Ketika Nilai Lebih Menakutkan daripada Ketidaktahuan

Apa Jadinya Jika Anak Belajar Hanya Demi Nilai? (Gemini AI)

Deskripsi: Ketika nilai jelek jadi momok, pendidikan kehilangan maknanya. Anak belajar karena takut, bukan karena cinta ilmu. Lalu apa yang sedang kita bentuk?

CHARACTER LEARNING – Saya masih ingat, suatu malam, anak saya bertanya:
“Kalau aku nggak bisa jawab ulangan besok, Ibu bakal marah nggak?”

Saya terdiam. Satu pertanyaan sederhana, tapi menghantam begitu dalam. Anak ini, yang setiap malam matanya berbinar saat menjelaskan tentang planet dan dinosaurus, tiba-tiba takut belajar hanya karena bayang-bayang nilai.

Saat itu saya sadar: ada sesuatu yang salah dengan cara kita memperlakukan belajar.


Pendidikan Kita Kehilangan Nyawa

Mari jujur, pendidikan kita hari ini bukan lagi tentang keingintahuan. Ia lebih mirip sistem kendali. Anak-anak diberi kurikulum, target, jadwal ujian, dan serangkaian angka yang seolah menentukan harga dirinya. Satu nilai merah bisa membuatnya merasa gagal. Satu rapor turun bisa membuatnya menangis. Takut dihukum. Takut dimarahi. Takut dianggap bodoh.

Ketakutan ini menjadi bahan bakar yang menyedihkan bagi sesuatu yang semestinya membebaskan.

Pendidikan, yang dulu adalah obor untuk menerangi ketidaktahuan, kini berubah menjadi tekanan yang membungkam rasa ingin tahu itu sendiri.


Rasa Ingin Tahu: Sumber Belajar yang Hilang

Rasa ingin tahu adalah bahan bakar alami manusia. Lihatlah anak kecil saat mereka belajar berbicara, berjalan, memegang sesuatu yang baru. Mereka tidak takut salah. Mereka bertanya, mencoba, jatuh, lalu bangkit. Mereka belajar karena ingin tahu, bukan karena ingin sempurna.

Tapi sistem pendidikan kita sering tak sabar dengan proses alami itu. Kita ingin anak segera bisa. Cepat paham. Nilainya bagus. Tidak salah.

Akhirnya, banyak anak belajar bukan karena tertarik, tapi karena takut.

Mereka belajar bukan karena penasaran, tapi karena khawatir nilai jelek akan membuat mereka dimarahi guru, atau kehilangan kepercayaan dari orang tua.

Lalu, kapan mereka punya ruang untuk benar-benar mencintai ilmu?


Belajar yang Tidak Lagi Membebaskan

Saya pernah mengajar sekelompok remaja. Mereka cerdas, lincah, dan penuh potensi. Tapi ketika saya ajak diskusi terbuka, hanya sedikit yang berani angkat tangan. Mereka lebih memilih diam.

“Saya takut salah, Bu,” kata seorang siswa. “Nanti malah diketawain.”

Ini bukan soal kurang percaya diri. Ini adalah luka yang dihasilkan sistem yang terlalu lama menghukum kesalahan dan terlalu jarang merayakan kejujuran intelektual.

Sistem ini menjadikan nilai sebagai penentu segalanya. Lalu pelan-pelan, belajar menjadi semacam sandiwara: anak menghafal, guru menguji, lalu semua lega jika nilainya tinggi. Tapi tak ada yang benar-benar memahami. Tak ada ruang untuk keliru, untuk mempertanyakan, atau bahkan mengkritisi apa yang diajarkan.

Belajar seperti ini bukan lagi membebaskan. Ia menjerat. Ia membuat takut berpikir berbeda.


Anak-anak yang Takut Bertanya

Saya sering bertemu anak-anak pintar yang kehilangan keberanian untuk bertanya. Mereka hanya fokus pada jawaban benar. Mereka ingin cepat selesai. Mereka hafal, tapi tak paham. Mereka menjawab soal, tapi tak tahu kenapa jawabannya begitu.

Ketika saya tanya, “Kenapa kamu jawab seperti ini?”

Mereka berkata, “Soalnya begitu di buku.”

Inikah hasil dari pendidikan yang hanya berani memberi ruang pada jawaban benar?

Di mana tempat untuk keraguan yang sehat? Di mana tempat untuk jawaban alternatif yang bisa membuka diskusi?

Jika semua hanya soal benar atau salah, maka pendidikan telah gagal menjadi tempat tumbuhnya akal.


Orang Tua dan Guru Juga Perlu Bertanya

Kita, sebagai orang tua dan pendidik, juga perlu bercermin.

Apakah kita terlalu sering menakut-nakuti anak dengan nilai jelek?
Apakah kita terlalu cepat marah ketika anak tidak dapat nilai sempurna?
Apakah kita tanpa sadar menanamkan keyakinan bahwa “nilai buruk = kamu tidak berharga”?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting. Karena bisa jadi, kita sendiri yang memadamkan nyala keingintahuan anak-anak kita.

Mereka bisa saja sangat tertarik pada sains, tapi kehilangan minat karena terlalu sering dimarahi saat nilainya rendah. Mereka mungkin punya jiwa seni yang luar biasa, tapi dilarang mendalaminya karena tak masuk kriteria “mapan”.

Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab saat rasa ingin tahu itu akhirnya benar-benar mati?


Membangun Iklim Belajar yang Manusiawi

Kita butuh pendidikan yang menghidupkan, bukan menakutkan. Yang memantik rasa ingin tahu, bukan menekannya dengan ancaman.

Caranya?

Mulailah dari menciptakan ruang aman di rumah dan kelas. Ruang di mana anak-anak boleh salah. Boleh bingung. Boleh bertanya tanpa takut direndahkan.

Berikan apresiasi pada proses, bukan hanya hasil. Katakan bahwa salah bukan berarti bodoh, tapi bagian dari tumbuh. Bahwa belajar adalah perjalanan, bukan perlombaan satu kali.

Guru juga perlu menjadi fasilitator, bukan hakim. Orang tua juga perlu menjadi penyemangat, bukan tukang kritik.

Dan yang paling penting: izinkan anak mencintai ilmu dengan caranya sendiri. Biarkan mereka memilih minat, mendalami hal yang membuat matanya berbinar, walaupun itu tak masuk dalam kategori “mata pelajaran utama”.

Karena ilmu itu luas, dan setiap anak punya jalan unik menuju pemahamannya.


Penutup: Menyalakan Kembali Nyala Ingin Tahu

Saya percaya, pendidikan yang benar adalah yang bisa membuat anak-anak berkata,
“Aku ingin tahu lebih banyak, bukan karena takut dimarahi, tapi karena aku penasaran.”

Jika kita bisa mengembalikan itu—rasa ingin tahu yang tulus, bukan rasa takut yang memaksa—maka kita sedang membangun generasi pembelajar sejati.

Dan bukankah itu tujuan awal dari semua ini?[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *