“Aku Dulu Juga Dipukul dan Baik-Baik Saja” — Tapi Benarkah?
Menghukum fisik sebagai cara utama mendisiplinkan anak.

Saya pernah mendengar kalimat itu diucapkan lebih dari sekali. Oleh teman, oleh saudara, bahkan oleh orang tua saya sendiri. “Aku dulu juga dipukul kalau bandel, dan nyatanya aku baik-baik aja.”
Saat saya masih kecil, tamparan di pipi, jeweran di telinga, bahkan pukulan dengan sapu lidi adalah hal yang dianggap biasa. Itu bentuk “pendidikan”. Itu katanya tanda sayang. Kalau tidak dihukum, nanti jadi anak nakal. Begitulah narasinya.
Tapi sekarang, sebagai orang tua, saya bertanya: benarkah itu semua membuat kita “baik-baik saja”? Atau mungkin, kita tumbuh dewasa sambil membawa luka yang tak pernah sempat kita kenali?
Ketika Pukulan Menjadi Bahasa Kasih Sayang
Saya mengerti bahwa banyak dari kita lahir dari generasi yang percaya bahwa kekerasan fisik adalah bagian dari pendidikan. Apalagi jika kita hidup dalam keterbatasan. Orang tua kita mungkin lelah, stres, bingung, dan tidak punya referensi lain. Mereka hanya mengulangi pola yang mereka tahu.
Tapi ketika saya mulai melihat anak saya tumbuh, ada hal yang berubah di dalam diri saya. Anak saya tidak nakal—ia hanya belum tahu caranya bersikap. Ia belum tahu mana yang tepat, mana yang tidak. Dan saya, sebagai orang tuanya, adalah orang pertama yang harus membimbingnya, bukan menakutinya.
Saya ingat suatu hari, anak saya—usia empat tahun—menumpahkan susu di karpet baru. Reaksi pertama saya adalah ingin berteriak. Bahkan tangan saya refleks ingin memukul. Tapi saya tahan. Lalu saya tanya: “Kenapa kamu tumpahkan itu?”
Dengan wajah takut dan suara kecil dia berkata, “Aku mau nunjukin ke Mama bentuk awannya…”
Jantung saya seperti diremas. Ia tidak sengaja. Ia hanya ingin berbagi imajinasinya.
Kekerasan Fisik Menyisakan Banyak Luka yang Tak Terlihat
Banyak dari kita yang mengira bahwa pukulan yang tidak meninggalkan lebam bukanlah kekerasan. Tapi anak-anak, terutama di usia dini, tidak hanya menyerap tindakan. Mereka menyerap perasaan yang dibungkus dalam tindakan itu.
Anak-anak tidak tahu bahwa “Mama sayang, tapi sedang marah.” Yang mereka tahu hanyalah bahwa tangan orang yang mereka cintai bisa menyakitkan. Itu bisa melahirkan ketakutan. Atau lebih buruk—ketidakpercayaan.
Saya tidak mengatakan bahwa semua orang yang pernah dihukum fisik pasti tumbuh dengan trauma. Tapi banyak dari kita mungkin menyimpan luka yang kita anggap “normal”, hanya karena sudah terbiasa.
Contoh kecil: takut mengungkapkan pendapat. Merasa tidak cukup baik. Cemas berlebihan saat membuat kesalahan. Tidak percaya diri. Semua itu mungkin jejak dari masa kecil yang terlalu sering dihukum tanpa penjelasan.
Disiplin Itu Perlu, Tapi Bukan dengan Rasa Takut
Saya belajar bahwa disiplin bukan berarti hukuman, tapi bimbingan. Kita bisa mengajari anak tentang batasan tanpa membuat mereka takut. Kita bisa membuat aturan tanpa harus mengangkat tangan.
Ada banyak cara yang lebih membangun:
- Memberi konsekuensi logis — misalnya, jika anak menumpahkan mainan, konsekuensinya ia ikut membereskan.
- Memberi ruang untuk refleksi — ajak anak bicara tentang perasaannya dan perilakunya.
- Mencontohkan dengan perilaku — anak-anak meniru lebih banyak dari apa yang mereka lihat dibanding dari apa yang mereka dengar.
- Konsisten dalam aturan dan kasih sayang — bukan berarti membiarkan, tapi membimbing dengan sabar.
Saya tidak selalu berhasil. Saya masih sering marah, masih banyak belajar. Tapi setiap kali saya berhasil menahan tangan saya, dan memilih untuk bicara, saya merasa satu luka masa lalu berhasil saya hentikan agar tidak diwariskan.
Kita Bisa Mengakhiri Pola Itu
Mungkin dulu kita tidak punya pilihan. Tapi sekarang, kita punya. Kita bisa membaca buku, bertanya ke psikolog, mengikuti komunitas orang tua yang suportif. Kita bisa memilih cara baru.
Kita bisa menjadi generasi yang tidak mewariskan rasa takut dalam cinta. Yang tidak membuat anak kita tumbuh dengan pertanyaan: “Kalau Mama sayang, kenapa Mama menyakiti?”
Dan untuk orang tua yang pernah memukul, atau sedang merasa bersalah karena telah melakukannya—saya ingin katakan satu hal: kita semua sedang belajar. Menjadi orang tua tidak datang dengan buku manual. Tapi jika kita cukup berani untuk mengakui kesalahan, itu adalah awal perubahan.
Anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka butuh orang tua yang terus belajar. Yang mau minta maaf, dan yang mau berubah.
Saya pun begitu.[*]