Adab Seorang Ibu: Ketika Menunda Demi Amanah, Tanpa Harus Merasa Jauh dari Jalan Ruhani yang Dicintainya

Deskripsi :
Sering kali seorang ibu merasa menjauh dari Tuhan karena harus menunda ibadah. Tapi sejatinya, menunda bukan meninggalkan. Itu adalah adab, ketika amanah lebih dulu dipanggil oleh-Nya.


CHARACTER LEARNING – Aku pernah menangis dalam diam hanya karena satu hal: aku merasa menjauh dari Tuhan.

Bukan karena dosa besar. Tapi karena aku harus menunda banyak ibadah yang dulu begitu rutin. Shalat yang biasa aku jaga di awal waktu, kini sering tertunda karena anak masih menyusu. Dzikir yang biasa aku lantunkan panjang setelah subuh, kini hanya sempat sepotong—kadang tak sempat sama sekali. Membaca Qur’an di pagi hari yang dulu jadi kebiasaanku, sekarang berganti dengan suara tangis, popok basah, atau bubur yang harus disuapkan.

Dan aku mulai merasa bersalah. Aku merasa tidak lagi menjadi perempuan yang “baik”, tidak lagi menjadi hamba yang taat.

Namun, malam itu… sebuah kesadaran datang pelan-pelan.

    Aku sedang duduk, memandangi anakku yang tertidur. Nafasnya pelan, tubuhnya kecil, wajahnya tenang. Ia adalah amanah. Diberikan Tuhan bukan hanya untuk disayangi, tapi juga untuk dijaga, dibesarkan, dan dibimbing.

    Lalu dalam diam aku bertanya, “Ya Allah, apakah karena aku menjaga titipan-Mu ini, aku justru kehilangan-Mu?”

    Tapi hati kecilku menjawab sendiri: Tidak. Justru di sinilah Engkau sedang hadir paling nyata.

      Aku mulai belajar melihat ulang ibadah dari sudut yang lebih dalam. Ibadah bukan hanya soal waktu yang sempurna, tapi tentang hati yang sadar dan niat yang terjaga.

      Kadang kita lupa: menunda bukan selalu berarti melupakan. Kadang, menunda adalah bentuk adab.

      Bukankah Nabi Muhammad SAW sendiri pernah memendekkan bacaan shalatnya saat mendengar bayi menangis, karena tahu ada ibu yang sedang khawatir?

      Bukankah para ulama besar dalam sejarah Islam pun mengajarkan bahwa adab mendahului ilmu—dan bukankah menunda dzikir sejenak demi memenuhi kebutuhan anak juga termasuk adab kepada amanah?

        Anak bukan penghalang jalan ruhani. Ia adalah bagian dari jalan itu sendiri.

        Ketika seorang ibu harus menunda wudhu karena harus menyeka kotoran anak, bukan berarti ia kotor secara ruhani.

        Ketika seorang ibu harus menunda shalat karena anak sedang sakit dan memanggil tanpa henti, bukan berarti ia lalai.

        Ia sedang melayani titipan Tuhan. Ia sedang menjalankan amanah yang tak semua orang diberi kehormatan untuk memikulnya.

        Dan dalam menunda itu, jika hatinya tetap terhubung kepada Tuhan, maka ia sedang beribadah dalam bentuk yang paling halus: adab.

          Aku mulai menyadari, bahwa perjalanan ruhani seorang ibu sangat unik. Tidak selalu lurus dan tenang. Tapi penuh cabang dan liku.

          Kadang ia harus bangun malam bukan untuk tahajud, tapi untuk mengganti baju anak yang basah karena pipis. Kadang ia harus menahan lapar, bukan karena shaum sunnah, tapi karena makanan belum sempat disuap ke mulut sendiri.

          Namun, di setiap itu… ada cinta. Ada keikhlasan. Ada niat.

          Dan bukankah niat yang baik adalah kunci diterimanya amal?

            Aku belajar memaafkan diriku sendiri. Memaafkan karena tidak bisa sesering dulu membaca Qur’an. Memaafkan karena tak sempat ikut kajian daring. Memaafkan karena rutinitas rohaniku tampak berantakan.

            Karena sekarang aku tahu, Tuhan tidak menilaimu dari jadwalmu. Ia menilaimu dari kesadaran dan cinta di dalam setiap pengorbanan kecilmu.

            Ketika aku harus menunda duduk untuk shalat demi mendiamkan anak, aku mulai mengucap dalam hati, “Ya Allah, aku tahu Kau tahu. Dan itu cukup.”

            Dan benar, itu cukup. Bahkan lebih dari cukup.

              Menunda demi amanah bukan berarti mundur dari jalan ruhani. Ia justru bisa menjadi bentuk tertinggi dari tauhid praktis—karena kita meyakini bahwa Tuhan hadir juga dalam tangis anak yang harus kita peluk, dalam keringat yang kita usap, dalam nasi yang kita suapkan, dalam kantuk yang kita tahan.

              Dalam setiap keterlambatan itu, kita belajar bahwa ibadah bukan hanya soal waktu, tapi soal kesadaran dan tujuan. Kita belajar bahwa ruhani bukan sekadar sunyi dan sajadah, tapi bisa berbentuk sendok, tisu basah, dan dekap penuh cinta.

                Ada satu kalimat yang kini selalu menenangkan hatiku: “Tidak semua dzikir bersuara. Kadang ia hanya berupa kesabaran.”

                Aku menambahkan: Dan kadang, dzikir adalah menunda diri sendiri demi memenuhi amanah yang datang dari-Nya.

                Karena jalan ruhani tidak selalu berupa langkah menuju masjid, atau lantunan panjang di sepertiga malam. Kadang, ia hanya tentang seorang ibu yang dengan lembut berkata, “Nanti dulu, ya, Nak. Ibu mau shalat.” Tapi jika anak belum bisa menunggu, maka ia shalat setelahnya, dengan penuh keikhlasan—tanpa rasa bersalah.

                  Kini aku tahu…

                  Bahwa ketika aku menunda ibadah karena anakku, aku tidak menjauh dari Tuhan. Aku sedang berlatih adab.

                  Adab kepada Tuhan yang menitipkan anak itu padaku. Adab kepada amanah. Adab kepada cinta.

                  Dan kupikir, jika Tuhan melihat semua itu, Ia tak akan berkata, “Mengapa kau lambat shalat?”
                  Tapi mungkin Ia akan berkata, “Terima kasih telah menjaga titipan-Ku. Mari kembali kepada-Ku, kapan pun kau siap.”

                    Jadi, wahai ibu…

                    Jika hari ini kau merasa lambat dalam beribadah karena anak-anakmu, jangan langsung bersedih. Lihatlah ke dalam hatimu. Bila niatmu tetap lurus, bila hatimu tetap terhubung, maka kau tidak menjauh.

                    Kau hanya sedang menempuh jalan yang berbeda—jalan yang lebih sunyi, lebih lembut, lebih melelahkan, tapi sangat mulia.

                    Jalan adab.

                    Dan di jalan itu… tak ada penundaan yang sia-sia. Semua dihitung. Semua dicatat. Semua, insyaAllah, kembali pada-Nya sebagai cinta.

                    Tinggalkan Balasan

                    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *