Jangan Tertawakan Cinta Pertama Anakmu

Aku masih ingat malam itu. Anakku yang masih duduk di bangku kelas enam SD, datang dengan mata sembab. Ia tidak menangis meraung, hanya duduk memeluk lutut di pojok kamarnya, diam.
“Kenapa, Nak?” tanyaku perlahan.
Ia hanya menjawab, “Nggak apa-apa.”
Beberapa menit kemudian, setelah aku duduk di sampingnya cukup lama tanpa banyak kata, ia pun akhirnya membuka suara.
“Aku sedih. Dia kayaknya nggak suka aku lagi.”
Aku terdiam. Tak menduga akan mendengar kalimat itu. Tapi bukan karena khawatir—melainkan karena aku menahan tawa. Lucu rasanya, anak sekecil itu bisa bicara tentang ‘tidak disukai lagi’ seperti orang dewasa yang patah hati. Aku bahkan hampir refleks bilang, “Halah, masih kecil udah mikir pacaran!”
Tapi aku urungkan. Dan hari itu aku bersyukur, karena aku memilih diam dan mendengarkan. Karena pada akhirnya, aku menyadari: sedih itu bukan hak eksklusif orang dewasa.
Cinta Pertama Itu Bukan Lelucon
Di mata kita, cinta pertama anak mungkin tampak lucu, menggemaskan, bahkan ‘alay’. Tapi di mata anak? Itu nyata. Itu penting. Itu adalah pengalaman emosional pertama yang sangat berharga.
Cinta pertama bukan sekadar cerita remaja. Ia adalah proses awal anak memahami dirinya, mengenal rasa tertarik, dan mengelola perasaan. Maka ketika kita menertawakannya—dengan kalimat seperti:
- “Ih, baru juga ingusan, udah mikirin cinta.”
- “Wah, calon mantu nih!”
- “Halah, cuma suka-sukaan doang.”
…tanpa sadar kita sedang meremehkan emosi anak sendiri. Kita sedang memberi tahu mereka bahwa perasaan mereka tidak penting. Bahwa mereka salah karena merasakannya.
Luka yang Tak Disadari
Tahukah kita, bahwa sebagian besar luka batin masa kecil tidak terjadi karena kekerasan fisik, tapi karena perasaan tidak diterima, tidak dipahami, dan diremehkan?
Ketika anak menceritakan kesedihannya—entah tentang cinta pertama, teman yang menjauh, atau rasa malu karena ditolak—dan kita menertawakannya, mereka belajar untuk:
- Menyimpan cerita.
- Menjauh secara emosional.
- Merasa “aneh” karena punya perasaan yang tidak dihargai.
Dan yang paling menyakitkan: mereka mulai belajar bahwa rumah bukan tempat yang aman untuk membuka hati.
Cinta Pertama Tak Selalu Soal Pacaran
Satu hal yang perlu kita pahami, cinta pertama anak tidak selalu tentang pacaran. Kadang itu hanya bentuk kekaguman, rasa nyaman dengan seseorang, atau keinginan untuk lebih dekat secara emosional.
Mengapa penting? Karena itulah tahap awal kecerdasan emosional. Anak belajar mengenal rasa suka, cemburu, kecewa, dan kehilangan. Dan jika kita bisa mendampingi proses itu dengan empati, kita sedang memberi anak bekal untuk mencintai dengan sehat di masa depan.
Tugas Kita: Menjadi Pendengar, Bukan Penghakim
Saat anak datang dengan wajah murung dan bilang bahwa “dia nggak mau ngomong sama aku lagi,” kita punya dua pilihan:
Menjadi orang dewasa yang mencibir… atau menjadi orang tua yang memeluk.
Menjadi orang tua bukan soal selalu tahu jawabannya. Tapi soal hadir dengan hati yang terbuka. Bertanya tanpa menyudutkan. Mendengarkan tanpa menginterupsi. Menguatkan tanpa meremehkan.
Kita bisa mulai dengan kalimat-kalimat sederhana seperti:
- “Mau cerita? Aku siap dengerin kok.”
- “Aku juga pernah merasa begitu waktu seusiamu. Itu nggak mudah ya.”
- “Rasa itu wajar, Nak. Nggak salah kok kalau kamu sedih.”
Dengan begitu, anak merasa bahwa perasaannya valid. Bahwa sedih itu bukan kelemahan. Bahwa cinta itu bukan hal memalukan.
Aku Juga Pernah Jadi Anak Itu
Dulu, aku pernah menyukai teman sekelas. Aku masih SD waktu itu. Ketika aku cerita ke orang dewasa di rumah, mereka menertawakanku habis-habisan. Aku dijadikan bahan candaan di depan keluarga besar. Ada yang menyindir, ada yang bilang, “Wah, anak ini bakat pacaran!”
Sejak saat itu, aku tak pernah mau bercerita lagi soal perasaan. Bahkan ketika aku benar-benar terluka karena cinta pertamaku di SMA, aku mengurung diri. Aku mengira perasaanku memang tidak penting.
Itulah mengapa hari ini, aku ingin menjadi orang tua yang berbeda.
Cinta Pertama: Latihan Mencintai dan Memaafkan
Cinta pertama mungkin tak berujung. Tapi di sana anak belajar banyak hal:
- Bahwa menyukai seseorang tak selalu dibalas.
- Bahwa perasaan itu bisa berubah.
- Bahwa menahan cemburu itu menyakitkan, tapi bisa dilalui.
- Bahwa mencintai juga berarti belajar melepaskan.
Bukankah itu pelajaran penting dalam hidup?
Dan ketika kita mendampingi proses itu, kita sedang menjadi saksi tumbuhnya jiwa anak kita. Kita sedang memberi mereka ruang untuk belajar, gagal, dan tumbuh… tanpa takut ditertawakan.
Penutup: Cinta Tak Butuh Disidang
Mari berhenti memperlakukan cinta pertama anak seperti bahan guyonan. Karena hati anak bukan panggung komedi. Hati mereka adalah taman—yang jika dirawat, akan tumbuh indah; tapi jika dihina, akan tertutup perlahan.
Jika suatu hari anakmu datang dan bilang bahwa ia sedang suka seseorang, atau sedang patah hati karena perasaan yang tak dibalas… tarik napas, dan dengarkan.
Jangan buru-buru tertawa. Jangan langsung panik. Jadilah seperti matahari pagi: hangat, hadir, dan membuat mereka merasa aman untuk berbagi.
Karena kelak, ketika mereka benar-benar jatuh cinta dalam kehidupan dewasa mereka, mereka akan tahu:
“Dulu aku belajar mencintai dengan sehat… karena dulu aku tidak ditertawakan saat pertama kali merasakannya.”[*]