Membiasakan Anak Menyelesaikan Tugas: Menumbuhkan Disiplin tanpa Ancaman, Tekun tanpa Paksaan

Deskripsi: Membiasakan anak menyelesaikan tugas bukan soal target semata, tapi soal membentuk karakter tekun dan bertanggung jawab—dengan cara yang manusiawi, hangat, dan penuh kesabaran.
CHARACTER LEARNING – Aku tidak tumbuh dalam rumah yang terlalu santai, tapi juga tidak terlalu keras. Ada aturan, ada batas, tapi juga ada ruang untuk bertanya, bahkan untuk membantah. Dan dari semua hal yang kini kusyukuri sebagai orang dewasa, salah satunya adalah kebiasaan menyelesaikan apa yang telah dimulai—tugas, tanggung jawab, komitmen.
Kini, saat menjadi orang tua, aku mulai sadar bahwa kebiasaan itu tidak datang dengan sendirinya. Ia ditanam. Ia tumbuh pelan-pelan. Dan yang lebih penting: ia tidak tumbuh lewat paksaan, tapi lewat proses yang konsisten dan penuh kesabaran.
Anakku masih kecil. Tapi dari sekarang, aku mulai mengenalkannya pada tanggung jawab. Bukan dengan cara membebani, tapi dengan memberi pengalaman menyelesaikan hal-hal kecil sampai tuntas. Merapikan mainan setelah bermain. Menaruh sepatu di tempatnya. Menyelesaikan gambar yang dia mulai coret-coret. Tugas-tugas sederhana yang tidak akan membuatnya lelah, tapi cukup untuk membentuk jejak dalam pikirannya: bahwa menyelesaikan itu penting.
Aku ingat, satu waktu, dia menggambar seekor kucing yang kemudian ia tinggalkan begitu saja di tengah jalan karena tertarik pada mainan lain. Aku tidak langsung memaksanya kembali. Tapi malam harinya, saat kami beres-beres, aku bilang, “Kucingmu belum selesai loh. Kasihan dia, belum punya ekor.” Dia tertawa, lalu mengambil kertas itu lagi dan menyelesaikannya. Aku tidak ingin membuat tugas terasa seperti beban. Aku ingin dia merasakannya sebagai tanggung jawab yang masuk akal, bahkan menyenangkan.
Karena begini: anak-anak itu belajar lebih banyak dari contoh dan suasana hati kita ketimbang dari perintah. Kalau kita sendiri sering menunda-nunda, menyuruh mereka untuk ‘selesaikan PR dulu!’ rasanya tidak akan mengakar. Tapi kalau mereka melihat kita konsisten menyelesaikan pekerjaan rumah, membereskan dapur tanpa mengeluh, atau menyelesaikan bacaan sampai habis, mereka menyerap itu sebagai hal yang normal.
Namun tentu saja tidak semudah itu. Ada hari-hari ketika anakku mogok. Tidak mau menyelesaikan mewarnai, tidak mau beres-beres mainan. Ada keinginanku untuk mengomel, memberi ceramah kecil. Tapi aku belajar menahan diri. Karena aku tahu, anak-anak bukan robot. Mereka punya hari buruk juga. Dan aku mencoba mengingatkan diri sendiri: tujuan utamanya bukan agar semua tugas selesai hari itu juga, tapi agar ada kebiasaan yang tertanam secara perlahan.
Alih-alih marah, aku belajar mengajak. Kadang aku bilang, “Ayo, kita bantuin bareng-bareng, yuk.” Atau “Kalau sudah selesai, kita bisa main yang lain.” Bukan ancaman, bukan iming-iming besar. Hanya logika sederhana bahwa sesuatu harus diselesaikan sebelum pindah ke hal lain. Itu yang coba kutanamkan.
Aku juga menghindari terlalu sering memberi hadiah untuk setiap tugas selesai. Karena aku tidak ingin anakku terbiasa berpikir bahwa menyelesaikan tugas itu hanya penting kalau ada hadiahnya. Aku ingin ia tahu bahwa ada kepuasan tersendiri dalam menyelesaikan sesuatu. Dan itu tidak kalah penting dari nilai atau pujian.
Yang paling sulit mungkin adalah mengatur ekspektasiku sendiri. Aku ingin anakku bertanggung jawab, tapi aku juga tidak ingin menjadi orang tua yang obsesif soal kerapian atau perfeksionisme. Jadi aku belajar memberi ruang. Kalau dia membereskan mainan tapi tidak terlalu rapi, aku tidak langsung membetulkannya sambil mengeluh. Aku belajar bilang, “Terima kasih sudah beresin. Besok kita coba lebih rapi, ya.” Karena yang ingin kutumbuhkan bukan hasilnya, tapi kebiasaannya.
Dari proses ini, aku juga belajar banyak soal diriku sendiri. Tentang betapa seringnya aku ingin cepat, ingin instan, ingin hasil. Padahal mendidik anak itu proses jangka panjang. Hasilnya mungkin baru terlihat bertahun-tahun lagi. Tapi benihnya bisa kutanam dari sekarang—dengan sabar, dengan cinta.
Membiasakan anak menyelesaikan tugas bukan soal menjadikan mereka anak yang selalu patuh atau sempurna. Tapi lebih pada menanamkan rasa tanggung jawab, membentuk karakter yang tidak mudah menyerah, dan memperkenalkan bahwa disiplin bukan musuh, tapi teman yang akan membantu mereka di banyak fase hidup.
Aku juga percaya bahwa anak yang terbiasa menyelesaikan tugas, sekecil apa pun, akan tumbuh dengan rasa percaya diri yang lebih kuat. Karena di dalam dirinya, tumbuh keyakinan bahwa ia mampu menyelesaikan sesuatu yang ia mulai. Dan keyakinan itu penting, bahkan lebih penting dari nilai tinggi atau prestasi sesaat.
Kini, setiap kali anakku menyelesaikan hal kecil, aku mencoba merayakannya dengan hangat. Bukan dengan pesta, tapi dengan kalimat sederhana: “Wah, kamu hebat. Kamu bisa selesaikan itu sendiri.” Kalimat yang mungkin terdengar biasa, tapi baginya itu seperti pelukan. Ia belajar bahwa menyelesaikan sesuatu itu menyenangkan, dan ia disayangi karena usahanya, bukan semata karena hasilnya.
Dan di malam-malam tenang ketika ia sudah tidur, aku sering berpikir: mungkin inilah salah satu bentuk cinta yang paling nyata. Cinta yang tak selalu berbentuk pelukan atau hadiah, tapi berupa kesabaran untuk terus menanamkan kebiasaan baik—meski perlahan, meski tak langsung terlihat hasilnya.
Karena seperti menanam pohon, hasilnya tak akan tampak esok pagi. Tapi suatu hari, ketika angin kencang datang, aku ingin anakku punya akar yang cukup kuat untuk tetap berdiri.[*]