Aku Menulis, Maka Aku Ada: Manifesto Penulis Pemula

Aku tak tahu persis kapan aku mulai jatuh cinta pada menulis. Yang kuingat, pernah ada masa dalam hidupku ketika segalanya terasa semrawut di kepala—terlalu banyak yang ingin disuarakan, tapi tak tahu bagaimana. Saat aku mencoba bicara, suara rasanya serak, tak ada yang benar-benar mendengar, bahkan aku sendiri.
Lalu aku menulis.
Bukan untuk didengar banyak orang, bukan untuk dibaca siapa-siapa. Aku menulis karena ingin tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Aku menulis agar aku bisa melihat diriku dari luar tubuhku. Dan sejak itu, aku percaya: aku menulis, maka aku ada.
Menulis membuatku hadir sepenuhnya di hadapan diriku sendiri. Di tengah dunia yang memintaku jadi ini dan itu, tulisan adalah satu-satunya ruang di mana aku bisa berkata, “Beginilah aku—dengan luka yang belum sembuh, dengan tawa yang kadang palsu, dengan harapan yang tak selalu kuat.” Tak perlu pura-pura kuat, tak perlu sempurna. Di atas kertas, aku boleh salah. Aku boleh bingung. Aku bahkan boleh menangis diam-diam lewat kata.
Sebagai penulis pemula, aku tak datang membawa teori atau teknik yang rumit. Aku hanya datang dengan satu hal: kejujuran. Karena dari situlah semuanya bermula. Aku menulis bukan karena aku pandai, tapi karena aku ingin jujur. Aku menulis bukan untuk menyenangkan siapa pun, tapi untuk menyelamatkan diriku dari tenggelam dalam diam.
Ada hari-hari ketika jemari ini ragu mengetik. Ketika otak sibuk menghakimi: “Tulisanmu jelek,” “Siapa yang mau baca?” “Kamu bukan penulis sungguhan.” Tapi aku belajar mengabaikan suara-suara itu. Aku belajar menyapa diriku yang takut: “Tak apa. Kita tetap menulis. Walau tak sempurna. Walau hanya sebaris.” Sebab pada akhirnya, menulis bukan soal siapa yang paling bagus. Tapi siapa yang paling setia mendengar suaranya sendiri.
Menulis mengajarkanku untuk lebih hadir. Saat aku menulis tentang hujan, aku belajar mendengarkan detaknya. Saat aku menulis tentang seseorang yang membuatku patah, aku belajar mengakui rasa. Saat aku menulis tentang harapan, aku belajar percaya—bahwa meski kecil, ia tetap ada. Dan bukankah itu yang membuat kita hidup? Bukan hanya bernapas, tapi benar-benar hadir di dalam hidup kita sendiri?
Banyak orang bilang, tulisan harus punya pesan, harus bermakna, harus ada manfaatnya. Tapi bagiku, makna paling awal dari tulisan adalah keberadaan itu sendiri. Bahwa aku pernah merasa ini. Bahwa aku pernah berada di titik itu. Bahwa aku pernah hidup, meski hanya lewat kata-kata.
Menulis itu seperti berkaca. Kadang aku melihat wajah yang asing, kadang aku melihat luka lama yang belum sembuh. Tapi lewat menulis, perlahan aku berani menatapnya. Aku tak ingin menulis untuk terlihat hebat. Aku ingin menulis untuk menjadi lebih jujur, lebih manusia.
Setiap tulisan adalah jejak. Barangkali suatu hari nanti aku akan membaca ulang tulisanku yang sekarang dan tersenyum geli. Tapi bukan karena ia buruk. Melainkan karena aku bisa melihat: aku pernah ada di sana. Aku pernah bingung. Pernah marah. Pernah mencintai sepenuh hati. Dan itu berarti aku pernah hidup dengan sungguh-sungguh.
Menjadi penulis pemula bukanlah kekurangan. Itu adalah awal yang indah. Di sinilah kita mulai belajar mendengar dunia—dan diri sendiri. Di sinilah kita belajar bahwa bahkan luka bisa ditulis. Bahkan kegagalan bisa dirangkai jadi paragraf. Dan mungkin, bahkan ketidaktahuan pun bisa jadi tulisan.
Jadi jika kau seperti aku—baru mulai, masih sering ragu, dan belum tahu akan ke mana tulisan ini membawamu—tenanglah. Kita sama. Tapi percayalah, selama kau menulis dari hati, kau sedang membangun sesuatu yang tak terlihat: kehadiranmu sendiri.
Kita menulis bukan karena sudah tahu, tapi karena sedang mencari. Kita menulis bukan karena punya jawaban, tapi karena ingin bertanya. Dan selama masih ada satu kalimat yang ingin kau tulis, berarti kau masih ada. Kau masih hidup. Kau masih punya nyala.
Dan itu cukup.
Aku menulis, maka aku ada.
Dan hari ini, aku memilih untuk tetap ada—meski hanya dalam diam yang tertulis.[*]