Sulit Menerima Kritik? Kadang Itu Bentuk Pertahanan Diri dari Luka Batin


Kritik Tak Selalu Menyakiti, Tapi Luka Lama Bisa Membuatnya Begitu

Deskripsi: Sulit menerima kritik? Mungkin itu bukan ego, tapi cara jiwa melindungi luka lama yang belum sempat sembuh sepenuhnya.


Aku pernah duduk di satu forum diskusi kecil, ketika seseorang—dengan niat baik—memberi masukan pada pekerjaanku. Tak ada nada tinggi, tak ada sindiran. Kalimatnya pun ringan dan lembut. Tapi entah kenapa, dadaku terasa panas. Mulutku diam, tapi hatiku sibuk membela diri. Otakku membangun banyak alasan—tentang kenapa aku melakukan ini, tentang kenapa dia mungkin tidak mengerti situasiku.

Beberapa jam setelahnya, aku merasa lelah. Bukan karena kritiknya, tapi karena perdebatan dalam diriku sendiri.

Lama aku berpikir, kenapa aku begitu defensif? Padahal kalau dipikir, kritiknya masuk akal dan disampaikan dengan baik. Tapi kenapa ada bagian dari diriku yang merasa… diserang?

Lalu aku sadar: mungkin masalahnya bukan pada kritiknya. Tapi pada luka-luka lama yang belum selesai.


Kita sering mendengar nasihat: “Belajarlah menerima kritik.”
Dan benar, itu nasihat yang penting.
Tapi jujur saja, menerima kritik itu tidak selalu mudah. Bahkan kadang terasa seperti membuka luka lama yang belum sembuh.

Karena tidak semua kritik hanya terdengar sebagai saran. Kadang ia menggema seperti penghakiman. Apalagi bagi kita yang tumbuh dengan terlalu banyak penolakan, celaan, atau ekspektasi tinggi.

Kritik yang sebenarnya netral bisa memicu emosi yang berlebihan, karena membawa kita kembali ke masa kecil—masa di mana kita sering merasa tidak cukup baik, tidak cukup pintar, tidak cukup layak dicintai. Maka ketika seseorang mengkritik, meski dengan niat baik, ada bagian dalam diri kita yang merasa: “Lihat, aku salah lagi. Aku gagal lagi.”

Dan tubuh kita, jiwa kita, dengan sangat refleks berusaha melindungi diri. Kita menolak, membantah, atau malah balik menyerang. Bukan karena kita keras kepala. Tapi karena kita sedang membentengi diri dari luka lama yang terbuka kembali.


Aku pernah membaca bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh cinta dan penerimaan biasanya lebih mudah menerima kritik ketika dewasa. Karena mereka tidak mengaitkan kritik dengan nilai diri. Bagi mereka, kritik adalah tentang perilaku, bukan harga diri.

Tapi tidak semua dari kita punya pengalaman tumbuh yang seperti itu. Banyak dari kita yang sejak kecil sering merasa harus sempurna agar bisa diterima. Harus patuh agar tidak dimarahi. Harus sukses agar tidak dianggap beban.

Dan ketika kita besar, luka itu belum benar-benar hilang. Ia hanya mengendap. Hingga suatu hari, saat seseorang berkata, “Kamu sebaiknya lakukan ini dengan cara berbeda,” bagian kecil dalam diri kita berteriak, “Lagi-lagi aku salah.”

Aku pelan-pelan belajar mengenali luka itu. Bahwa ketidaknyamanan terhadap kritik seringkali bukan tentang benar atau salah, tapi tentang rasa takut tidak diterima. Takut gagal. Takut kehilangan cinta.


Hari itu aku duduk di meja kerja, membaca ulang pesan email yang berisi revisi tulisan dariku. Dulu, mungkin aku akan merasa tersinggung. Tapi hari itu, aku tarik napas panjang. Aku baca perlahan. Dan aku temukan satu hal: bahwa kritik itu sebenarnya bukan serangan. Ia adalah upaya memperbaiki. Ia adalah tanda bahwa karyaku dibaca, dipedulikan.

Bukan berarti kritik selalu benar. Tidak. Tapi juga bukan berarti semua kritik adalah hinaan. Kadang kritik adalah jendela yang membuka kemungkinan untuk tumbuh.

Kuncinya satu: belajar membedakan antara kritik dan penghinaan, antara masukan dan penghakiman. Itu butuh latihan. Dan butuh keberanian untuk jujur pada diri sendiri.

Aku mulai bertanya setiap kali merasa sakit hati karena kritik, “Apakah ini benar-benar menyakitkan? Atau hanya menyentuh luka lama yang belum sembuh?”
Dan seringkali, jawabannya yang kedua.


Dalam proses ini, aku juga belajar satu hal penting: memelihara harga diri bukan berarti menolak semua kritik. Tapi mengolahnya dengan tenang, dan menyaringnya dengan bijak.

Kritik yang membangun bisa menjadi cahaya. Kritik yang menjatuhkan, bisa kita abaikan. Tapi yang paling menolong adalah ketika kita mengenal diri sendiri dengan lebih jujur. Bahwa ya, aku punya luka. Dan luka itu butuh diakui. Bukan untuk disalahkan, tapi untuk dipeluk.

Semakin aku mengenal lukaku, semakin aku bisa menerima kritik dengan hati yang lapang. Tidak selalu mudah, tapi lebih mungkin.


Ada satu cerita kecil yang kubaca dari buku psikologi populer. Tentang seorang guru yang selalu memulai kelasnya dengan berkata, “Hari ini, saya akan salah.”
Murid-muridnya heran. Tapi kemudian sang guru menjelaskan bahwa belajar berarti membuka ruang untuk salah—dan menerima masukan adalah bagian dari proses itu.

Aku suka cara pikir itu. Bahwa menjadi dewasa bukan berarti kebal dari kritik, tapi mampu bertumbuh bersamanya.
Dan lebih dari itu, mampu membedakan suara luar dengan bisikan luka batin sendiri.

Kita berhak merasa sakit. Tapi kita juga berhak belajar sembuh.
Dan salah satu bentuk penyembuhan terbaik adalah belajar menerima kritik sebagai proses bertumbuh, bukan sebagai serangan pada jati diri.


Kalau kamu hari ini merasa sulit menerima kritik, izinkan aku bilang ini:

Mungkin kamu bukan keras kepala. Mungkin kamu hanya sedang melindungi bagian dalam dirimu yang pernah merasa gagal atau tidak cukup.

Dan itu manusiawi.

Tapi jangan biarkan luka itu selamanya menghalangi pertumbuhanmu.

Pelan-pelan, kita bisa belajar.
Belajar menerima kritik tanpa harus kehilangan harga diri.
Belajar terbuka tanpa harus telanjang dan tak berdaya.
Belajar berkata, “Terima kasih atas masukannya,” tanpa harus merasa hancur.
Karena kebaikan hati dan keinginan untuk tumbuh bisa hidup berdampingan.


Aku menulis ini bukan karena sudah pandai menerima kritik. Tapi karena aku tahu bagaimana rasanya merasa diserang, padahal yang datang adalah uluran tangan.

Dan aku ingin mengingatkan diriku—dan mungkin juga kamu—bahwa kita semua sedang belajar.

Maka jika hari ini ada kritik yang datang, jangan buru-buru ditolak. Duduklah sebentar. Dengarkan. Rasakan. Saring. Simpan yang baik. Buang yang menyakitkan. Dan rawat bagian dalam dirimu yang masih sering merasa takut.

Karena kita semua punya ruang untuk tumbuh.
Dan terkadang, pertumbuhan itu dimulai dari keberanian untuk mendengarkan, meski sedikit perih.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *