Anak Tak Suka Membaca? Mungkin Ia Butuh Menulis Dulu untuk Menemukan Cintanya pada Buku

anak tidak suka membaca? Coba biarkan ia menulis dulu (Gemini AI)

Deskripsi: Tak semua anak jatuh cinta pada membaca sejak awal. Tapi ketika diberi ruang untuk menulis, mereka bisa menemukan bahwa membaca adalah teman bagi pikirannya sendiri.

“Ayo dong, baca buku. Jangan main terus.”

Kalimat itu sering terlontar begitu saja saat aku melihat anakku lebih memilih menggambar atau menyusun lego daripada membaca buku. Sebagai orang tua yang tumbuh dengan cinta pada buku, aku sempat kecewa. Mengapa antusiasme yang dulu begitu kuat dalam diriku terhadap buku, tak langsung menurun padanya?

Tapi kemudian aku belajar bahwa setiap anak punya pintu masuknya sendiri ke dunia literasi. Dan ternyata, tak semua pintu itu berbentuk halaman-halaman buku. Beberapa anak—termasuk anakku—perlu terlebih dahulu diberi kesempatan untuk menulis, bercerita, atau mengekspresikan isi pikirannya, sebelum ia bisa benar-benar menikmati aktivitas membaca.

Awalnya terdengar aneh, ya? Bukankah membaca adalah dasar sebelum bisa menulis? Tapi pengalaman mengajarkanku sebaliknya. Ketika anak mulai menulis—dalam bentuk apa pun: gambar bercerita, komik, percakapan imajinatif, bahkan curhat kecil di buku harian—ia sedang membangun hubungan personal dengan bahasa. Dan dari sana, perlahan muncul rasa ingin tahu: “Ada nggak, ya, buku yang seperti ceritaku?” atau, “Gimana sih penulis menuliskan perasaan kayak gini?”

Menulis, bagi sebagian anak, adalah jalan sunyi untuk memahami dirinya. Dan justru dari proses itu, membaca jadi terasa lebih relevan. Bukan sekadar tugas sekolah atau kebiasaan baik yang harus dijalankan, tapi sebagai teman bicara yang tidak menghakimi.

Aku ingat satu sore ketika anakku—yang selama ini ogah membaca buku cerita—menunjukkan hasil coretan tangannya. Sebuah komik buatan sendiri. Tokohnya seekor kucing yang bisa berbicara. Ceritanya sederhana, lucu, dan penuh dialog. Ia tersenyum bangga. Dan entah kenapa, aku merasa haru. Bukan hanya karena ia mulai tertarik menulis, tapi karena untuk pertama kalinya ia membuat cerita versi dirinya sendiri.

Aku pun mengambil satu buku dari rak—komik ringan dengan tokoh kucing juga. “Kamu mau lihat, nggak? Ini mirip dengan kucing yang kamu gambar.” Ia pun membuka buku itu. Kali ini, tidak dengan paksaan. Tapi dengan rasa ingin tahu.

Sejak itu, aku tak lagi mengharuskan ia membaca dulu. Aku malah sering bertanya, “Hari ini kamu mau nulis apa?” atau, “Punya ide cerita baru?” Dan perlahan, koleksi bukunya mulai tersentuh. Buku tidak lagi terasa asing. Ia mulai mencari buku untuk mendukung cerita yang ia buat. Ketika menulis tentang luar angkasa, ia membuka ensiklopedia planet. Ketika menggambar hutan, ia membaca sedikit tentang hewan-hewan di dalamnya.

Aku sadar, pendekatanku dulu terlalu satu arah: “Membaca dulu, baru kamu bisa menulis dengan baik.” Tapi anakku membuktikan, menulis dulu justru bisa membuka pintu pada dunia membaca. Karena saat anak menulis, ia sedang membuka percakapan dengan dirinya sendiri. Dan kadang, buku adalah tempat terbaik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari sana.

Bukan berarti semua anak akan langsung menyukai membaca setelah menulis. Tapi ketika menulis jadi aktivitas yang menyenangkan, membaca menjadi kebutuhan alami. Seperti seseorang yang menari, lalu ingin mendengarkan musik baru. Menulis melahirkan keinginan untuk melihat bagaimana orang lain menyusun kalimat, menggambarkan emosi, atau menyelesaikan konflik dalam cerita.

Lebih dari itu, memberi ruang untuk menulis juga mengajarkan anak bahwa ekspresi diri adalah hal yang sah. Bahwa pikirannya berharga untuk dituangkan. Dan saat ia merasa dihargai, ia akan lebih terbuka untuk belajar, termasuk belajar dari buku.

Sebagai orang dewasa, kita kadang terlalu fokus pada hasil: anak harus rajin membaca agar pintar, harus banyak membaca agar berwawasan luas. Tapi kita lupa bahwa ketertarikan lahir dari pengalaman emosional. Anak perlu merasa dekat, terhubung, dan nyaman dulu sebelum mencintai sesuatu. Dan menulis bisa menjadi jembatan yang lembut menuju kecintaan itu.

Kini, aku tak lagi menuntut. Aku memilih menemani. Kadang dengan membacakan cerita, kadang dengan mendengarkan ceritanya, kadang hanya duduk di sebelahnya saat ia menggambar dan berkata, “Seru ya, kalau ini jadi cerita.”

Aku percaya, semua anak bisa menyukai membaca. Tapi mungkin tidak lewat cara yang sama dengan kita. Ada yang masuk lewat gambar, lewat video, lewat diskusi. Dan ada pula yang masuk lewat menulis.

Menulis membuat mereka merasa punya suara. Dan dari situlah, mereka ingin mendengar suara yang lain—melalui buku, cerita, dan dunia kata-kata.

Jadi, kalau anakmu belum suka membaca, jangan buru-buru cemas. Coba beri ruang untuk menulis dulu. Siapa tahu, dari tulisan-tulisannya yang polos dan lucu itu, pelan-pelan ia menemukan bahwa membaca bukan tugas, tapi kesenangan yang tumbuh dari rasa ingin tahu.

Dan bukankah itu awal dari cinta yang paling sejati?[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *