Ketika Allah Meminta Kita Melepas Cita-Cita: Maukah Engkau Menyerahkan Jalan yang Lama Kau Perjuangkan?

Deskripsi :

Kadang impian yang kita jaga bertahun-tahun bukan bagian dari kehendak-Nya. Maukah kita melepasnya, bukan karena menyerah, tapi karena tunduk? Di situlah ujian cinta sejati dimulai.


CHARACTER LEARNING – Kita tumbuh dengan banyak harapan dan impian. Sejak kecil kita ditanya, “Kalau besar mau jadi apa?”
Pertanyaan yang kelihatannya sederhana, tapi sebenarnya meletakkan satu beban diam-diam: bahwa hidup harus menuju sesuatu. Harus menghasilkan. Harus menjadi “seseorang”.

Dan sejak itu kita mulai merancang. Ada yang ingin menjadi guru yang mengubah dunia. Ada yang ingin menjadi seniman besar, berdiri di panggung-panggung megah. Ada pula yang ingin jadi ilmuwan, dokter, ustaz terkenal, pengusaha sukses. Masing-masing dari kita punya peta kecil tentang masa depan.

Saya pun begitu.

Saya mencintai impian saya seperti saya mencintai hidup saya sendiri. Saya menjaganya, saya perjuangkan dengan doa, dengan air mata, dengan kerja keras yang tak dilihat siapa-siapa.

Tapi satu hari, semesta terasa pelan-pelan menutup jalan itu.

Bukan karena saya malas. Bukan karena saya tidak berbakat. Tapi seolah-olah Allah berkata dalam diam, “Bukan ke situ Aku ingin kamu pergi.”


Impian yang Diberkati, atau Sekadar Dikehendaki Diri?

Salah satu ujian paling sunyi adalah ketika kita harus memilih antara meneruskan cita-cita yang sudah lama diperjuangkan, atau menyerahkannya kepada Tuhan. Melepaskan bukan karena gagal, tapi karena kita mulai sadar: mungkin itu bukan jalan yang Allah kehendaki untuk kita.

Dan itu menyakitkan.
Sakit karena terlalu lama kita membangun rumah di atas harapan itu.
Sakit karena kita sudah membayangkan akan tua bersama jalan itu.
Sakit karena sebagian dari identitas kita terikat di sana.

Tapi dalam spiritualitas, terutama dalam tasawuf, ada satu pertanyaan yang lebih penting dari “apa cita-citamu?” yaitu:

“Apa kehendak-Nya atasmu?”

Karena bisa jadi, impian kita yang paling bercahaya adalah hijab paling halus yang menjauhkan kita dari makna penciptaan.


Berani Melepas, Bukan Karena Gagal, Tapi Karena Tunduk

Kita hidup di zaman di mana menyerah dianggap lemah. Di mana tidak mengejar impian dianggap sebagai kegagalan. Padahal ada satu jenis “menyerah” yang sangat agung: ketika kita menyerah bukan pada keadaan, tapi pada ketetapan Tuhan.

Saya pernah melihat seseorang yang sangat mencintai dunia seni. Ia punya segala potensi. Tapi pada satu titik, ia memutuskan berhenti—bukan karena kehilangan rasa, tapi karena merasa jiwanya mulai terbelah antara panggung dan keikhlasan.

Ada pula seorang sahabat yang sudah bertahun-tahun menempuh pendidikan tinggi demi menjadi dosen di luar negeri. Tapi tiba-tiba semua tertutup. Ia pulang, dan sekarang menjadi guru ngaji di desa kecil. Ia bilang, “Aku tidak sehebat dulu. Tapi jiwaku lebih utuh sekarang.”

Dan saya percaya, Allah menatap mereka dengan cinta.
Karena keduanya tidak sekadar berhenti. Mereka berserah.


Meninggalkan Jalan yang Kita Anggap Takdir

“Maukah engkau meninggalkan apa yang kau kira sebagai takdirmu?”

Pertanyaan ini menghantam saya di malam-malam sunyi, ketika saya mulai merasa jalan yang saya pilih justru menjauhkan saya dari Allah.
Saya dulu pikir, jika saya berhasil di bidang ini, saya bisa lebih bermanfaat.
Jika saya dikenal, saya bisa lebih didengar.
Tapi di tengah perjalanan, saya mulai sadar:
Terkadang Allah tidak ingin kita dikenal.
Terkadang Allah hanya ingin kita tunduk. Diam. Tidak terlihat. Tapi dekat.

Dan itu adalah bentuk cinta yang tidak dipahami oleh dunia yang terlalu bising.


Bukan Semua Jalan yang Baik adalah Jalan Kita

Ada banyak jalan mulia di dunia ini. Menjadi ustaz, menjadi ilmuwan, menjadi pemimpin yang adil, menjadi seniman yang menginspirasi. Tapi tidak semua jalan itu untuk kita.

Allah, dengan rahmat-Nya yang luas, memberi setiap hamba peran yang paling sesuai untuk jiwanya. Bukan selalu sesuai egonya.

Kita kadang ngotot ingin menjadi sesuatu, padahal jiwa kita lebih butuh sembuh daripada bersinar.

Kita ingin naik ke panggung, padahal hati kita belum siap menanggung pujian.

Kita ingin terus belajar dan mengejar gelar, padahal Allah sedang ingin kita belajar sabar dan ridha melalui jalan kehilangan.


Keheningan yang Tidak Menyakitkan

Saya pernah merasa hampa ketika harus melepas impian yang saya jaga bertahun-tahun. Tapi setelah beberapa waktu, saya mulai menyadari: ternyata saya tidak kehilangan segalanya.

Saya justru mendapatkan sesuatu yang tak bisa saya beli dengan keberhasilan: kedamaian.
Rasa lapang.
Rasa cukup.
Rasa diterima—bukan oleh manusia, tapi oleh Tuhan.

Dan di situ saya mengerti, bahwa tidak semua kebahagiaan datang dari pencapaian.
Beberapa justru datang dari kepasrahan.


Jalan Sunyi yang Tidak Kalah Mulia

Kadang Allah menyembunyikan kita bukan karena kita tidak layak dilihat, tapi karena kita terlalu berharga untuk dilukai sorotan.
Allah menempatkan kita di jalan sunyi bukan karena kita gagal, tapi karena Dia ingin membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar dalam keheningan.

Maka jika kau hari ini sedang merasa bingung karena jalan yang kau perjuangkan mulai tertutup, tenanglah.
Itu bukan akhir.
Bisa jadi itu adalah panggilan.
Bukan panggilan untuk mundur, tapi panggilan untuk mendekat.


Penutup: Doa Seorang Hamba yang Ikhlas

Ya Allah,
jika impian yang kupegang erat ini bukan bagian dari takdir-Mu atas hidupku,
maka kuatkanlah tanganku untuk melepasnya.
Gantilah luka kehilangan itu dengan kemuliaan menerima.
Ajari aku mencintai kehendak-Mu,
lebih dari apa pun yang pernah kucintai dari dunia.

Karena aku tahu,
tidak ada kehormatan lebih tinggi
daripada menjadi hamba yang ridha atas takdir Tuhannya.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *