Katanya Leluhurku Bersinar, Tapi Aku Masih Gelap—Bisakah Aku Menyambung Cahaya Itu?

DESKRIPSI: Leluhurku orang-orang saleh, harum namanya. Aku hanya bayang-bayang yang masih gelap. Tapi mungkinkah aku menyambung cahaya itu, walau hanya setitik, dengan langkah kecil dan hati yang jujur?

CHARACTER LEARNING – Aku sering mendengar kisah tentang leluhurku. Cerita yang dituturkan dengan hormat dan kagum. Mereka adalah orang-orang yang dalam ilmu agamanya, lembut budi pekertinya. Ada yang dikenal wara’, ada yang disegani karena kebersihan hatinya, bahkan ada pula yang diyakini memiliki karomah. Namanya harum, disebut dalam doa, dan dikenang sebagai orang-orang yang dekat dengan Allah.

Lalu aku menunduk, menatap diriku sendiri. Aku bukan siapa-siapa. Ilmu agamaku biasa saja. Akhlakku kadang jernih, kadang keruh. Ibadahku naik turun, hatiku belum lurus, dan semangatku masih sering compang-camping. Kadang aku merasa malu. “Apa pantas aku menyebut diriku sedang belajar tasawuf, sementara langkahku masih goyah, niatku belum bulat, dan hati ini belum bersih?”

Pernah ada satu titik dalam hidupku di mana aku merasa sangat jauh. Seperti berjalan dalam kabut. Aku merasa tak layak menyebut diri keturunan orang alim. Jangankan karomah, menjaga lisan pun aku masih sering lalai.

Tapi perlahan, pemahaman itu berubah…

Bisa jadi, keinginan untuk kembali kepada Allah yang tiba-tiba tumbuh di hati ini bukan karena aku hebat. Bukan karena aku saleh. Tapi karena ada doa-doa yang belum selesai. Doa yang dipanjatkan oleh orang-orang yang bahkan namanya mungkin tak kukenal, tapi darahnya mengalir dalam tubuhku.

Mungkin aku mulai melangkah bukan karena aku kuat, tapi karena aku sedang dipanggil. Dipanggil untuk menyambung sesuatu yang sempat terputus. Untuk meneruskan cahaya yang tak pernah padam, hanya tertutup debu-debu dunia.

Dan ternyata, menyambung cahaya itu tidak harus dengan pencapaian besar. Tidak harus dengan menjadi ulama, atau ahli wirid yang hebat. Tapi cukup dengan kejujuran. Cukup dengan satu langkah kecil menuju Allah, dari hati yang mengakui kefakirannya.

Karena, tasawuf bukan tentang menjadi sempurna. Bukan tentang mampu menyendiri di gua, atau memiliki kemampuan luar biasa. Tasawuf adalah kesadaran… bahwa aku ini hamba yang fakir. Yang tak punya daya, yang tak tahu apa-apa, yang hidup hanya dengan rahmat-Nya. Dan dari kesadaran itulah, langkah demi langkah mulai kuperbaiki. Bukan agar dianggap alim, tapi agar aku bisa sedikit lebih jujur di hadapan Allah.

    Hari ini, aku tidak meminta keistimewaan. Aku hanya ingin satu hal: menyambung kembali cahaya itu.

    Bukan dengan warisan darah, tapi dengan kerendahan hati.
    Bukan dengan cerita besar, tapi dengan langkah kecil yang jujur.

    Aku tak ingin menjadi besar. Aku hanya ingin kembali. Ingin merasa dekat. Ingin merasakan tenang dalam dekapan-Nya. Dan jika cahaya para leluhurku adalah karena mereka mencintai Allah, maka aku pun ingin… walau hanya menjadi bayangan kecil dari cahaya itu, asal tetap dalam kasih-Nya.

      Terkadang kita terlalu keras pada diri sendiri, menganggap bahwa kita harus hebat dulu baru layak dekat dengan Allah. Padahal, justru pengakuan bahwa kita ini lemah—itulah yang membuka jalan rahmat-Nya.

      Mungkin aku tak sehebat mereka. Tapi aku bisa jujur seperti mereka. Aku bisa belajar ikhlas seperti mereka. Dan mungkin, dalam kekuranganku ini, aku bisa merasakan satu nikmat yang kadang hilang dari orang yang sudah merasa tinggi: nikmatnya berharap hanya pada Allah.

      Aku menulis ini bukan karena aku sudah sampai. Tapi karena aku sedang berjalan. Karena dalam setiap langkah yang kuambil, aku tahu aku masih bisa terjatuh, masih bisa tersesat. Tapi aku juga tahu, bahwa selama aku tak berhenti melangkah, selama aku terus menghadap, pintu-Nya tidak pernah tertutup.

      Kadang aku menangis, bukan karena aku sudah sampai, tapi karena aku rindu pada sesuatu yang bahkan belum pernah benar-benar kurasa. Aku rindu pada tenangnya hati para salihin. Aku rindu pada ketenangan yang tumbuh dari keyakinan. Dan entah mengapa, kerinduan itu seolah menjadi pertanda bahwa aku masih diberi kesempatan.

        Kita semua punya titik mula. Ada yang mulai dari keluarga yang saleh. Ada yang mulai dari kehancuran. Tapi semua punya cahaya untuk disambung. Semua punya potensi untuk kembali. Tak ada jarak yang terlalu jauh bagi cinta Allah. Yang diperlukan hanya satu: kesungguhan untuk kembali.

        Dan jika dari perjalanan ini ada satu pelajaran yang bisa menuntun orang lain,
        maka biarlah itu datang dari Allah.

        Karena aku sendiri pun masih belajar mencintai-Nya… seutuhnya.[*]

        Tinggalkan Balasan

        Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *