Ajarkan Anak Mencintai Dirinya Sendiri, Bukan Hanya Mengejar Pujian dan Pengakuan dari Orang Lain

Deskripsi :
Bahagia tidak datang dari pujian semata. Anak perlu merasa dicintai apa adanya, bukan hanya saat berprestasi. Ini tentang membangun kepercayaan diri dan cinta yang utuh dari dalam.
CHARACTER LEARNING – Aku pernah menyaksikan seorang anak yang begitu bersinar setiap kali namanya disebut sebagai juara kelas. Tapi aku juga melihat dia menangis diam-diam saat hari itu datang dan ia tak dipanggil. Bukan karena nilainya buruk. Ia hanya tak lagi juara. Dan tiba-tiba saja, tak ada yang menyapanya dengan semangat seperti dulu. Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada “kamu hebat” yang biasanya ia dengar.
Hari itu aku sadar, betapa dalamnya luka yang ditinggalkan oleh pujian yang tidak diimbangi penerimaan tanpa syarat.
Sebagai orang tua atau pendidik, kadang kita terjebak dalam semangat memotivasi anak, tapi tak sadar telah menanamkan benih yang salah. Kita terlalu sering memuji saat anak berhasil, namun lupa hadir saat anak gagal. Kita menyemangati saat ia juara, namun diam saat ia terjatuh. Seolah-olah cinta dan penerimaan itu datang dengan syarat: kamu akan dicintai jika kamu membanggakan.
Padahal, tugas terpenting kita bukan membuat anak jadi kebanggaan, melainkan memastikan ia bisa merasa cukup dengan dirinya sendiri, bahkan saat dunia tak bertepuk tangan.
Cinta yang Tidak Bergantung pada Hasil
Satu hal yang terus kutanam dalam pikiranku sebagai orang dewasa adalah ini: anak tidak hanya butuh merasa dicintai saat mereka berhasil. Mereka justru lebih butuh diyakinkan bahwa mereka tetap dicintai saat mereka gagal.
Kalimat sederhana seperti, “Nggak apa-apa kamu belum menang, Ayah tetap sayang kamu,” bisa menjadi pondasi kepercayaan diri yang jauh lebih kuat daripada, “Wah kamu hebat ya, jadi juara terus!”
Anak-anak belajar mencintai dirinya dari bagaimana kita mencintai mereka. Jika cinta itu hanya muncul saat mereka tampil sempurna, mereka akan tumbuh dengan ketakutan untuk gagal. Mereka akan merasa tidak layak saat tidak mencapai sesuatu. Mereka bisa jadi orang dewasa yang haus pengakuan, tak pernah merasa cukup meski sudah memiliki banyak.
Pujian Itu Seperti Gula
Pujian, sebenarnya, tak selalu buruk. Tapi seperti gula dalam makanan, kalau berlebihan, bisa bikin kecanduan. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang sangat tergantung pada validasi luar.
Lama-lama, mereka belajar menyetel hidup hanya untuk memuaskan ekspektasi orang lain. “Apa yang harus kulakukan supaya orang menganggapku baik?” menggantikan pertanyaan, “Apa yang sebenarnya aku sukai dan yakini?”
Sebagai gantinya, mari kita berikan apresiasi yang lebih dalam dari sekadar kata “kamu pintar”. Coba ucapkan, “Aku suka bagaimana kamu mencoba terus walau sulit,” atau “Kamu kelihatan menikmati proses belajarnya, itu keren.”
Dengan begitu, kita sedang menanamkan nilai bahwa usaha dan proses lebih berharga daripada hasil akhir. Anak pun belajar bahwa dirinya bermakna bukan karena label juara, tapi karena dirinya adalah manusia yang tumbuh dan terus belajar.
Ajarkan Anak Mendengar Suara dari Dalam
Aku percaya, orang paling bahagia bukanlah yang paling banyak dipuji. Tapi mereka yang bisa hidup dengan tenang, tanpa perlu terus membuktikan apa-apa. Mereka yang bisa tidur nyenyak karena tahu bahwa gagal bukan berarti buruk. Dan menang bukan satu-satunya ukuran keberhasilan.
Anak-anak berhak belajar menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, bukan versi terbaik menurut standar orang lain. Kita bisa mulai dengan mengajarkan mereka mendengar suara dari dalam — suara hati yang tahu kapan harus istirahat, kapan harus berjuang, dan kapan harus menerima.
Bukan suara-suara dari luar yang terus menuntut, “Harus sempurna,” “Harus juara,” atau “Harus membanggakan.”
Penerimaan Membentuk Daya Tahan Psikologis
Penerimaan tanpa syarat bukan berarti membiarkan anak seenaknya. Tapi ini soal menjadi tempat paling aman bagi mereka untuk pulang, apapun yang terjadi.
Ketika anak tahu bahwa gagal tidak membuat cinta orang tuanya berkurang, mereka akan tumbuh lebih berani mencoba. Mereka tidak takut jatuh, karena tahu ada tangan yang akan memeluk, bukan menunjuk dan menyalahkan.
Dan percayalah, anak-anak yang dicintai dengan cara seperti ini justru akan tumbuh lebih kuat. Mereka tidak mudah tumbang ketika dunia tak bersikap manis. Mereka tahu harga diri mereka tidak ditentukan oleh piala atau peringkat.
Mengembalikan Makna Diri
Ada satu kalimat yang kupegang erat ketika mendampingi anak-anak: “Kita tidak perlu menjadi orang hebat untuk dicintai.”
Cinta yang sejati bukanlah cinta karena pencapaian, tapi cinta yang mengizinkan seseorang menjadi dirinya — dengan segala kekurangan dan pertumbuhannya.
Anak yang tumbuh dengan cinta seperti ini akan belajar mencintai tubuhnya, pikirannya, kesalahannya, dan proses hidupnya. Ia tidak butuh banyak topeng untuk disukai. Ia tidak harus pura-pura kuat atau pintar. Ia bisa tumbuh apa adanya, dan itu sudah cukup.
Penutup: Mari Kita Belajar Bersama
Tulisan ini bukan untuk menggurui siapa pun. Aku juga sedang belajar. Ada hari-hari aku masih terpancing memberi pujian berlebihan saat anak berhasil, dan tanpa sadar lebih diam saat ia gagal. Tapi aku ingin berubah.
Karena aku tahu, anak-anak kita tidak sedang butuh piala yang berkilau. Mereka sedang butuh tempat untuk tumbuh dengan aman. Dengan hati yang diterima. Dengan cinta yang tak berpamrih.
Mari, perlahan-lahan, kita ajarkan mereka untuk tidak menggantungkan bahagianya pada pujian. Tapi pada rasa syukur yang tumbuh dari dalam. Pada cinta yang tidak tergoyahkan hasil.
Sebab dunia ini sudah cukup sibuk menyuruh mereka menjadi hebat. Biarlah rumah dan hati kita menjadi tempat yang terus mengingatkan mereka: “Nak, kamu sudah cukup, bahkan ketika kamu belum menang.”[*]