“Kalau Terus Disindir, Anak Akan Diam Bukan Karena Sadar, Tapi Karena Malu Jadi Diri Sendiri”

Deskripsi :
Menyindir anak terlihat seperti candaan, padahal bisa mengikis rasa percaya dirinya perlahan. Artikel ini mengajak kita merenung, apakah benar sindiran itu bentuk perhatian?
Kalau Terus Disindir, Anak Akan Diam Bukan Karena Sadar, Tapi Karena Malu Jadi Diri Sendiri
Ada satu momen yang masih terpatri di kepala saya. Suatu hari, di ruang keluarga, anak saya yang baru belajar menulis menunjukkan hasil tulisannya. Garisnya belum lurus, hurufnya masih lari-lari. Ia berkata dengan mata berbinar, “Lihat, Bu! Aku bisa nulis!”
Tiba-tiba, dari mulut saya hampir keluar kalimat seperti, “Ih, ini tulisan atau cakar ayam?” Tapi saya menahan diri.
Saya terdiam. Bukan karena takut menyakiti, tapi karena saya sadar… saya pernah jadi anak kecil yang sering disindir. Dan rasanya, perihnya, masih saya bawa sampai sekarang.
Sindiran, Musuh yang Menyamar Jadi Candaan
Kadang kita tidak sadar, kita menyindir anak hampir setiap hari. Saat mereka lambat berpikir, kita bilang, “Ya ampun, kok lemot banget sih kamu?”
Ketika mereka salah bicara, kita ejek, “Duh, itu sih bukan ngomong tapi nyanyi off key.”
Atau saat mereka tak bisa mengerjakan PR, kita sindir, “Wah, ini pasti calon profesor, ya?”
Lucunya, kita mengira itu bentuk perhatian. Kita menganggap itu candaan agar mereka sadar. Tapi bagi anak, sindiran bukan lelucon. Ia bisa menjadi luka yang tak tampak, namun terasa setiap hari.
Sindiran Membuat Anak Bertanya: “Apa Aku Memang Seburuk Itu?”
Yang sering terjadi, anak bukan menjadi lebih baik karena disindir. Tapi mereka jadi lebih diam. Takut mencoba. Ragu menunjukkan hasil karya. Bahkan kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri.
Saya pernah bertemu anak usia 9 tahun yang enggan menggambar lagi. Padahal, dulu ia suka menggambar bebas. Setelah saya tanya pelan-pelan, ia bercerita bahwa setiap kali menggambar, ibunya berkata, “Ini gambar atau corat-coret tanpa makna?”
Sejak saat itu, ia berhenti menunjukkan hasil gambarnya. Bukan karena tak bisa, tapi karena malu. Karena takut disindir lagi. Dan lebih menyedihkan lagi, karena mulai percaya bahwa karyanya memang tak berharga.
Kita Semua Pernah Jadi Anak Kecil
Jika kita tarik ke belakang, mungkin kita juga pernah mengalaminya. Kita pernah ditegur bukan dengan kalimat yang membimbing, tapi dengan ejekan. Kita pernah takut angkat tangan di kelas karena takut ditertawakan.
Dan hari ini, tanpa sadar, kita mewariskan itu kepada anak-anak kita.
Padahal kita tahu, sindiran bukan cara untuk membentuk karakter. Ia lebih sering menjadi racun halus yang merusak keyakinan diri anak pelan-pelan.
Lalu Apa Bedanya Sindiran dan Kritik yang Membangun?
Kritik membimbing. Sindiran mempermalukan. Kritik membantu anak memahami kesalahan dengan cara yang manusiawi. Sedangkan sindiran menjadikan kesalahan sebagai bahan tertawaan.
Misalnya:
✅ Kritik: “Tulisanmu sudah bagus, coba kita perbaiki sedikit bagian ini supaya lebih rapi.”
❌ Sindiran: “Wah, ini tulisan atau kode rahasia alien?”
Perhatikan bedanya. Kritik tetap menjaga harga diri anak, sementara sindiran menusuk langsung ke dalam.
Anak-anak belum cukup kuat membedakan mana kritik sehat dan mana yang merendahkan. Maka tugas kitalah menjaga mereka tetap utuh, meski sedang belajar.
Mengapa Kita Sering Menyindir?
Jujur saja, sindiran kadang lahir dari kelelahan. Dari frustrasi karena anak belum sesuai harapan. Dari luka masa lalu yang belum selesai dalam diri kita sendiri.
Dan kadang, kita merasa berkuasa ketika menyindir. Seolah kita berada di posisi benar, dan anak perlu “disadarkan” lewat ejekan.
Tapi jika kita betul-betul mencintai anak, kita perlu mengingat bahwa anak tidak sedang melawan. Mereka sedang belajar. Dan dalam proses belajar, mereka butuh kehangatan, bukan hinaan tersembunyi.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Berikut beberapa hal sederhana yang bisa kita lakukan:
- Tahan lidah saat ingin menyindir.
Diam sejenak. Tarik napas. Bayangkan jika anak itu adalah diri kita kecil dulu. - Ganti sindiran dengan pertanyaan.
Alih-alih berkata, “Kamu ini kok susah amat sih ngerti,” cobalah, “Bagian mana yang bikin kamu bingung? Ayo kita lihat bareng.” - Berikan pujian tulus, bukan sarkasme.
Anak tidak butuh pujian mewah. Mereka hanya butuh pengakuan atas usaha kecil mereka. - Ingatkan diri bahwa anak sedang berkembang, bukan harus sempurna.
Tugas kita bukan mempercepat, tapi menemani pertumbuhan itu. - Rawat luka masa kecil kita sendiri.
Banyak sindiran yang keluar dari orang tua, sebenarnya adalah cermin dari luka lama yang belum sembuh.
Menjadi Cermin yang Menguatkan, Bukan Mengecilkan
Anak-anak kita melihat diri mereka melalui lensa yang kita berikan. Jika lensa itu penuh ejekan, mereka akan melihat diri mereka sebagai sosok gagal, aneh, atau tak cukup baik.
Tapi jika kita memberikan cermin yang jernih—yang melihat kesalahan sebagai bagian dari proses—mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat, percaya diri, dan tetap rendah hati.
Anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka butuh orang tua yang bisa berkata, “Maaf ya, tadi mama keliru bicara.” Itu saja sudah cukup membuat mereka merasa layak dicintai.
Penutup: Pilih Kata, Rawat Jiwa
Anak-anak seperti tanah lembut yang menyerap semua yang kita tanam. Kata-kata kita adalah benih. Ia bisa tumbuh jadi bunga keyakinan… atau duri keraguan.
Mari kita pelan-pelan belajar memilih kata. Bukan karena kita lebih baik dari anak, tapi karena kita pernah jadi anak yang tahu rasanya disindir dan tak dianggap.
Dan semoga, dari pilihan kata yang kecil itu, kita bisa membantu anak-anak kita tumbuh jadi pribadi yang tahu: mereka boleh salah, boleh belajar, dan tetap layak dicintai tanpa harus sempurna.[*]