engkau menitipkan mereka padaku.”
Dan kalimat itu… adalah zikirku.
Zikir tanpa suara.
Zikir yang hanya didengar langit.
Zikir sabar seorang ibu.
**
Jika nanti tak ada yang ingat berapa kali aku menahan amarah, tak apa. Jika tak ada yang tahu berapa malam aku bergadang tanpa suara, tak apa. Karena aku tahu, Allah tahu.
Dan cukup itu bagiku.
Karena sabar, ternyata adalah ibadah sunyi. Ibadah yang tanpa tepuk tangan. Tapi barangkali, dialah yang paling menyentuh langit.
Dan aku percaya, setiap ibu yang memilih sabar… sedang berdzikir dalam bentuk paling mulia.
Tanpa suara. Tapi penuh cahaya.[*]