Fana dalam Pelukan Anak: Saat Cinta Ibu Menjadi Jalan Spiritual Menuju Lenyapnya Diri dalam Kasih Ilahi

Deskripsi :
Cinta seorang ibu bisa membawa jiwa larut dalam kefanaan. Dalam pelukan anak, ia belajar melepaskan ego dan mengenal makna cinta tanpa syarat—sebuah jalan sunyi menuju Tuhan.


Aku pernah bertanya dalam hati, “Apakah mungkin seseorang mengalami fana tanpa harus menjadi sufi, tanpa harus berkelana ke gunung atau membaktikan diri di tikar sajadah seumur hidup?”

Dan ternyata jawabannya datang dalam bentuk paling sederhana—seorang anak kecil yang aku lahirkan dengan tubuh yang gemetar, hati yang kalut, dan cinta yang belum sepenuhnya kupahami.

**

Dulu aku mengira fana adalah milik para wali. Aku membayangkan orang-orang suci yang berzikir berjam-jam hingga lupa akan dunia. Tapi tak kusangka, aku menemukan pengalaman itu dalam momen-momen yang tampak remeh: ketika anakku menangis tengah malam dan aku bangkit tanpa pikir, ketika aku mengunyah makanan lalu menyuapkannya lebih dulu padanya, ketika aku menahan kantuk, lapar, dan segala kenyamanan untuk melihat ia tertawa.

Di titik itu, aku tidak merasa berjasa. Aku tidak merasa sedang berbuat baik. Aku hanya… hilang. Tak terpikir ingin dipuji, tidak ingin dibalas. Ada cinta yang begitu tulus keluar dari dada, tanpa permisi, tanpa pamrih. Aku tidak sedang berakting jadi ibu baik. Aku hanya sedang mencintai—dengan segenap jiwa, bahkan ketika aku sudah kelelahan.

Dan mungkin itulah fana.

**

Aku ingat satu malam yang membuatku menangis tanpa suara. Anakku demam tinggi. Suhu tubuhnya naik turun seperti ombak yang tak bisa kuatur. Aku sudah ke rumah sakit, sudah memberi obat, sudah membaca doa-doa yang kupelajari sejak kecil. Tapi tubuh kecil itu tetap terkulai lemas.

Aku duduk memeluknya. Mengusap keningnya. Lalu membungkuk dan memeluk tubuh kecil itu lebih dalam. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis dalam hati. Dan di sanalah aku merasa sangat kecil. Tak berdaya. Tak tahu apa-apa.

Aku berkata lirih dalam hati, “Ya Allah, jika Engkau ingin ambil nyawaku, ambillah. Tapi jangan ambil anak ini.”

Itu bukan ucapan heroik. Itu bukan doa yang diajarkan. Itu adalah jeritan batin yang muncul dari tempat terdalam—dari cinta yang tak bisa dijelaskan dengan teori apa pun. Dan anehnya, setelah mengucapkan itu, ada keheningan aneh yang mengalir dalam diriku. Bukan karena anakku langsung sembuh. Tidak. Tapi karena aku merasa… kosong. Lenyap. Luruh. Aku merasa, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku mencintai seseorang bukan karena aku ingin dia mencintaiku balik, tapi karena mencintainya saja sudah cukup.

**

Bukankah begitu kata para ahli tasawuf? Bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, bukan tentang timbal balik, tapi tentang larut—tentang lebur—tentang hilangnya “aku”.

Selama ini aku terlalu sibuk mengatur. Ingin anakku begini, begitu. Aku ingin jadi ibu yang sempurna. Ingin dihargai. Ingin diakui bahwa aku berjuang keras. Tapi semakin aku menuntut, semakin aku kelelahan. Sampai akhirnya aku sadar—aku tidak sedang membesarkan anak. Aku sedang dibesarkan oleh cinta yang kutanamkan untuknya.

Anakku tidak hanya tumbuh karena asupan giziku. Tapi aku tumbuh karena cinta yang dia ajarkan padaku secara diam-diam.

**

Ada hari-hari saat aku ingin marah, ingin menyerah. Tapi begitu aku melihat matanya yang jernih, semua keluh itu reda. Ada kekuatan yang tidak bisa dijelaskan. Barangkali seperti itulah cinta Ilahi bekerja—ia mengalir tanpa logika. Menyembuhkan tanpa obat. Memeluk tanpa pelukan fisik.

Kadang aku berpikir, apakah ini yang disebut mahabbah? Apakah ini yang dikejar para pencari Tuhan—cinta tanpa syarat, cinta yang membuat kita ingin memberikan seluruh hidup tanpa menimbang untung rugi?

Dan jika iya, maka aku tak lagi heran mengapa surga diletakkan di bawah telapak kaki ibu. Mungkin karena ibu adalah jalan fana paling sunyi, jalan lenyap yang tanpa nama, jalan spiritual yang tak membutuhkan gelar atau pengakuan.

**

Menjadi ibu bukan sekadar peran sosial. Ia adalah latihan spiritual. Ia adalah perjalanan sunyi menuju Allah, melalui air mata, kelelahan, dan pengorbanan yang tidak pernah diumumkan.

Aku pernah merasa gagal. Pernah merasa tidak berguna. Tapi ketika anakku memelukku tanpa alasan, hanya karena rindu, aku merasa diterima oleh semesta. Seolah Allah berkata, “Aku melihatmu.”

Dan mungkin, itulah balasan tertinggi—bukan pujian manusia, bukan kesuksesan dunia, tapi pelukan yang sederhana yang mampu meluruhkan seluruh ego.

**

Ada saatnya aku duduk merenung setelah anak tertidur. Melihat wajahnya yang tenang seperti kertas putih. Dan aku tahu, aku tak mungkin bisa selalu menjaganya. Aku tak mungkin bisa melindunginya dari semua luka. Tapi aku bisa mengantarnya mengenal cinta yang pernah menyembuhkanku—cinta dari Tuhan yang menetes lewat pelukanku.

Di situlah aku belajar melepaskan. Bahwa ia bukan milikku. Ia hanya titipan. Dan aku pun bukan milik diriku sendiri. Aku pun titipan. Semua kita hanya mampir. Dan dalam persinggahan ini, Tuhan memberi satu bentuk cinta fana yang bisa mengajarkan tentang abadi—melalui anak, melalui pengasuhan, melalui lebur diri.

**

Maka jika suatu hari aku merasa kehilangan diri, bukan karena aku lemah. Tapi karena cinta ini memang dirancang untuk membuatku hilang—agar aku belajar menjadi bagian dari yang lebih besar, lebih tinggi, dan lebih suci.

Dan jika kehilangan diri ini membawaku lebih dekat kepada Tuhan, maka aku akan merelakan setiap peluh, setiap tangis, setiap malam yang kuhabiskan untuk mencintai anakku, bukan sebagai beban, tapi sebagai latihan jiwa.

Karena ternyata, pelukan anak bisa menjadi zikir. Tetesan sabar bisa menjadi tasbih. Dan cinta seorang ibu bisa menjadi jalan fana—jalan untuk mengenal Tuhan tanpa perlu banyak bicara.

Dan barangkali… inilah jalanku.

Jalan fana dalam pelukan anak.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *