Anak yang Tak Ekspresif: Saat Diamnya Bukan Masalah, Tapi Bentuk Bertahan dari Lingkungan yang Kaku

Deskripsi: Tak semua anak pendiam itu “dingin”. Bisa jadi ia tumbuh di lingkungan kaku yang tak memberi ruang untuk jujur dan terbuka. Kadang, diam adalah bentuk bertahan yang paling aman baginya.
CHARACTER LEARNING – Beberapa tahun lalu, aku sempat mengajar di sebuah komunitas anak. Salah satu anak yang paling sulit didekati adalah seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun. Ia tak pernah bicara jika tidak ditanya. Wajahnya datar, matanya jarang menatap langsung, dan tak pernah terlihat benar-benar senang, meski teman-temannya tertawa lepas. Awalnya, aku mengira dia anak yang cuek atau mungkin tidak tertarik pada apa pun.
Namun semakin lama mengenalnya, aku justru merasa: anak ini tidak dingin. Ia berhati-hati. Seolah sedang mengamati dunia, tapi tidak tahu apakah aman untuk menunjukkan perasaannya.
Beberapa bulan kemudian, lewat obrolan santai dengan ibunya, aku tahu bahwa ia tumbuh dalam keluarga yang sangat “tertib”. Semua harus rapi. Tidak boleh berisik. Kalau marah, diam saja. Kalau sedih, jangan terlalu tampak. Kalau senang, tidak usah lebay. Pelukan bukan kebiasaan. Kata-kata sayang? Nyaris tidak pernah terdengar.
Dan saat itu aku mengerti: anak ini tidak lahir tanpa emosi. Ia hanya tumbuh dalam iklim yang membekukan cara mengekspresikannya.
Sebagai orang dewasa, kita kadang lupa bahwa cara anak mengekspresikan diri sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat ia tumbuh. Anak-anak belajar bukan hanya dari apa yang diajarkan, tapi dari apa yang dicontohkan—dan yang diizinkan. Jika sejak kecil ia melihat bahwa marah itu dilarang, sedih itu dianggap lemah, dan terlalu bahagia itu “tidak sopan”, maka wajar jika ia belajar menekan semua itu dan menyimpannya dalam ruang sunyi.
Tapi sayangnya, dunia sering kali terlalu cepat menilai. Anak yang tidak banyak bicara disebut “tidak punya empati”. Anak yang tidak langsung memeluk saat kita sedih dianggap “dingin”. Padahal bisa jadi ia hanya tak tahu bagaimana mengekspresikan itu semua—karena tidak pernah diberi bahasa, waktu, dan ruang untuk belajar.
Dari pengalaman itu, aku belajar menanggapi anak yang tidak ekspresif dengan lebih lembut. Bukan dengan memaksa mereka terbuka, tapi dengan menciptakan rasa aman. Rasa bahwa di sini, ia boleh bicara tanpa dihakimi. Boleh sedih tanpa disuruh cepat-cepat tersenyum. Boleh marah tanpa harus merasa bersalah.
Butuh waktu. Kadang sangat lama. Tapi saat pertama kalinya anak itu mendekat dan berkata dengan suara pelan, “Aku suka waktu kakak ngajarin kemarin,” aku tahu, itu bukan sekadar ucapan. Itu adalah bentuk ekspresi yang selama ini tersimpan. Dan keberaniannya mengatakannya, adalah bentuk kepercayaan.
Aku pun jadi banyak merenung soal diriku sendiri. Aku pun dulu tumbuh dalam rumah yang cukup tertib. Tidak berlebihan dalam mengekspresikan apa pun. Dan aku ingat, butuh waktu lama bagiku untuk bisa mengatakan, “Aku sedih,” atau bahkan, “Aku bangga pada diriku sendiri.” Kata-kata itu terasa asing di lidahku, meskipun perasaannya nyata di dalam dada.
Mungkin itu sebabnya, aku bisa memahami anak-anak yang serupa. Yang tidak langsung tersenyum ketika diberi hadiah. Yang tidak langsung memeluk balik saat kita membuka tangan. Yang terlihat “biasa saja” di luar, padahal mungkin sedang ribut sekali di dalam.
Dan dari semua itu, aku belajar bahwa tidak semua bentuk kasih sayang tampak. Tidak semua perasaan harus meledak-ledak untuk menjadi sah. Tapi juga: semua anak berhak belajar cara mengekspresikan diri tanpa takut.
Sebagai orang dewasa, kita bisa mulai dengan satu hal: jangan buru-buru menilai. Jangan buru-buru menempelkan label “dingin”, “tidak perhatian”, atau “tidak peduli”. Lihatlah lebih dalam. Bertanyalah lebih lembut. Karena bisa jadi, yang kita hadapi bukan anak yang tidak punya emosi, tapi anak yang terbiasa menekannya terlalu lama.
Kadang kita ingin anak cepat berubah. Jadi lebih terbuka. Lebih hangat. Tapi perubahan itu tidak datang dari paksaan. Ia tumbuh dari keteladanan dan pengulangan kecil. Memberi pelukan, walau ditolak di awal. Mengatakan, “Aku sayang kamu,” meski anak hanya diam. Menunjukkan emosi kita sendiri—sedih, marah, senang—dengan jujur tapi tetap tenang. Karena dari situ, anak belajar bahwa emosi bukan hal yang harus ditakuti.
Yang mereka butuhkan bukan orang dewasa yang sempurna, tapi yang bisa menerima mereka dengan cara mereka sendiri—tanpa terburu-buru mengubah, tapi sabar menemani.
Anak yang tidak ekspresif bukan anak yang salah. Ia hanya butuh waktu. Butuh contoh. Butuh lingkungan yang mencairkan ketegangan dalam dirinya. Dan kita bisa jadi bagian dari proses itu—dengan menjadi rumah yang lebih hangat daripada tempat asalnya.
Di akhir cerita, aku percaya: ketika anak belajar mengekspresikan diri, itu bukan hanya soal komunikasi. Itu adalah proses mengenal dirinya sendiri. Dan di sanalah daya pulihnya tumbuh. Perlahan, tapi pasti.[*]