Belajar Ridha: Ketika Jalan Hidup Tak Sesuai Harapan, Tapi Kita Tetap Ingin Mencintai-Nya Sepenuh Jiwa

Deskripsi :

Dalam tasawuf, ridha bukan sekadar pasrah. Ia adalah cinta tanpa syarat, bahkan ketika yang datang adalah sakit dan kehilangan. Saat kehendak kita kalah, cinta justru menemukan bentuk paling murninya.


CHARACTER LEARNING – Ada satu kalimat pendek yang selalu membuat dada terasa sempit sekaligus dalam:
“Bukan kehendakku, tapi kehendak-Mu.”

Kalimat yang mudah diucapkan, tapi sulit sekali ditanamkan ke dalam hati. Apalagi ketika hidup sedang tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Ketika doa-doa tak berbalas. Ketika keinginan-keinginan yang kita rajut dengan harapan justru harus kita kuburkan pelan-pelan. Dan yang tertinggal hanya diam, sunyi, dan pertanyaan yang tidak berani kita ajukan: “Kenapa, ya Allah?”

Di titik itu, kita sedang belajar tentang ridha.


Ridha Bukan Sekadar Pasrah

Ridha sering disalahartikan sebagai pasrah yang lemas. Tapi dalam tasawuf, ridha bukan tunduk karena kalah, melainkan tunduk karena cinta. Karena kita percaya, walau hati remuk, Allah tetap Maha Pengasih. Walau rencana kita gagal, Dia tetap Maha Bijaksana.

Ridha bukan tentang memaksa diri untuk ‘baik-baik saja’, tapi tentang menyandarkan hati pada kehendak Allah, bahkan ketika logika kita tidak mengerti.

Saya pernah mengalami satu masa di mana semua rencana hidup saya tampak runtuh. Hal-hal yang sudah saya bangun dengan sabar, harapan yang saya jaga bertahun-tahun, orang-orang yang saya kira akan ada di sisi saya… satu per satu menjauh.

Awalnya saya marah. Lalu lelah. Lalu diam.

Di situ, saya belajar. Bahwa ridha bukan tentang menyukai apa yang terjadi. Tapi tentang memilih untuk tetap mencintai Allah, meski yang datang adalah luka.


Cinta Sejati Tidak Memilih Skenario

Nabi Ibrahim tidak hanya diuji untuk menyembelih Ismail. Sebelum pisau itu menyentuh anaknya, hatinya lebih dulu “disembelih”.
Apakah ia mencintai Ismail? Tentu.
Tapi ketika Allah meminta, ia tidak sekadar memberi anaknya. Ia menyerahkan hatinya.

Itulah cinta tanpa syarat. Cinta yang tidak memaksa Tuhan untuk mengikuti skenario kita. Cinta yang berani mengatakan, “Jika ini dari-Mu, walau aku menangis, aku akan menerimanya.”

Kita semua punya Ismail dalam hidup kita. Bisa jadi itu harapan, pasangan, pekerjaan, status, atau jalan hidup yang sudah lama kita impikan. Tapi bisa juga itu adalah kehendak kita sendiri—keinginan untuk mengendalikan hidup sepenuhnya.

Dan Allah, dalam rahmat-Nya, kadang meminta kita meletakkan semuanya di altar pengorbanan. Bukan karena Dia ingin menyakiti, tapi karena Dia ingin menyucikan.


Menyerahkan Kendali, Bukan Menyerah Hidup

Ada perbedaan besar antara “menyerah” karena putus asa, dan “menyerahkan” karena percaya.
Ridha tidak berarti berhenti berusaha. Tapi ia berarti tidak menjadikan hasil sebagai sumber utama kebahagiaan.

Kita tetap bekerja, tetap berjuang, tetap berdoa. Tapi ketika hasilnya jauh dari yang kita harapkan, kita tetap tersenyum. Bukan karena tidak sedih, tapi karena yakin: Tuhan tahu lebih dari kita.

Saya pernah memohon satu hal pada Allah selama bertahun-tahun. Saya yakin itu baik. Saya yakin itu akan membuat hidup saya lebih bermakna. Tapi Allah tidak memberikannya. Justru membawa saya ke jalan lain yang penuh luka dan rasa tidak paham.

Namun di jalan itulah, saya menemukan versi diri saya yang lebih lembut. Lebih hening. Lebih paham bahwa yang saya butuhkan bukan takdir yang sesuai harapan, tapi hati yang bisa menerima takdir apa pun dengan lapang.


Ridha Tidak Datang Seketika

Saya tidak ingin memberi kesan bahwa ridha itu instan. Tidak.
Ia tidak lahir dari satu malam munajat atau satu nasihat bijak. Ridha lahir dari perjuangan batin yang panjang. Dari air mata yang jatuh dalam sujud-sujud sunyi. Dari kekecewaan yang diterima tanpa menuntut. Dari doa-doa yang tetap dipanjatkan meski tak kunjung dikabulkan.

Dan kadang, ridha bukan hasil, tapi proses.
Proses menerima bahwa hidup ini tidak harus selalu sesuai dengan keinginan kita.
Dan ternyata… itu tidak apa-apa.


Menggenggam dengan Longgar

Salah satu tanda ridha adalah ketika kita bisa menggenggam dunia dengan longgar. Tidak terlalu erat, tapi juga tidak melepaskan semuanya. Kita sadar bahwa apa pun yang ada di tangan kita hari ini, bisa saja diambil esok hari. Dan jika itu terjadi, kita tidak hancur.

Karena hati kita sudah duluan bersandar pada Yang Maha Kekal.

Saya jadi ingat satu kalimat dari Ibnu Atha’illah:
“Engkau takut kehilangan sesuatu karena tidak percaya bahwa Allah akan menggantikannya.”

Betapa sering kita menderita bukan karena kehilangan, tapi karena tidak percaya Allah bisa memberi yang lebih baik.


Ketika Tidak Ada yang Tersisa, Cinta Itu Masih Ada

Ada orang yang kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah tangga, kehilangan nama baik. Tapi ketika ia duduk sendirian dalam sepi dan berkata, “Ya Allah, aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Engkau,” —di situlah ridha bersemi.

Karena ketika segala sesuatu diambil, dan kita tetap mencintai-Nya, itu bukan cinta biasa.
Itu adalah cinta yang telah dibakar oleh kehilangan, namun tetap menyala.
Itu adalah fana—lenyapnya kehendak pribadi, agar yang tersisa hanya kehendak-Nya.


Penutup: Doa Seorang yang Ingin Belajar Ridha

Ya Allah,
jika jalan hidupku tak seperti yang kuimpikan,
ajari aku mencintainya seperti aku mencintai-Mu.
Jika Kau ambil apa yang paling aku sayangi,
gantilah dengan hati yang lebih kuat memeluk-Mu.
Dan jika Kau tak mengubah takdirku,
maka ubahlah diriku agar mampu menerima takdir itu
dengan senyum seorang hamba
yang telah cukup hanya dengan-Mu.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *