Kenangan Masa Kecil yang Masih Membekas: Pelukan, Bau Dapur, dan Rasa Aman yang Kini Kita Rindukan

Deskripsi :
Beberapa hal dari masa kecil tidak pernah benar-benar pergi: suara ibu, aroma pagi, rasa nyaman. Kenangan ini membentuk siapa kita sekarang, dan diam-diam kita ingin anak kita merasakannya juga.
CHARACTER LEARNING – Beberapa hal dari masa kecil tidak pernah benar-benar hilang.
Mungkin bukan tentang mainan mahal, atau liburan yang jauh. Tapi justru hal-hal sederhana yang pelan-pelan melekat dan diam-diam membentuk kita hari ini.
Bagi saya, kenangan masa kecil bukan tentang apa yang saya punya, tapi tentang apa yang saya rasakan.
Tentang bau dapur saat pagi, ketika ibu sudah sibuk memasak nasi goreng sederhana yang entah kenapa terasa paling enak di dunia.
Tentang suara radio yang diputar ayah saat membersihkan halaman.
Tentang sandal jepit yang warnanya sudah pudar tapi terasa pas di kaki saat ke warung.
Tentang tidur siang dengan jendela terbuka, angin pelan, dan nyamuk yang kadang nakal.
Saya masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Padahal puluhan tahun sudah berlalu.
Rasa Aman yang Tak Terdefinisi
Saat kita kecil, mungkin kita tidak paham apa arti rasa aman. Kita hanya tahu bahwa dunia terasa baik-baik saja selama kita bisa mendengar suara ibu dari dapur, atau tahu ayah sedang di ruang tamu walau tak banyak bicara.
Kita hanya tahu bahwa pulang sekolah disambut dengan segelas teh manis dan sepotong roti. Tidak mewah, tapi cukup untuk membuat hati hangat.
Kita tidak menyadari saat itu bahwa memori kecil semacam itu akan menjadi fondasi bagi rasa percaya kita pada hidup.
Kita belajar mencintai dari cara ibu memotong buah.
Kita belajar sabar dari cara ayah menyapu halaman.
Kita belajar arti rumah bukan dari bangunannya, tapi dari siapa yang ada di dalamnya.
Dan kini, ketika kita dewasa—sering merasa lelah, bingung, bahkan hampa—kenangan masa kecil itu muncul pelan-pelan. Menghibur, sekaligus mengingatkan kita pada akar yang pernah begitu kokoh.
Bukan Tentang Hebatnya Masa Lalu, Tapi Hangatnya
Saya pernah bertanya pada seorang teman:
“Apa kenangan masa kecilmu yang paling kamu ingat?”
Dia jawab, “Waktu hujan deras, ibu saya akan membuatkan mie rebus dan memakaikan saya jaket yang bau lemari.”
Saya tertawa. Tapi saya paham maksudnya.
Bukan mie rebusnya yang jadi penting, bukan juga jaketnya. Tapi perhatian yang dibungkus dalam bentuk sederhana itu.
Itu yang membekas.
Itu yang membuat kita merasa cukup, meski hidup sebenarnya tidak sempurna.
Dan sekarang, sebagai orang dewasa yang kadang kesepian dalam keramaian, kita mencari rasa yang sama. Rasa aman, rasa hangat, rasa “diperhatikan”.
Kita mencarinya bukan dari benda-benda, tapi dari momen—dari getaran hati.
Mewariskan Kenangan, Bukan Kemewahan
Kini, kita sudah menjadi orang tua.
Dan tanpa sadar, kita sedang membuat kenangan masa kecil untuk anak-anak kita.
Pertanyaannya: kenangan seperti apa yang akan mereka simpan?
Apakah hanya tentang screen time dan suara marah kita saat mereka mengganggu?
Ataukah tentang betapa seringnya kita peluk mereka tanpa alasan?
Tentang betapa sabarnya kita menjawab pertanyaan aneh mereka sebelum tidur?
Tentang bau sabun mereka saat baru mandi dan tertawa di pangkuan?
Kita mungkin tidak bisa memberikan segalanya.
Tapi kita bisa memberi kenangan.
Dan kenangan yang membekas biasanya tidak mahal, hanya butuh hadir.
Hadirlah saat mereka ingin cerita.
Peluklah saat mereka takut.
Dengarkan, bukan hanya nasihati.
Sediakan waktu, bukan hanya fasilitas.
Karena kelak, ketika mereka besar, mereka mungkin tidak ingat mainan mahal yang kita belikan. Tapi mereka akan ingat siapa yang mereka cari saat jatuh dan menangis.
Merenungi Diri: Apa yang Masih Membekas pada Kita?
Kadang saya duduk sendiri, lalu merenungi satu hal:
Kenapa kenangan masa kecil saya masih begitu kuat?
Mungkin karena waktu itu hidup lebih lambat.
Mungkin karena cinta ditunjukkan dengan lebih sederhana.
Mungkin karena kita lebih banyak menatap mata, bukan layar.
Dan saya rindu itu. Bukan sekadar pada masa lalu, tapi pada diri saya sendiri yang dulu begitu mudah merasa cukup hanya dengan hal-hal kecil.
Saya ingin membawa rasa itu kembali.
Bukan dengan bernostalgia terus-menerus, tapi dengan belajar membuat hidup sekarang lebih hadir.
Saya ingin anak-anak saya punya kenangan seperti yang saya punya.
Saya ingin mereka tumbuh dengan rasa: “Aku punya rumah yang penuh cinta.”
Penutup: Apa yang Akan Mereka Ingat?
Waktu akan terus berjalan.
Anak-anak kita akan tumbuh.
Mereka akan lupa banyak hal. Tapi akan ada beberapa yang membekas selamanya.
Bukan tentang ranking mereka di sekolah.
Bukan tentang baju baru yang mereka pakai saat lebaran.
Tapi tentang bagaimana cara kita memandang mereka saat mereka merasa gagal.
Tentang nada suara kita saat mereka melakukan kesalahan.
Tentang waktu-waktu sunyi yang kita isi dengan pelukan, bukan ceramah.
Kenangan masa kecil yang membekas bukan hanya tentang apa yang terjadi, tapi tentang apa yang dirasa.
Dan tugas kita sebagai orang tua hari ini adalah menciptakan ruang rasa itu.
Bukan yang sempurna. Tapi yang cukup hangat untuk mereka simpan sebagai tempat pulang di dalam jiwa.[*]