Dibilang Cuma di Rumah, Padahal Kerjanya Tiada Henti: Suara Hati Seorang Ibu Rumah Tangga

DESKRIPSI: Sering diremehkan karena “hanya di rumah”, ibu rumah tangga menyimpan beban tak terlihat yang tak pernah selesai. Ini refleksi jujur dari pekerjaan tanpa gaji tapi penuh cinta.
CHARACTER LEARNING – Aku sering mendengar kalimat ini, baik secara langsung maupun dalam versi yang lebih halus:
“Enak ya, cuma di rumah. Bisa santai-santai.”
Atau,
“Kamu kerja nggak? Oh, ibu rumah tangga ya?” (dengan nada sedikit menurun, seolah-olah aku tidak betul-betul bekerja).
Dulu, kalimat-kalimat seperti itu membuatku tersenyum canggung, sambil menjawab, “Iya, di rumah aja kok.” Tapi lama-lama, aku merasa ingin berkata lebih. Bukan untuk membela diri, tapi untuk jujur — bahwa di balik status “ibu rumah tangga”, ada pekerjaan yang tidak pernah selesai, dan tanggung jawab yang kadang terasa menenggelamkan.
Hari Dimulai Saat Orang Lain Masih Tidur
Aku bangun ketika hari masih gelap. Kadang sebelum subuh, kadang setelah begadang karena anak rewel semalaman. Lalu rutinitas dimulai: menyiapkan sarapan, menyiapkan anak sekolah, memastikan suami makan, membereskan rumah, mencuci, memasak, mengurus keperluan rumah tangga, menemani anak belajar, sampai malam tiba dan pekerjaan belum juga benar-benar selesai.
Aku bukan bos. Aku tidak punya jam kerja. Aku juga tidak punya hari libur resmi. Kadang, bahkan ke kamar mandi pun harus dicicil.
Dan anehnya, semua itu dianggap sebagai “tidak bekerja”.
Tak Bergaji, Tapi Semua Bergantung
Menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang tak bergaji — tapi tanpa kita, semua bisa kacau. Rumah tidak akan jalan seperti biasanya. Anak-anak bisa kehilangan arahnya. Suami bisa kehilangan ritme. Dan yang paling penting, ruang emosi di dalam rumah bisa hampa tanpa peran kita.
Kita adalah jantung rumah. Tapi sering kali, karena kita tidak bekerja secara formal, seolah-olah nilai kita pun tidak “resmi”.
Padahal, tak ada pekerjaan yang lebih holistik dari ini: kita jadi manajer rumah tangga, guru untuk anak, konsultan emosi, perawat, koki, petugas kebersihan, dan kadang, pelipur lara yang tidak boleh lelah.
Kalau Semua Tugas Itu Diberi Harga…
Pernah aku membaca bahwa jika semua pekerjaan ibu rumah tangga dihitung seperti gaji profesional, nilainya bisa mencapai puluhan juta per bulan. Tapi tentu, aku tidak melakukan ini demi uang. Aku melakukan ini karena cinta — walau kadang tubuh dan hatiku lelah.
Bukan uang yang kami minta. Hanya pengakuan, sedikit pemahaman, dan sesekali kalimat, “Terima kasih, ya. Kamu luar biasa.”
Tapi sayangnya, masyarakat tidak dibiasakan untuk memandang rumah sebagai tempat kerja, dan ibu rumah tangga sebagai pekerja penuh waktu.
Tekanan Sosial yang Tak Terlihat
Yang menyakitkan bukan hanya pekerjaan yang tidak dihargai, tapi juga tekanan sosial yang diam-diam menusuk.
Saat reuni sekolah, aku sering merasa canggung saat semua orang bicara soal karier, promosi, jabatan, atau bisnis yang sedang berkembang.
Dan saat aku berkata, “Aku di rumah aja sekarang,” sering kali obrolan langsung berpindah ke topik lain.
Seolah-olah aku berhenti menjadi “sesuatu”.
Padahal aku tidak berhenti. Aku hanya memilih tempat bertumbuh yang berbeda: di rumah, bersama anak-anak, di tengah kesibukan harian yang tak berakhir.
Tapi Aku Tidak Menyesal
Ya, aku pernah sedih, pernah merasa kecil, pernah bertanya, “Kenapa pilih ini?” Tapi aku tidak menyesal. Karena dalam keheningan rumah, aku menemukan hal-hal yang tak bisa dibeli:
Ciuman anak sebelum tidur.
Momen pertama mereka bisa membaca.
Tangisan kecil yang berlari ke pelukanku saat mereka takut.
Itu semua mungkin tidak tercatat di CV. Tapi terekam kuat dalam ingatan dan hati.
Dan itu cukup. Lebih dari cukup.
Belajar Menghargai Diri Sendiri
Butuh waktu bagiku untuk tidak mengukur diri dengan standar orang lain. Untuk tidak merasa gagal hanya karena aku tidak memakai seragam kerja atau tidak punya kartu nama.
Aku belajar bahwa value tidak selalu datang dari luar. Kadang, kita sendiri yang harus menegaskan:
Apa yang aku lakukan penting. Apa yang aku pilih bermakna. Apa yang aku jalani ini adalah kerja keras yang layak dihargai.
Aku juga belajar bahwa pekerjaan rumah tangga bukan tanggung jawab perempuan semata. Tapi sebagai ibu rumah tangga, aku memilih mengambil porsi itu karena aku melihat nilainya. Aku sadar, ini kontribusi nyata — bukan pelarian.
Mari Kita Ubah Narasi “Cuma di Rumah”
Aku menulis ini bukan untuk mengeluh. Tapi untuk membuka ruang cerita. Karena aku tahu, banyak ibu rumah tangga lain yang merasa hal sama. Merasa tak terlihat. Merasa diremehkan. Merasa kehilangan identitas.
Sudah saatnya kita berhenti mengatakan “cuma di rumah”. Karena rumah adalah tempat di mana peradaban dibentuk. Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat di sini. Dan kita, para ibu rumah tangga, adalah penjaga pertama nilai, kedisiplinan, dan kasih sayang.
Jangan remehkan rumah — karena rumah yang sehat bisa jadi titik awal dari masyarakat yang sehat.
Penutup: Untuk Semua Ibu Rumah Tangga
Jika kamu juga ibu rumah tangga yang kadang merasa lelah, tak dihargai, atau tak punya pencapaian “nyata” — izinkan aku berkata:
Kamu tidak sendiri.
Kamu hebat.
Kamu adalah fondasi tempat banyak kehidupan bertumbuh.
Dan kalau pun dunia belum bertepuk tangan untukmu, biarlah tulisan ini jadi tepuk tangan kecil dari sesama perempuan yang mengerti.
Teruslah berjalan. Pekerjaanmu tak bergaji, tapi nilainya tak ternilai.[*]