Latih Anak Mengenali Emosinya, Bukan Hanya Menekannya agar Terlihat Baik dan Ceria di Mata Orang Lain

Deskripsi :
Anak bahagia bukan berarti selalu ceria. Justru, anak yang sehat secara emosional adalah anak yang mampu mengenali, merasakan, dan merawat emosinya, bukan sekadar menekannya.
CHARACTER LEARNING – “Ayah, aku marah banget tadi di sekolah!” kata anakku dengan napas tersengal dan mata berkaca-kaca. Refleks, aku ingin langsung menenangkan, menyuruhnya diam, atau berkata, “Jangan marah, nanti dosa!” Tapi kali ini aku memilih berhenti. Menahan lidahku. Aku menarik napas dan menjawab, “Marahnya kenapa? Ceritain, Nak.”
Ternyata, kalimat sesederhana itu—yang membuka ruang, bukan membungkam—mampu mencairkan tangisnya. Ia bercerita panjang lebar tentang temannya yang tidak adil, tentang rasa kecewa yang tertahan, dan tentang betapa dia merasa tidak didengar.
Di akhir cerita, ia mengembuskan napas panjang dan berkata, “Sekarang aku lebih tenang.”
Saat itulah aku sadar, anak-anak tidak butuh orang tua yang melarang emosinya keluar. Mereka butuh seseorang yang memberi izin untuk merasakan—dan tetap mencintainya dalam proses itu.
Tumbuh dengan Tuntutan “Harus Ceria”
Kita sering punya gambaran anak bahagia itu anak yang selalu ceria, ramah, penurut, dan mudah tertawa. Kita lupa bahwa anak adalah manusia. Dan manusia punya ragam emosi: sedih, takut, marah, kecewa, gelisah, bukan hanya senang dan tertawa.
“Jangan cengeng.”
“Marah itu jelek.”
“Kamu cowok, harus kuat.”
“Udah, nggak usah lebay, biasa aja.”
Kalimat-kalimat itu sering terdengar sepele. Tapi saat diucapkan terus menerus, mereka membentuk keyakinan dalam diri anak: merasa itu salah. Menunjukkan emosi itu lemah. Menangis itu memalukan. Dan akhirnya, anak belajar satu hal yang menyakitkan: menekan emosinya demi terlihat baik.
Anak yang Terlihat Baik Belum Tentu Baik-Baik Saja
Beberapa anak terlihat tenang dan menurut. Tapi diam-diam, mereka menahan banyak hal. Mereka takut mengecewakan. Takut membuat orang tua marah. Takut ditolak hanya karena perasaannya tidak sesuai harapan.
Mereka belajar menyembunyikan:
- Sedih yang diredam agar tetap tersenyum.
- Marah yang ditahan agar tidak dibilang durhaka.
- Takut yang disangkal agar dianggap berani.
Dan saat dewasa nanti, bisa jadi mereka akan kesulitan memahami apa yang sebenarnya mereka rasakan. Karena sejak kecil, mereka diajarkan untuk tidak mengenal emosi, hanya menahannya.
Ajarkan Anak Mengenali, Bukan Menolak Emosi
Aku mulai belajar bahwa tugas kita sebagai orang tua bukan membuat anak selalu ceria. Tapi mengajarkan bahwa semua emosi itu sah—dan bisa dikelola.
Saat anak marah, kita bisa berkata:
“Wajar kok kamu marah. Yuk kita cari tahu kenapa kamu merasa begitu.”
Saat anak sedih:
“Mama lihat kamu sedih. Mau cerita? Kamu boleh menangis dulu.”
Mengenali emosi adalah keterampilan hidup. Sama pentingnya dengan membaca atau berhitung. Karena hidup ini tidak selalu mudah. Akan ada kekecewaan, kehilangan, konflik, dan ketidakpastian. Dan satu-satunya yang bisa menyelamatkan anak bukanlah kepintarannya—tetapi kemampuannya mengelola apa yang ia rasakan.
Emosi Itu Pesan, Bukan Musuh
Aku pernah membaca satu kalimat yang membekas: “Emosi adalah pesan, bukan musuh.”
Saat anak marah, bisa jadi ada ketidakadilan yang ia rasakan. Saat anak takut, bisa jadi ia butuh perlindungan. Saat anak menangis, bisa jadi ia sedang berjuang memahami apa yang membuatnya sakit hati.
Dan tugas kita bukan mematikan pesan itu. Tapi mendampingi anak membaca dan memahami isinya.
Anak yang Mengenal Emosinya, Lebih Mudah Menenangkan Dirinya
Bayangkan anak yang tumbuh dengan kemampuan menyebutkan perasaannya:
- “Aku kecewa karena hasil lombanya nggak sesuai harapan.”
- “Aku cemas karena besok mau tampil di depan kelas.”
- “Aku marah karena temanku ngatain aku jelek.”
Anak-anak seperti ini jauh lebih siap menghadapi tantangan hidup. Karena mereka tahu apa yang mereka rasakan. Mereka tidak meledak tanpa arah, tidak menyakiti orang lain untuk melampiaskan, dan tidak menyakiti diri sendiri karena bingung.
Mereka belajar berkata, “Aku sedang tidak baik-baik saja, dan itu tidak apa-apa.”
Peran Orang Tua: Cermin yang Tenang, Bukan Api Balasan
Ketika anak sedang marah, dan kita ikut marah, maka yang terjadi adalah ledakan emosi. Tapi saat kita bisa tenang, kita menjadi cermin. Anak belajar menenangkan dirinya lewat ketenangan kita.
Aku sendiri masih sering gagal. Kadang terburu-buru menasihati, kadang malah balik membentak. Tapi dari kegagalan itu, aku belajar bahwa anak juga butuh contoh nyata, bukan hanya kata-kata.
Kalimat seperti, “Mama juga kadang marah, kok. Tapi Mama belajar tarik napas dulu,” bisa menjadi jembatan untuk anak belajar.
Buka Ruang Bicara, Bukan Ruang Diam
Anak yang dibiasakan berbicara soal perasaannya sejak kecil, lebih mudah terbuka saat remaja.
Aku sering heran kenapa anak remaja banyak yang lebih curhat ke teman daripada ke orang tua. Tapi setelah kupikir ulang, mungkin karena sejak kecil mereka tidak dibiasakan bicara soal rasa. Mereka hanya diajari baik dan buruk. Bukan mengenali dan menerima.
Maka, aku mulai membiasakan hal-hal kecil:
- Bertanya, “Hari ini kamu paling senang saat apa?”
- Atau, “Ada hal yang bikin kamu kesal hari ini?”
- Dan yang paling penting: mendengar tanpa buru-buru mengoreksi.
Menjadi Rumah bagi Emosi Anak
Aku ingin anakku tahu: rumah ini bukan tempat untuk pura-pura baik-baik saja. Di rumah, ia boleh sedih, takut, bingung, marah, bahkan malu. Dan semua itu tidak akan membuatku mencintainya lebih sedikit.
Aku ingin rumah ini jadi tempat anak belajar berkata jujur tentang apa yang ia rasa, tanpa takut dianggap lemah. Tanpa takut ditolak.
Karena pada akhirnya, mengenali emosi adalah bagian dari mengenali diri sendiri. Dan bagaimana mungkin anak tumbuh menjadi pribadi yang utuh, jika ia bahkan tidak diberi ruang untuk mengenali siapa dirinya?
Penutup: Emosi Anak Adalah Kompas, Bukan Beban
Setiap anak punya perasaan. Dan setiap perasaan punya alasan.
Tugas kita bukan menyuruh anak selalu bahagia. Tapi membimbing mereka menapaki jalan panjang emosi manusia — agar saat badai datang, mereka tahu bagaimana cara bertahan.
Bukan dengan menekan, bukan dengan menyembunyikan, tapi dengan keberanian untuk merasa dan kemampuan untuk merawat dirinya sendiri.
Dan semua itu dimulai… dari rumah.[*]