Ketika Kebaikan Datang, Tapi Kita Merasa Tak Layak Menerimanya

Pernahkah kamu merasa ragu melakukan hal baik, bukan karena tidak tahu itu baik, tapi karena merasa tidak pantas melakukannya?
Aku pernah. Bahkan mungkin, sering.
Ada masa-masa dalam hidupku di mana melihat orang lain begitu rajin ibadah, ringan membantu, atau fasih berbicara tentang kebaikan, membuatku justru mundur satu-dua langkah. Bukan karena iri. Bukan pula karena benci. Tapi karena… malu. Merasa belum pantas. Merasa tidak layak berdiri di barisan yang sama.
“Aku ini siapa sih? Dosa masih segunung. Diri masih kacau. Jangan-jangan nanti dibilang munafik…”
Itu suara di kepala yang seringkali menahan langkahku untuk berbuat baik. Anehnya, kebaikan itu bukan hal besar. Kadang hanya perkara menyapa lebih dulu, atau mengingatkan teman dengan lembut, atau sekadar ikut dalam gerakan sosial. Tapi entah kenapa, ada suara dari dalam yang berkata, “Jangan ikut-ikut. Kamu belum bersih.”
Lucu, ya. Padahal bukankah kebaikan itu seharusnya mengundang siapa saja untuk masuk? Bukankah kita sering dengar bahwa semua orang bisa berubah, semua orang bisa tumbuh?
Namun ketika kebaikan itu datang mengetuk pintu jiwa, yang pertama kali kubuka justru ruang rasa minder. Seolah aku perlu jadi sempurna dulu sebelum bisa menyentuh kebaikan. Seolah kebaikan itu tempat suci yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang tak pernah salah.
Padahal aku lupa satu hal: Kebaikan itu bukan hadiah untuk yang suci, tapi jalan pulang untuk yang ingin kembali.
Aku ingat satu momen yang sangat membekas. Saat itu aku sedang duduk di masjid, kebetulan ada kajian. Aku ikut duduk, meski agak jauh di belakang. Rasanya tak enak kalau langsung pulang begitu saja. Tapi saat kajian mulai, isi ceramahnya menohok hati. Isinya tentang dosa, tentang hijrah, tentang ampunan Tuhan.
Tiba-tiba aku merasa tak nyaman. Rasanya seperti dilihat—padahal tak seorang pun mengenalku di sana. Aku mulai merasa seperti penyusup. “Aku nggak seharusnya duduk di sini. Ini tempat untuk orang-orang baik, bukan buat aku.”
Lalu aku pulang dengan hati yang aneh. Bukan karena kajiannya buruk. Tapi karena hatiku sendiri belum siap menerima bahwa kebaikan itu juga hakku.
Waktu berjalan. Aku mulai menyadari satu hal: rasa tidak pantas itu bukan selalu tanda kerendahan hati. Kadang justru jebakan halus dari kesombongan yang tersembunyi. Kesombongan yang bilang, “Aku berbeda. Aku terlalu rusak untuk diselamatkan.” Padahal siapa kita hingga bisa mengukur sejauh mana rahmat Tuhan bisa menjangkau?
Aku mulai belajar memaafkan diriku sendiri. Bahwa ya, mungkin aku belum sepenuhnya baik. Tapi tak ada yang meminta kita jadi sempurna dulu baru boleh melangkah. Kita tidak diminta jadi malaikat untuk mulai berubah.
Terkadang, rasa tidak pantas itu datang dari masa lalu. Dari kesalahan yang belum sepenuhnya kita maafkan pada diri sendiri. Dari trauma yang belum pulih. Dari ucapan orang lain yang masih bergema di kepala. “Kamu itu munafik. Sok alim. Dulu saja begini begitu…” Kata-kata seperti itu, jika terus disimpan, bisa jadi pagar yang menghalangi kita melangkah ke arah cahaya.
Tapi begini… kalau kita terus menunggu sampai merasa pantas, mungkin kita akan menunggu selamanya.
Ada kisah yang sering kuceritakan pada diriku sendiri saat rasa tak pantas itu kembali. Tentang seorang lelaki yang membunuh 99 orang lalu ingin bertaubat. Ia mendatangi seorang ahli ibadah dan ditolak. Katanya, “Kamu sudah terlalu banyak dosa, tak ada ampunan untukmu.” Maka lelaki itu pun membunuh si ahli ibadah dan genaplah jadi 100.
Tapi tak berhenti di situ. Ia tetap mencari dan akhirnya bertemu seorang alim yang mengatakan, “Tak ada yang menghalangi taubatmu. Tapi pergilah dari kampung ini ke kampung lain yang lebih baik.” Di tengah perjalanan, ia meninggal. Dan kata malaikat, ia diampuni. Bukan karena ia sudah berubah sepenuhnya, tapi karena ia mau melangkah.
Langkah pertama itulah yang penting. Bukan seberapa suci kita, tapi seberapa tulus niat kita untuk kembali. Untuk menjadi lebih baik, meski belum sempurna.
Kita bisa mulai dari hal kecil. Dari menyapa dengan tulus, dari jujur dalam transaksi, dari meminta maaf duluan. Tak harus jadi ustaz untuk bisa mengajak orang lain berbuat baik. Tak harus jadi hafiz untuk mencintai Al-Qur’an. Tak harus jadi sempurna untuk menebar kebaikan.
Karena kebaikan itu bukan kasta. Ia adalah undangan. Dan semua diundang, tanpa syarat kelulusan.
Hari ini, jika kamu sedang merasa tidak pantas untuk mendekat pada kebaikan, izinkan aku bilang satu hal: kamu layak.
Bukan karena kamu sudah bersih. Tapi karena kamu sedang membersihkan. Bukan karena kamu sempurna. Tapi karena kamu sedang belajar.
Jika kamu merasa tak pantas shalat karena terlalu banyak dosa—justru shalat itu untukmu.
Jika kamu merasa tak pantas berbicara tentang kebaikan karena dulu pernah jatuh—justru pengalamanmu bisa jadi penyambung bagi mereka yang juga sedang jatuh.
Kita bukan malaikat. Kita manusia. Dan manusia itu tempatnya lupa, salah, jatuh, bangkit, jatuh lagi, bangkit lagi. Yang penting, jangan menyerah untuk kembali.
Aku menulis ini bukan karena sudah baik. Tapi karena aku tahu bagaimana rasanya menghindar dari kebaikan hanya karena merasa tidak layak.
Dan pelan-pelan, aku belajar menerima bahwa Tuhan tidak menunggu kita jadi sempurna untuk dicintai. Ia mencintai kita dalam proses, dalam patah, dalam luka, bahkan dalam tangis diam-diam.
Jadi, jika ada kebaikan yang menghampirimu hari ini—entah ajakan berbuat baik, ajakan kembali, ajakan memperbaiki diri—jangan buru-buru menutup pintu hanya karena merasa tidak pantas.
Mungkin itu bukan kebetulan. Mungkin itu cara Tuhan berkata, “Aku masih menunggumu.”[*]