Ibu Rumah Tangga Juga Butuh Diakui: Saat Kerja Keras Tak Dihargai Pasangan atau Keluarga

Ketika “Terima Kasih” Tak Pernah Datang (Gemini AI)

DESKRIPSI : Ibu rumah tangga sering jadi pahlawan tanpa pengakuan. Minim validasi dari pasangan dan keluarga bisa menyakitkan. Artikel ini mengajak kita merenung, bukan menghakimi.

CHARACTER LEARNING – Aku pernah berdiri di dapur sambil menahan tangis. Bukan karena luka fisik, tapi karena luka hati. Hari itu aku menyiapkan sarapan, membereskan rumah, menemani anak belajar, memasak makan siang, mencuci, menyetrika—semua dari pagi sampai malam. Tapi ketika suami pulang, tak satu pun kalimat apresiasi terlontar.

Yang ada justru komentar,
“Tadi belum sempat bersihin ruang tamu ya? Kok masih berantakan?”

Aku tidak marah. Tapi aku lelah. Dan sayangnya, rasa lelah itu tak punya tempat untuk istirahat, apalagi dipahami.

Saat Kita Tak Dianggap “Bekerja”

Sebagai ibu rumah tangga, aku tidak punya slip gaji. Aku tidak mendapat promosi. Tidak ada KPI. Tapi bukan berarti aku tidak bekerja. Kenyataannya, aku “bekerja” nyaris 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Bahkan saat malam hari pun, tubuhku siaga kalau anak terbangun atau sakit.

Tapi pekerjaan ini sering kali tak dianggap sebagai kerja. Karena dilakukan di rumah. Karena tidak menghasilkan uang. Karena dianggap sebagai “kewajiban alami” seorang ibu.

Dan itu yang menyakitkan: ketika apa yang kita kerjakan setiap hari tidak dianggap layak diberi pengakuan. Bahkan oleh orang-orang terdekat.

Minim Validasi Bisa Mengikis Diri Sendiri

Awalnya aku mencoba kuat. Kubisikkan ke diri sendiri,
“Nggak apa-apa. Yang penting anak-anak sehat. Rumah beres.”

Tapi lama-lama, aku merasa kosong. Aku mulai bertanya:
“Apa aku cukup?”
“Apa semua ini ada harganya?”

Validasi bukan soal mencari pujian berlebihan. Tapi tentang merasa dilihat, dihargai, dan diakui keberadaannya. Bahkan manusia paling kuat pun butuh itu. Apalagi ibu rumah tangga, yang sering kali merasa sendiri dalam keramaian rumah.

Dari Pasangan yang Tidak Peka

Tidak semua suami jahat atau cuek. Banyak dari mereka hanya… tidak tahu. Tidak terbiasa memberikan apresiasi. Tidak memahami bahwa kita butuh diakui, bukan sekadar dibantu.

Tapi saat kepekaan itu terus absen, luka bisa mengendap jadi kecewa, bahkan jadi jarak emosional. Kita tetap berbagi rumah, tapi sudah jarang berbagi hati.

Kita mengurus rumah dan anak dengan baik, tapi merasa sendiri dalam kelelahan yang tidak pernah disapa.

Dari Keluarga yang Meremehkan

Tak jarang pula validasi itu tak hadir dari keluarga besar. Saat kumpul keluarga, aku sering dengar perbandingan:
“Si A sekarang kerja di bank, lho.”
“Si B udah naik jabatan, keren banget.”

Lalu mereka menoleh ke arahku dan berkata:
“Kalau kamu, sibuk ngurus rumah ya? Wah enak, bisa santai di rumah.”

Aku tersenyum. Tapi dalam hati, aku ingin berteriak,
“Aku juga sibuk. Bahkan terlalu sibuk untuk sempat duduk santai.”

Kita memang tidak bisa memaksa orang memahami. Tapi bukan berarti kita tidak boleh merasa sedih.

Mengapa Validasi Itu Penting?

Karena kita manusia. Kita butuh dilihat. Butuh dirangkul. Butuh diingatkan bahwa yang kita lakukan ada artinya. Apalagi saat kita merasa kelelahan terus-menerus, tanpa jeda, tanpa panggung, tanpa apresiasi.

Validasi bukan membuat kita lemah. Justru, itu bahan bakar untuk bertahan.

Bahkan sebuah pelukan atau kalimat seperti “Terima kasih ya, sudah ngurus semuanya hari ini,” bisa membuat hati mekar dan tubuh yang lelah terasa ringan kembali.

Belajar Memberi Ruang untuk Bicara

Satu hal yang aku pelajari: diam tidak selalu mulia. Kita boleh bicara. Kita boleh berkata pada pasangan,
“Aku butuh kamu mengapresiasi aku.”
“Aku lelah, dan aku ingin didengar, bukan dihakimi.”

Komunikasi bukan tuntutan, tapi jembatan. Kadang pasangan tidak sadar, dan mereka perlu tahu bahwa perhatian kecil pun bisa menjadi pengakuan besar bagi kita.

Dan kalau keluarga besar terlalu sibuk dengan standar dunia luar, tak mengapa. Kita tidak harus menjelaskan semuanya, tapi kita bisa memilih siapa yang pantas menjadi ruang aman untuk cerita.

Membangun Validasi dari Dalam Diri

Sambil berharap pasangan dan keluarga belajar lebih peka, aku juga belajar membangun kembali rasa cukup dari dalam. Aku mulai mencatat hal-hal yang berhasil kulakukan hari itu. Aku memberi diriku sendiri pujian. Aku berkata,
“Hari ini kamu hebat. Kamu berhasil lagi melewati semuanya.”

Aku tidak butuh panggung besar. Tapi aku butuh ruang kecil di hati sendiri yang percaya:
Apa yang aku lakukan itu bernilai.

Untuk Sesama Ibu Rumah Tangga

Jika kamu juga merasa minim validasi, ketahuilah: kamu tidak sendirian. Ada banyak dari kita yang berjalan di jalan sunyi yang sama, mengurus rumah, anak, dan hidup keluarga, tanpa banyak tepuk tangan.

Tapi izinkan aku memberimu tepuk tangan hari ini.
Untuk semua cucian yang tidak terlihat.
Untuk semua sabar yang kamu kumpulkan.
Untuk semua tangis yang kamu redam agar rumah tetap hangat.

Kamu luar biasa. Bahkan kalau tidak ada yang bilang, aku mau bilang: Terima kasih. Kamu berharga.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *