“Kalau Nggak Nurut, Ibu Nggak Sayang”—Kalimat Sepele yang Diam-diam Melukai Hati Anak

Deskripsi :
Ucapan “kalau nggak nurut, ibu nggak sayang” terdengar biasa, tapi perlahan membentuk cinta bersyarat dalam diri anak. Refleksi ini mengajak kita memahami dampaknya secara jujur dan hangat.
“Kalau Nggak Nurut, Ibu Nggak Sayang”: Kalimat Sepele yang Diam-diam Merusak Jiwa Anak
Saya masih ingat, waktu kecil dulu, pernah menangis tersedu hanya karena satu kalimat:
“Kalau nggak nurut, ibu nggak sayang.”
Saat itu saya tidak tahu apa maksud sebenarnya. Yang saya tahu hanya satu hal: saya takut kehilangan cinta dari ibu. Saya langsung diam. Nurut. Tapi bukan karena saya paham. Bukan karena sadar saya salah. Tapi karena saya panik. Takut. Dan luka itu, entah bagaimana, masih tersimpan rapi dalam ruang kecil hati saya hingga hari ini.
Kini saya menjadi orang tua. Dan tanpa sadar, kalimat itu hampir keluar dari mulut saya juga. Hampir. Syukurnya, saya sempat menarik napas panjang, dan mengingat luka lama yang pernah saya rasakan.
Ucapan Sepele yang Terlihat Biasa
Kalimat seperti “kalau kamu nakal, ibu nggak sayang,” atau “kalau nggak nurut, ayah kecewa” terdengar biasa. Kita bahkan tumbuh dikelilingi ucapan semacam itu. Kadang dari orang tua, guru, bahkan pengasuh.
Sekilas terdengar seperti nasihat. Seperti bentuk pendidikan. Tapi kalau kita lihat dari sisi anak, kalimat itu membawa pesan tersembunyi: bahwa cinta orang tua bisa dicabut kapan saja, tergantung kelakuan mereka.
Dan dari situlah akar luka itu tumbuh. Pelan. Diam-diam. Tapi dalam.
Cinta Bersyarat: Luka yang Tak Terlihat Tapi Menetap
Cinta adalah pondasi pertama yang dibutuhkan seorang anak. Dan cinta yang mereka butuhkan adalah cinta yang tanpa syarat. Bukan berarti membiarkan anak semaunya, tapi mereka perlu tahu bahwa apapun yang terjadi, cinta kita tetap ada.
Saat seorang anak tumbuh dengan keyakinan bahwa cinta orang tua tergantung pada ketaatan, kepintaran, atau prestasi, mereka mulai kehilangan rasa aman. Mereka akan belajar menyenangkan, bukan memahami. Mereka akan memilih patuh karena takut, bukan karena mengerti.
Saya pernah berbicara dengan seorang remaja yang sejak kecil dibesarkan dalam cinta bersyarat. Ia berkata, “Aku nggak tahu siapa aku sebenarnya. Aku hidup untuk menyenangkan orang lain, bukan menjadi diri sendiri.”
Dan semuanya dimulai dari kalimat-kalimat kecil yang terlihat “biasa” itu.
Mengapa Kita Sering Mengatakannya?
Jujur saja, saat kita lelah, capek, emosi naik turun, kadang kita memilih jalan pintas untuk membuat anak diam. Kalimat seperti “kalau nggak nurut, ibu nggak sayang” jadi semacam tombol cepat untuk membuat anak menurut.
Mereka memang diam. Tapi bukan karena paham. Bukan karena merasa disayangi. Tapi karena takut kehilangan cinta yang mereka butuhkan.
Kita mengatakannya karena kita pun dulu tumbuh dengan pola yang sama. Kita merasa itu cara yang “normal.” Padahal, normal belum tentu benar. Dan benar belum tentu mudah.
Lalu Apa yang Bisa Kita Katakan?
Saya pun masih belajar. Masih sering khilaf. Tapi saya pelan-pelan belajar mengganti kata-kata. Bukan untuk memanipulasi, tapi untuk menyambungkan hati.
Daripada berkata, “kalau nggak nurut, ibu nggak sayang,” saya coba bilang:
- “Ibu tetap sayang, tapi ibu sedih kalau kamu melakukan itu.”
- “Ibu ingin kamu jadi anak baik karena ibu tahu kamu bisa.”
- “Apa yang kamu rasakan sekarang? Mau cerita?”
Terkadang, anak tidak sedang melawan. Mereka hanya bingung, lelah, atau ingin diperhatikan. Dan tugas kita adalah menjembatani, bukan memutuskan keterikatan emosional.
Cinta yang Tidak Perlu Ditukar
Cinta orang tua sejatinya adalah rumah pertama anak untuk mengenal dunia. Jika rumah itu membuat mereka harus “menukar” cinta dengan kepatuhan, maka dunia pun akan mereka pandang sama: tempat di mana cinta harus dibayar dengan ketaatan membabi buta.
Anak akan tumbuh jadi pribadi yang takut gagal. Takut salah. Takut ditolak. Dan lebih buruk lagi—takut untuk jadi dirinya sendiri.
Sementara jika sejak awal mereka tahu bahwa cinta itu tidak harus ditukar, maka mereka akan tumbuh sebagai pribadi yang utuh. Yang berani mencoba. Yang tahu bahwa salah bukan akhir dari segalanya. Dan bahwa cinta sejati tak pernah pergi meski mereka jatuh.
Anak Kita, Bukan Proyek Keberhasilan
Kadang kita terlalu khawatir tentang masa depan anak. Kita ingin mereka “jadi orang,” sukses, berprestasi, disukai. Lalu kita menekan mereka dengan cinta bersyarat agar mereka “terbentuk” lebih cepat.
Padahal, anak bukan proyek. Mereka bukan bentuk kue yang harus dicetak sama. Mereka manusia. Yang sedang belajar. Sama seperti kita, bahkan hingga usia dewasa ini.
Anak tidak butuh kita sempurna. Mereka hanya butuh kita hadir. Mendengar. Mengerti. Dan tetap mencintai, meski mereka tidak selalu sesuai ekspektasi kita.
Kita Pun Dulu Pernah Jadi Anak
Saya yakin, sebagian dari kita pernah merasa tak cukup baik untuk dicintai. Karena tidak nurut, tidak sepintar saudara, atau tidak sepatuh anak tetangga. Kita tumbuh dengan rasa takut mengecewakan, bahkan ketika tidak tahu kenapa.
Maka hari ini, sebagai orang tua, mari hentikan warisan itu. Mari kita hentikan rantai luka yang diturunkan lewat kalimat-kalimat kecil yang terlihat biasa tapi menghancurkan rasa aman anak.
Anak-anak kita layak merasa dicintai, tidak hanya ketika mereka baik, tapi juga ketika mereka sedang belajar menjadi baik.
Penutup: Mari Mulai dari Kata
Mendidik anak tidak selalu dimulai dari seminar, buku parenting, atau metode rumit. Kadang dimulai dari kata-kata sederhana yang kita pilih setiap hari.
Kita tidak perlu jadi orang tua sempurna. Tapi kita bisa berusaha jadi orang tua yang sadar. Bahwa setiap ucapan kita menanamkan makna. Bahwa cinta itu tidak perlu dijadikan alat tukar. Dan bahwa kasih sayang sejati justru mendidik dengan penuh pelukan, bukan ancaman.
Jadi, lain kali saat lidah kita tergoda berkata, “kalau kamu nggak nurut, ibu nggak sayang,” mari tarik napas sebentar. Lihat mata anak kita. Dan katakan sesuatu yang membangun jiwanya, bukan menguncinya dalam ketakutan.
Karena anak-anak kita tak hanya butuh makan, sekolah, dan mainan. Mereka juga butuh rasa aman—bahwa cinta dari kita tak pernah hilang, bahkan saat mereka salah.[*]