Hidup Itu Titipan, Bukan Milik — Maka Bagikan Sebanyak yang Kamu Bisa

Ada satu kalimat yang dulu saya anggap klise, tapi sekarang justru sering saya ulang-ulang dalam hati:
“Hidup adalah titipan.”

Dulu, saya tidak terlalu memikirkannya. Kalimat itu terdengar seperti nasihat yang terlalu filosofis, terlalu mengawang. Tapi semakin usia bertambah, semakin saya menyaksikan perpisahan demi perpisahan, kehilangan demi kehilangan, saya mulai mengerti: kita memang tidak memiliki apa pun secara mutlak di dunia ini.

Anak kita, pasangan kita, harta, waktu, bahkan tubuh ini pun suatu hari akan kita tinggalkan.

Dan ketika saya menyadari bahwa hidup ini cuma titipan, saya mulai bertanya pada diri sendiri: kalau semua ini cuma sementara, apa yang ingin saya lakukan dengan apa yang saya punya?

Jawabannya: bagikan. Selagi bisa.


Kita Lahir Tak Membawa Apa-Apa

Coba pikirkan sejenak. Saat kita lahir, kita tidak membawa apa pun. Tidak harta, tidak nama, bahkan tidak kemampuan untuk berjalan atau berbicara. Tapi kemudian, perlahan, kita mulai menerima banyak hal.

Kita diberi nama. Diberi keluarga. Diberi cinta. Diberi waktu, diberi kesehatan, diberi kesempatan belajar. Semua itu kita terima—bukan karena kita layak, tapi karena hidup memang meminjamkan.

Dan nanti, saat waktu kita habis, kita juga akan pergi tanpa bisa membawa apa pun. Bahkan nama kita pun suatu hari akan dilupakan.

Lalu, jika semuanya hanya pinjaman, apa yang bisa benar-benar kita tinggalkan?

Bagi saya, jawabannya bukan jumlah uang di rekening. Bukan jabatan. Tapi kebaikan yang kita bagikan kepada sesama. Itulah yang tertinggal, meski kita sudah tidak ada.


Memberi Itu Bukan Soal Jumlah

Kadang, saya sempat berpikir, “Nanti saja kalau saya sudah lebih kaya, saya mau banyak memberi.” Tapi ternyata, memberi tidak harus menunggu berlebih. Saya belajar bahwa berbagi itu soal hati, bukan soal isi.

Saya pernah melihat seorang ibu penjual sayur, yang tetap menyisihkan sebagian penghasilannya untuk sedekah kecil setiap Jumat. Saya juga kenal seseorang yang meski hidup pas-pasan, selalu siap menampung cerita orang lain dan memberi telinga yang tulus mendengarkan.

Dan saya menyadari—orang-orang seperti mereka tidak merasa memiliki apa pun secara mutlak. Tapi justru karena itu, mereka merasa ringan untuk memberi.


Anak-Anak Pun Hanya Titipan

Mungkin inilah bagian yang paling menggetarkan: ketika saya sadar bahwa anak-anak saya pun bukan milik saya sepenuhnya. Mereka hanya dititipkan untuk saya jaga, rawat, dan didampingi sampai waktunya mereka memilih jalan hidupnya sendiri.

Saya tidak bisa sepenuhnya menentukan siapa mereka akan menjadi. Saya hanya bisa memberi nilai-nilai yang saya yakini, kasih sayang yang saya punya, dan waktu-waktu berharga bersama mereka. Tapi selebihnya—mereka akan tumbuh dengan pilihannya sendiri.

Menyadari ini membuat saya lebih lembut. Saya tidak lagi terlalu ngotot agar anak saya menjadi versi ideal dari bayangan saya. Sebaliknya, saya mulai belajar untuk menyertai, bukan mengendalikan. Karena saya tahu, mereka pun akan saya lepas suatu hari nanti.


Hidup Lebih Tenang Saat Kita Tidak Melekat

Saat saya mulai belajar melihat hidup sebagai titipan, saya merasa lebih ringan. Bukan karena hidup jadi lebih mudah—justru banyak tantangan tetap ada. Tapi saya tidak terlalu panik saat kehilangan, dan tidak terlalu bangga saat punya lebih.

Saya belajar melepaskan. Belajar memaafkan. Belajar tidak menggenggam terlalu erat. Karena saya tahu, semua bisa diambil kapan saja—dan saya tidak punya kuasa atas itu.

Yang bisa saya lakukan hanyalah satu: gunakan sebaik-baiknya, dan bagikan sebanyak-banyaknya.


Bagikan Apa yang Kamu Bisa, Selagi Bisa

Kalau kamu punya uang, bagikan sebagian.
Kalau kamu punya ilmu, ajarkan.
Kalau kamu punya waktu, luangkan untuk mereka yang kamu cintai.
Kalau kamu punya cinta, tunjukkan—jangan simpan.

Jangan tunggu nanti. Jangan tunggu sempurna. Jangan tunggu lapang. Karena bisa jadi, nanti tidak pernah datang.

Hidup ini pendek. Tapi bisa jadi sangat dalam, kalau kita mau menjalaninya dengan hati yang terbuka dan tangan yang memberi.


Pada Akhirnya, Apa yang Kita Bagi Itulah yang Menjadi Milik Kita

Lucunya, dalam hidup yang cuma titipan ini, justru apa yang kita berikanlah yang akan benar-benar menjadi milik kita. Bukan yang kita simpan.

Karena cinta yang dibagikan akan tumbuh. Ilmu yang dibagikan akan hidup. Senyum yang kita berikan akan dikenang. Dan semua itu—itulah yang akan tetap tinggal, bahkan saat kita sudah tidak ada.

Jadi kalau hari ini kamu masih bisa memberi sesuatu—besar atau kecil, materi atau perhatian, tenaga atau waktu—lakukan.

Karena kamu tidak benar-benar memiliki hidup ini. Tapi kamu bisa membuat hidupmu berarti dengan cara membagikannya kepada orang lain.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *