Ayah Bunda, Anak Butuh Teladan dalam Ibadah, Bukan Sekadar Diingatkan Setiap Waktu


Pernahkah kita memerintah anak untuk shalat, tapi mereka justru tak bergerak? Atau kita berkata, “Jangan malas ngaji,” tapi anak malah menunduk tanpa antusias? Lalu kita pun berkata dalam hati, “Anak ini kok susah sekali diingatkan soal ibadah.”

Saya pernah. Dan lebih dari sekali.

Tapi suatu hari, saya duduk sendiri dan bertanya:
Apakah saya benar-benar memberi contoh, atau hanya memberi instruksi?


Anak Lebih Banyak Meniru daripada Mendengar

Kita sering lupa satu hal sederhana: anak-anak belajar lebih banyak dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar.

Ketika ayah menyuruh anaknya shalat, tapi masih sibuk dengan gawai…
Ketika ibu menyuruh anaknya tilawah, tapi matanya sibuk menonton sinetron…
Ketika kita menyuruh anak sedekah, tapi tak pernah melihat kita mengulurkan tangan untuk yang membutuhkan…

Di sanalah pesan yang kita ucapkan mulai kehilangan kekuatannya.


Anak Itu Cermin, Bukan Robot

Anak bukan mesin yang tinggal kita program dengan perintah dan larangan. Mereka adalah cermin dari rumahnya. Apa yang mereka lihat setiap hari akan mereka serap, baik sadar maupun tidak.

Dulu, saya sering berkata, “Nak, jangan tinggalin shalat, ya. Shalat itu tiang agama.”

Tapi ketika saya shalat di akhir waktu, dengan terburu-buru…
Ketika saya menguap saat dzikir…
Ketika saya tidak pernah membawa anak ke masjid…

Apa yang anak saya lihat?
Bahwa shalat bukan prioritas, hanya kewajiban.


Sebuah Malam yang Mengubah Sudut Pandang

Suatu malam, saya bangun untuk tahajud. Saat itu rumah senyap. Anak-anak tidur pulas. Saya pun mengambil air wudhu, membentangkan sajadah, dan mulai shalat.

Di tengah rakaat kedua, saya mendengar suara lirih dari belakang.

Ternyata anak saya bangun, melihat saya dari balik pintu, lalu ikut duduk di samping saya sambil mengamati.

Ia tidak ikut shalat. Ia hanya melihat. Tapi dari sinar matanya, saya tahu… ada sesuatu yang masuk ke dalam hatinya.

Esok harinya, tanpa saya suruh, dia bertanya, “Ayah, boleh aku ikut tahajud juga besok?”

Dan saya belajar sesuatu yang sangat penting malam itu:
Satu kali memberi teladan, bisa lebih dalam dari seratus kali memberi nasihat.


Ibadah yang Menginspirasi, Bukan Membebani

Sering kali kita mengingatkan anak untuk ibadah dengan wajah serius, nada tinggi, atau bahkan emosi. Padahal, ibadah seharusnya tumbuh dari cinta, bukan dari ketakutan.

Bagaimana anak bisa mencintai shalat, jika tiap kali ia lupa, kita memarahinya?
Bagaimana anak mau mengaji, jika tiap kali ia salah, kita mengomelinya?

Mari kita ubah cara. Mari kita mulai dengan menjadi contoh yang hangat, bukan penjaga yang galak.

Shalat dengan tenang, bukan terburu-buru.
Tilawah dengan hati, bukan sekadar menyelesaikan target.
Sedekah dengan ikhlas, bukan pamer.

Karena anak-anak menyerap bukan sekadar perbuatan, tapi getaran jiwa di balik perbuatan itu.


Bukan Harus Sempurna, Tapi Jujur

Menjadi teladan bukan berarti kita harus sempurna. Tapi kita perlu jujur. Ketika kita lelah, katakan. Ketika kita sedang malas, akui. Tapi jangan biarkan itu menjadi alasan untuk berhenti berusaha.

Pernah suatu sore saya berkata pada anak saya, “Ayah capek banget hari ini, tapi ayah nggak mau tinggalin shalat maghrib. Mau nemenin ayah nggak?”

Anak saya mengangguk. Dia tahu saya lelah, tapi juga tahu bahwa saya tetap melaksanakan ibadah. Dan pelajaran itu—tanpa saya sadari—jauh lebih kuat dari sekadar “Ayo, shalat sana!”


Rumah sebagai Sekolah Pertama Iman

Kita sering berharap anak-anak kita menjadi shalih. Tapi kadang kita lupa: apa yang mereka lihat di rumah? Rumah adalah sekolah pertama keimanan. Dan guru terbaik bukan yang paling pandai berbicara, tapi yang paling tulus menjalani.

Jika anak melihat:

  • Shalat berjamaah di rumah.
  • Orang tua yang berdoa bersama dengan sungguh-sungguh.
  • Dzikir yang mengisi waktu setelah shalat.
  • Al-Qur’an terbuka, bukan hanya dibuka saat Ramadan.

Maka mereka akan tumbuh dengan rasa bahwa ibadah adalah bagian hidup, bukan beban.


Penutup: Mari Jadi Cinta Pertama Anak kepada Ibadah

Anak-anak tak butuh orang tua yang sempurna. Mereka butuh sosok yang nyata, yang hadir, yang berusaha. Yang shalat meski lelah. Yang berdoa meski belum terkabul. Yang sabar meski diuji.

Karena dari situlah mereka belajar, bahwa ibadah bukan sekadar kewajiban—tapi bentuk kejujuran hati kepada Tuhan.

Jadilah cinta pertama anak kepada ibadah.
Bukan dari suara yang mengingatkan, tapi dari wajah yang menunjukkan ketulusan.

Dan ketika kelak anak kita beribadah dengan hati, bukan hanya rutinitas… kita tahu, itu bukan hasil ceramah. Tapi hasil dari cermin yang mereka lihat setiap hari—yakni diri kita sendiri.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *