Qurban: Jalan Sunyi untuk Jiwa yang Tersesat dan Rindu Pulang ke Pelukan Sang Pemilik Kehidupan

Deskripsi :
Qurban bukan sekadar menyembelih hewan, tapi bisa menjadi momen jiwa kembali pulang pada fitrahnya—tulus, tenang, dan pasrah. Sebuah perjalanan spiritual bagi hati yang lelah dan tersesat arah.


Qurban Sebagai Jalan Pulang Bagi Jiwa yang Tersesat

Setiap tahun Idul Adha datang, saya sempat menganggapnya sebagai hari raya biasa. Hari libur panjang, makan enak, berkumpul keluarga, lalu selesai. Sampai satu tahun, saya merasa benar-benar hampa. Seperti sedang hidup, tapi tidak benar-benar hidup. Seperti berjalan, tapi tanpa arah.

Saya tak bisa menggambarkan perasaan itu secara tepat. Tapi yang jelas, hati saya seperti kosong. Ibadah terasa kering. Doa terasa menggantung. Hidup terasa seperti rutinitas tanpa ruh. Saya menyadari satu hal: jiwa saya sedang tersesat. Entah sejak kapan.

Dan saat Idul Adha datang lagi di tahun itu, saya memutuskan untuk tidak sekadar menjadi penonton. Saya ingin menyelami qurban dengan cara yang berbeda. Bukan hanya menyaksikan kambing atau sapi disembelih, tapi mencoba menyembelih sesuatu dalam diri saya yang selama ini memberatkan langkah pulang.

Qurban Itu Tentang Ibrahim, Tapi Juga Tentang Kita

Kita semua tahu kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Kisah luar biasa tentang ketundukan, keikhlasan, dan cinta sejati pada Tuhan. Tapi entah kenapa, cerita itu kadang terasa jauh. Seolah hanya milik para nabi dan orang-orang pilihan.

Padahal, jika kita mau jujur, kita semua punya “Ismail” dalam hidup. Sesuatu yang sangat kita cintai, bahkan mungkin lebih dari kecintaan kita pada Allah. Bisa jadi harta. Bisa jadi ego. Bisa jadi masa lalu yang belum ikhlas kita lepaskan. Atau bisa juga rasa sakit yang diam-diam kita pelihara.

Dan qurban, bagi saya, adalah momen di mana Allah bertanya lembut: “Bisakah kau lepaskan itu semua demi Aku? Bisakah kau pulang?”

Saat Qurban Bukan Lagi Tentang Daging dan Darah

Waktu saya ikut panitia qurban di masjid, saya melihat banyak orang datang dengan hewan terbaik mereka. Ada yang memilih sapi besar, kambing mahal, bahkan ada yang membayar satu qurban untuk satu keluarga besar.

Itu semua indah. Tapi saya jadi bertanya pada diri sendiri, “Apa yang saya bawa tahun ini? Apa yang saya sembelih dari dalam diri?”

Karena Allah sendiri sudah mengingatkan, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)

Tiba-tiba saya sadar, bahwa qurban bisa jadi jalan pulang bagi jiwa saya yang tersesat. Sebuah momen untuk jujur pada diri sendiri, bahwa saya telah terlalu lama menyimpang dari arah-Nya. Dan qurban adalah titik balik—jika saya mau menjadikannya begitu.

Apa yang Perlu Kita Sembelih?

Saya duduk lama di depan mushaf malam itu. Bertanya pada hati saya sendiri, “Apa yang harus aku sembelih tahun ini?”

Saya sadar, saya harus menyembelih rasa kecewa yang sudah terlalu lama saya pelihara. Kekecewaan pada orang lain, pada kehidupan, bahkan pada diri sendiri. Saya juga harus menyembelih ekspektasi yang terlalu tinggi hingga membuat saya lupa bersyukur. Dan tentu saja, saya harus menyembelih ego yang terus membisiki bahwa saya bisa sendiri tanpa Allah.

Ternyata menyembelih hewan jauh lebih mudah. Tapi menyembelih kelekatan batin, itu yang sulit. Namun justru itu esensinya: qurban mengajarkan kita tentang pelepasan. Melepaskan agar bisa pulang. Pulang pada ketenangan, pulang pada keikhlasan, dan pulang pada Tuhan.

Rasa yang Tak Bisa Dibeli dengan Harga Kambing

Ketika takbir menggema dan hewan disembelih, saya tak bisa menahan air mata. Bukan karena sedih, tapi karena seperti ada sesuatu yang terlepas dari dalam dada. Seperti luka lama yang akhirnya dilepas. Seperti beban lama yang akhirnya ditaruh.

Qurban ternyata bukan tentang kemampuan finansial, tapi tentang keberanian spiritual. Keberanian untuk jujur: bahwa kita butuh Allah. Bahwa kita tidak baik-baik saja. Dan bahwa kita ingin kembali menjadi hamba, bukan hanya manusia sibuk yang lupa arah.

Saya tidak merasa lebih suci. Tapi saya merasa lebih ringan. Lebih tenang. Dan itu jauh lebih mahal daripada harga seekor kambing.

Qurban, Jalan Sunyi yang Membawa Terang

Kadang kita tidak tahu bagaimana cara pulang. Kita terlalu jauh tersesat dalam dunia yang memabukkan: ambisi, validasi, pencitraan. Kita tersesat dalam rasa “harus jadi sesuatu” di mata manusia. Tapi qurban memberi kesempatan: pulang lewat keikhlasan.

Pulang bukan berarti sempurna. Tapi kembali kepada kesadaran bahwa kita hamba. Kita tidak punya apa-apa. Kita hanya singgah di dunia, dan akan kembali.

Qurban adalah simbol bahwa kita siap meninggalkan yang fana demi yang abadi. Kita siap melepaskan yang melemahkan demi yang menenangkan.

Pesan untuk Jiwa yang Sedang Lelah

Kalau hari-harimu akhir-akhir ini terasa kosong…
Kalau doa-doamu seperti tak menembus langit…
Kalau hatimu letih dan tak tahu kenapa…

Mungkin, bukan karena kau kurang ibadah. Tapi karena jiwamu sedang rindu pulang.

Dan bisa jadi, qurban ini adalah pintu itu. Jalan kecil yang Allah bukakan, agar kamu kembali pada-Nya. Bukan hanya dengan tubuhmu, tapi dengan hatimu yang utuh.

Jangan takut. Allah tak butuh kesempurnaanmu. Dia hanya ingin ketulusanmu. Bahkan jika yang bisa kau sembelih hanyalah satu luka kecil atau satu ego yang keras kepala—itu sudah cukup.

Karena qurban bukan tentang ukuran hewan, tapi ukuran niat. Dan pulang, bukan tentang ke mana kakimu melangkah, tapi ke mana hatimu menuju.


Penutup: Mari Pulang

Kita semua sedang dalam perjalanan. Ada yang sedang berlari, ada yang tertatih. Ada yang tersesat, ada yang berhenti sejenak untuk menangis.

Tapi yakinlah, Allah tidak pernah menutup pintu pulang. Bahkan jika kita sudah terlalu lama menjauh, Dia masih bersedia menyambut kita dengan lembut.

Qurban adalah salah satu caranya. Satu jalan sunyi, yang jika kita mau lewati dengan jujur, bisa membawa kita kembali—bukan hanya kepada Allah, tapi juga kepada versi terbaik diri kita yang pernah hilang.

Maka di hari raya ini, jangan sekadar menyaksikan penyembelihan. Tapi tanyakan dalam hati: “Apa yang bisa aku sembelih, agar jiwaku bisa pulang?”

Karena bisa jadi, qurban inilah doa tanpa kata yang selama ini sedang kita cari.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *