Mau Anak Terbuka Sama Kita? Awali dengan Memberi Mereka Kesempatan Bicara

DESKRIPSI : Anak juga manusia, dengan isi kepala dan suara hati. Tapi sering tanpa sadar, kita menutup mulut mereka dengan otoritas. Mungkin sudah saatnya kita belajar mendengar.
CHARACTER LEARNING – Beberapa minggu lalu, anak saya pulang sekolah dengan wajah murung. Ia tampak ingin menceritakan sesuatu, tapi saya malah sibuk dengan ponsel. Ketika ia akhirnya berkata, “Tadi di sekolah—,” saya langsung memotong, “Sudah, mandi dulu sana, nanti cerita-cerita.” Wajahnya tertunduk. Ia tidak protes. Tapi ia juga tidak melanjutkan cerita itu—sampai hari ini.
Saya pikir itu sepele. Tapi ketika malam tiba dan saya mengingat kembali sorot matanya yang padam, saya tahu: saya telah mematikan momen penting. Bukan karena saya galak, bukan karena saya memarahinya. Tapi karena saya tidak memberinya ruang untuk bicara.
Dan yang lebih menyedihkan, saya melakukannya hampir setiap hari.
Suara Anak yang Sering Kita Anggap Tak Penting
Kita sering lupa bahwa anak-anak juga manusia. Mereka punya ide, pendapat, emosi, dan keinginan untuk didengarkan. Tapi dalam dinamika rumah tangga, suara mereka sering kali dianggap remeh, dibungkam secara halus oleh kalimat-kalimat seperti:
- “Udah, diam dulu, Mama lagi ngomong.”
- “Ah, itu mah biasa, nggak penting.”
- “Kamu tahu apa sih? Masih kecil!”
Saya pernah mengatakan semua itu. Dengan wajah tenang, nada suara normal, tapi maknanya tajam: Aku tidak mau mendengar kamu sekarang.
Dan makin saya pikirkan, makin saya sadar bahwa itu bukan sekadar kebiasaan — tapi pola. Pola yang entah sejak kapan tertanam dan diwariskan.
Mewarisi Pola yang Sama
Saat saya mencoba menelusuri ke belakang, saya ingat masa kecil saya sendiri. Betapa sering saya merasa tak didengarkan. Saat ingin mengungkapkan pendapat, saya kerap dipotong. Saat ingin protes, saya dianggap kurang ajar. Bahkan ketika saya benar-benar sedih, saya hanya diberi nasihat panjang lebar tanpa ruang untuk bercerita.
Mungkin itu sebabnya kini saya tumbuh menjadi pribadi yang sering menahan cerita. Dan secara tak sadar, saya mengulangi pola yang sama kepada anak saya.
Itulah luka yang diwariskan tanpa niat. Luka yang muncul bukan karena kekerasan, tapi karena ketidakhadiran ruang bicara.
Ketika Anak Tidak Lagi Mau Bicara
Anak-anak tidak selalu langsung menegur ketika mereka merasa dibungkam. Mereka hanya perlahan-lahan akan berhenti bercerita. Mereka akan menyimpan ceritanya sendiri. Mereka akan mulai mencari tempat lain yang mau mendengarkan. Dan yang paling berbahaya, mereka akan tumbuh dengan keyakinan bahwa suaranya tidak penting.
Dan itu bukan hanya menyakitkan. Itu bisa jadi awal dari kehilangan koneksi yang tak kita sadari.
Saya mulai sadar, anak saya mulai jarang cerita. Saya pikir ia hanya pendiam. Tapi bisa jadi, ia diam karena ia belajar bahwa saya tak benar-benar mendengarkan.
Mendengarkan adalah Tindakan Mencintai
Saya pernah membaca kutipan yang mengatakan, “Anak-anak tidak selalu membutuhkan jawaban. Mereka hanya butuh didengar.” Dan sejak saat itu, saya mencoba mengubah pendekatan saya. Tidak sempurna, tapi perlahan.
Ketika anak saya datang dan mulai bercerita, saya meletakkan ponsel. Saya menatap matanya. Saya mencoba hadir — sepenuhnya. Walau kadang ceritanya berputar-putar, tentang teman sekolah yang tidak mau berbagi mainan atau gurunya yang galak, saya belajar untuk tidak memotong.
Saya belajar berkata, “Lalu, apa yang kamu rasakan?” atau “Terus, kamu ngapain setelah itu?”
Dan ajaibnya, ketika saya membuka ruang, ia mulai membuka hati.
Belajar dari Anak untuk Menjadi Dewasa
Banyak dari kita berpikir, orang dewasa harus jadi pengajar. Tapi sebenarnya, anak-anak pun bisa jadi guru. Mereka mengajarkan kita untuk mendengarkan tanpa menghakimi. Mereka mengingatkan bahwa setiap orang — tak peduli usianya — ingin didengar, dipahami, dan dihargai.
Kadang, cerita anak terdengar remeh di telinga orang dewasa. Tapi bagi mereka, itu bisa jadi pengalaman besar. Bisa jadi itu pertama kalinya mereka merasa ditolak, kecewa, atau bangga. Dan saat mereka punya keberanian untuk bercerita, bukankah tugas kita adalah menampungnya, bukan menyela?
Tidak Terlambat untuk Memulai
Jika kamu merasa sudah terlalu sering menolak cerita anakmu, jangan buru-buru merasa gagal. Saya juga masih terus belajar. Saya pun masih tergelincir — kadang buru-buru, kadang masih menyela. Tapi saya belajar untuk kembali, meminta maaf, dan berkata, “Maaf tadi Mama motong ya. Sekarang kamu boleh lanjut cerita.”
Percayalah, anak-anak adalah makhluk yang sangat pemaaf. Mereka hanya butuh melihat bahwa kita mau berubah. Dan mereka akan kembali membuka hatinya.
Penutup: Membangun Rumah yang Mau Mendengar
Anak-anak tak butuh rumah yang mewah, tapi rumah yang mau mendengar. Mereka tak butuh orang tua yang selalu punya jawaban, tapi yang mau duduk dan mendengarkan, tanpa tergesa, tanpa menggurui.
Mungkin kita pernah tumbuh dalam rumah yang tidak memberi ruang suara. Tapi sekarang, sebagai orang tua, kita punya pilihan. Kita bisa jadi rumah yang berbeda.
Mulailah dari hari ini. Saat anak mulai bicara, berhentilah sejenak. Dengarkan. Hadir. Tahan lidah untuk memberi solusi cepat. Biarkan ia menyelesaikan kalimatnya. Karena di sanalah, hubungan itu tumbuh — dari satu cerita kecil yang ditampung dengan hati besar.[*]