Ketika Cerita Anak Dianggap Sepele: Luka yang Tak Terdengar, Tapi Membekas

Ada satu momen yang tak bisa kulupa sampai hari ini.
Sore hari, anakku—waktu itu masih kelas tiga SD—berlari pulang ke rumah, membawa sebuah batu kecil di tangannya. Matanya berbinar, napasnya tersengal karena berlari cepat. Dengan semangat ia berkata, “Ayah, lihat! Aku nemu batu kayak fosil! Ini kayak tulang, loh. Mungkin tulang dinosaurus!”
Aku, yang sedang serius membalas pesan pekerjaan di ponsel, hanya melirik sekilas dan menjawab, “Wah, iya, bagus.”
Lalu kembali menunduk pada layar, dan percakapan pun selesai di situ.
Aku pikir itu hal sepele. Tapi beberapa tahun kemudian, aku menyadari… mungkin saat itu, aku sedang menolak keajaiban. Mungkin aku sedang menolak bagian kecil dari dunia anakku, yang sedang ia tawarkan padaku dengan tulus.
Dan mungkin, saat itu pula, aku kehilangan satu kesempatan penting—kesempatan untuk didengarkan dan menjadi tempat pulang.
Anak Datang dengan Cerita Sederhana, Tapi Penuh Makna
Anak-anak datang kepada kita bukan dengan logika orang dewasa. Mereka datang dengan dunia kecil mereka—dunia penuh warna, keajaiban, pertanyaan-pertanyaan polos, dan hal-hal yang bagi kita tampak… ya, remeh. Tapi di situlah letak keajaiban mereka.
Cerita tentang kucing liar di jalan, teman yang berebut kursi, warna langit sore yang “kayak stroberi”, atau mimpi aneh yang mereka alami semalam. Cerita yang sering kali kita jawab dengan anggukan malas, “Oh ya?”, atau lebih buruk: tidak kita gubris sama sekali.
Padahal, bagi anak, cerita-cerita itu adalah jembatan.
Jembatan menuju kelekatan. Jembatan menuju hati kita.
Ketika Anak Merasa Tidak Didengarkan
Anak-anak, terutama di usia dini dan menjelang remaja, sangat peka terhadap cara kita merespons. Mereka tahu ketika kita mendengar dengan setengah hati. Mereka bisa membedakan mana “iya, nak” yang tulus, dan mana yang hanya basa-basi sambil scroll layar.
Dan ketika mereka merasa ceritanya tidak dianggap penting, mereka menyerap pesan yang sangat menyakitkan, meski tak diucapkan secara langsung:
“Cerita kamu nggak cukup menarik.”
“Kamu bukan prioritas.”
“Apa yang kamu alami nggak layak didengar.”
Sedikit demi sedikit, anak akan belajar untuk tidak bercerita lagi. Dan itu bukan hanya soal cerita yang hilang—tapi soal kelekatan yang perlahan melemah.
Attachment: Pondasi yang Tak Terlihat Tapi Menentukan
Dalam psikologi perkembangan, attachment atau kelekatan adalah dasar hubungan emosional antara anak dan pengasuh utama (biasanya orang tua). Kelekatan ini akan membentuk pola dasar anak dalam mempercayai orang lain, mengelola emosi, dan merasa aman.
Salah satu cara utama kelekatan terbentuk adalah: didengarkan. Bukan didengarkan sambil lalu. Tapi didengarkan dengan hati.
Saat anak tahu bahwa kita hadir sepenuhnya saat ia bercerita—betapapun remehnya cerita itu—maka ia akan merasa berharga. Dihargai. Diakui. Dicintai. Dan dari situlah, hubungan yang kuat terbentuk.
Sebaliknya, ketika anak sering diabaikan, ia akan mulai membangun tembok. Ia mungkin akan tampak “baik-baik saja”, tapi dalam diamnya ia merasa sendiri.
Dan kesepian itu tak selalu terlihat.
Aku Pernah Jadi Anak Itu
Aku tahu perasaan ini, karena dulu… aku juga pernah menjadi anak yang ceritanya diabaikan.
Aku masih ingat ketika aku kecil, mencoba bercerita tentang nilai gambar yang bagus, atau puisi yang aku tulis di sekolah. Tapi orang dewasa di sekitarku sibuk dengan urusan mereka. Tak ada yang benar-benar mendengar. Mereka mengangguk, tapi matanya tak pernah menatapku.
Dan saat aku merasa tak penting, aku belajar untuk diam. Aku menuliskan semua cerita di buku, karena buku tak pernah memotongku.
Tapi jujur, aku ingin sekali waktu itu seseorang berkata:
“Wah, cerita kamu seru banget! Ceritain lebih banyak, dong.”
Hari Ini, Aku Belajar Mendengar Lagi
Kini, saat aku menjadi orang tua, aku belajar untuk memperbaiki rantai itu.
Aku berusaha hadir, betapapun lelah atau sibuknya hari. Aku belajar meletakkan ponsel, menatap mata anakku, dan bertanya, “Terus, habis itu apa yang terjadi?”
Meski kadang ceritanya berputar-putar, aku tetap mencoba bertahan.
Karena aku tahu, di balik cerita itu, ada hati yang ingin merasa penting.
Dan ketika anak merasa penting di rumahnya sendiri, ia tidak akan mudah mencari pengakuan di luar dengan cara yang salah.
Dengarkan, Walau Ceritanya Kecil
Kita tak pernah tahu, cerita mana yang sedang membentuk dunia dalam kepala anak.
Mungkin bagi kita itu cuma cerita tentang semut di halaman. Tapi siapa tahu, dari sana tumbuh rasa ingin tahunya terhadap alam?
Mungkin cuma cerita tentang teman yang tidak meminjamkan penghapus. Tapi siapa tahu, dari situ kita bisa masuk untuk bicara tentang empati dan perasaan?
Mendengarkan cerita anak bukan soal waktu panjang. Tapi soal kehadiran utuh. Lima menit yang penuh perhatian bisa jauh lebih berharga dari satu jam bersama tapi tak benar-benar hadir.
Penutup: Jangan Tunggu Anak Berhenti Bercerita
Anak-anak, terutama yang masih kecil atau remaja awal, biasanya masih antusias bercerita. Tapi jangan menunggu mereka berhenti baru kita menyadari pentingnya hadir.
Karena sekali kepercayaan mereka retak, untuk membangunnya kembali butuh waktu dan upaya yang tak sedikit.
Maka hari ini, ketika anakmu datang dengan cerita yang terdengar sederhana, berhentilah sejenak. Tatap matanya. Dengarkan. Tanggapi dengan hati. Biarkan ia merasa bahwa cerita hidupnya, seaneh atau sepele apapun, layak didengar.
Karena di situlah, kita sedang membangun rumah bagi jiwanya. Rumah yang kelak akan jadi tempat ia ingin kembali—bukan karena diwajibkan, tapi karena ia tahu:
“Di sanalah aku didengar. Di sanalah aku berarti.”[*]