Bukan Sekadar Tradisi: Mengajak Anak Berdiskusi, Mengapa Kita Harus Berqurban Setiap Idul Adha?

DESKRIPSI : Qurban bukan hanya ibadah, tapi pelajaran tentang kasih, pengorbanan, dan empati. Mari ajak anak bertanya: kenapa harus qurban? Dan temukan jawabannya bersama, dari hati ke hati.
CHARACTER LEARNING – “Bunda, kenapa sih kita harus nyembelih kambing? Kasihan, dia ‘kan juga makhluk hidup…”
Pertanyaan itu datang dari anak saya, beberapa hari menjelang Idul Adha. Saya sedang menyortir data pembelian hewan qurban saat dia mendekat, membawa rasa penasaran yang tulus dan wajah yang polos. Jujur, pertanyaan itu sempat membuat saya diam sejenak. Bukan karena saya tidak tahu jawabannya, tapi karena saya sadar: selama ini, saya terlalu sering menjelaskan qurban sebagai kewajiban, bukan sebagai makna.
Sebagai orang dewasa, kita terbiasa menjalankan ritual agama karena “memang harus begitu”. Tapi anak-anak belum sampai di titik itu. Mereka belum terlatih menerima tanpa bertanya. Mereka butuh makna, bukan sekadar perintah. Dan sering kali, kita lalai menemani mereka menemukan makna itu—terutama dalam hal yang sakral seperti qurban.
Momen Bertanya, Momen Belajar
Anak-anak bertanya bukan karena membantah, tapi karena ingin mengerti. Dan qurban, bagi mereka, bisa jadi tampak membingungkan: mengapa kita justru menyembelih hewan di hari raya? Kenapa bukan memberi makan hewan, atau memeliharanya?
Saya mengajak anak saya duduk. Kami membuka buku cerita bergambar tentang Nabi Ibrahim dan Ismail. Di sela membaca, saya bertanya balik, “Kalau kamu jadi Nabi Ibrahim, apa yang kamu rasakan kalau diminta menyerahkan anakmu?” Dia diam. Matanya menyipit, berpikir keras. “Sedih banget… Tapi Nabi Ibrahim tetap nurut, ya?”
Saya tersenyum. “Iya, karena beliau percaya bahwa Allah pasti punya maksud baik. Tapi yang membuat qurban itu luar biasa bukan cuma ketaatannya. Tapi juga ketulusan hatinya—karena beliau rela memberikan sesuatu yang paling beliau cintai.”
Kami terus berdiskusi. Saya tidak buru-buru menyimpulkan. Saya ingin ia merasakan sendiri bahwa qurban bukan hanya soal menyembelih. Tapi tentang belajar melepas.
Qurban: Tentang Melepas dengan Ikhlas
Bagi anak-anak, melepas bukan perkara mudah. Bahkan mainan yang sudah rusak pun bisa mereka peluk berhari-hari. Maka mengajarkan makna qurban adalah pelajaran emosional yang dalam. Bahwa kadang, memberi itu berarti kehilangan. Tapi dari kehilangan itu, lahir rasa peduli.
Saya bilang padanya, “Kita berqurban bukan karena kita benci hewan itu. Tapi justru karena kita menyayangi orang lain yang membutuhkan. Kita belajar bahwa cinta bukan cuma memeluk, tapi juga rela melepas untuk kebaikan yang lebih besar.”
Ia mengangguk pelan. “Jadi kita qurban supaya orang lain bisa makan enak?”
Saya tertawa kecil. “Itu salah satunya. Tapi lebih dari itu, qurban mengajarkan kita bahwa hidup ini bukan hanya tentang diri sendiri. Kita diajak untuk mengalahkan rasa ‘sayang’ yang egois, dan menggantinya dengan kasih yang rela berbagi.”
Ruang Diskusi: Memberi Anak Peran dalam Iman
Saya tidak ingin anak saya hanya menjadi pelaksana ibadah, tapi juga penikmat maknanya. Maka saya berusaha membuka ruang diskusi setiap kali ada ibadah besar. Termasuk qurban.
Kami berdiskusi tentang siapa yang akan menerima daging qurban kami. Kami pilih bersama, bahkan ia ikut menulis label untuk tiap paket. Saat hewan disembelih, saya tak memaksanya menonton. Tapi saya ceritakan prosesnya dengan bahasa yang bisa ia terima.
“Kalau kamu jadi kambing qurban, kamu pengin orang-orang gimana nyembelihnya?” tanyanya polos.
Saya kaget dengan pertanyaannya. Tapi saya senang: ia mencoba melihat dari sisi yang lain. Saya jawab, “Pasti ingin disembelih dengan lembut, tanpa ditakuti. Makanya kita harus sayang juga ke hewan qurban. Jangan kasar.”
Dalam tanya dan jawab seperti itu, saya melihat benih empati tumbuh. Ia tidak hanya belajar hukum agama, tapi juga rasa.
Tradisi yang Menghidupkan Hati
Saya pernah melihat seorang ayah yang marah besar saat anaknya menangis melihat kambing qurban disembelih. “Laki-laki jangan cengeng!” katanya.
Tapi saya justru melihat tangis itu sebagai berkah. Karena tangis itu tanda bahwa hatinya masih hidup. Tanda bahwa ia punya rasa. Dan tugas kita bukan mematikan rasa itu, tapi membimbingnya pelan-pelan agar mampu menerima kenyataan hidup—bahwa cinta tak selalu berarti memeluk, kadang juga berarti merelakan.
Qurban bukan untuk menjadikan anak kita tahan melihat darah. Tapi untuk menjadikan mereka peka terhadap penderitaan orang lain. Bahwa ada banyak orang yang hanya bisa makan daging setahun sekali. Bahwa di balik satu potong daging yang mereka berikan, ada senyum yang tak bisa dibeli.
Mewariskan Spirit, Bukan Sekadar Kebiasaan
Saya sadar, anak-anak tidak akan selalu mengingat khutbah panjang atau penjelasan detail fikih. Tapi mereka akan mengingat bagaimana kita bersikap. Bagaimana kita menyentuh hati mereka dengan cerita, dengan perhatian, dengan kesediaan mendengarkan pertanyaan mereka yang polos.
Dan dari situ, mereka akan belajar bahwa agama bukan sekadar aturan, tapi jalan hidup yang menyentuh jiwa.
Qurban adalah kesempatan emas untuk mewariskan nilai-nilai itu. Tentang cinta yang berbagi. Tentang keikhlasan yang diam-diam membentuk karakter. Dan tentang bagaimana kita bisa memberi dengan hati, bukan hanya dengan tangan.
Penutup: Mungkin yang Perlu Kita Tumbuhkan Bukan Cuma Hewan Qurban, Tapi Jiwa yang Peka
Hari itu, setelah diskusi panjang, anak saya bilang, “Kalau aku besar nanti, aku pengin qurban juga. Tapi gak pengin orang tahu. Biar Allah aja yang tahu.”
Saya diam. Tak bisa berkata apa-apa. Karena mungkin, dalam dirinya yang masih kecil, qurban sudah menemukan maknanya. Bukan soal besar kambingnya. Tapi soal besarnya kasih dalam hatinya.
Dan saya belajar, bahwa mengajak anak berdiskusi bukan membuat mereka ragu. Justru di situlah iman menemukan akarnya: dalam proses bertanya, mencari, lalu memahami… dengan hati yang pelan-pelan tumbuh.[*]