Menemukan Syukur Saat Tak Lagi Dipuji: Jalan Sunyi Seorang Ibu Menuju Ikhlas yang Sebenarnya

Deskripsi :
Ketika seorang ibu merasa tak lagi dihargai, di sanalah pelajaran keikhlasan dan syukur sejati dimulai. Bukan karena dipuji, tapi karena tahu bahwa semua ini dilihat oleh-Nya.


CHARACTER LEARNING – Ada masa-masa dalam hidupku, sebagai seorang ibu, ketika pujian tak lagi datang.
Tidak ada yang bilang, “Hebat ya, kamu bisa begadang sambil menyusui.”
Tidak ada yang tepuk tangan saat aku bisa memasak sambil menenangkan anak tantrum.
Tidak ada yang mengabadikan momen ketika aku membereskan rumah meski tubuhku sendiri nyaris tumbang.

Dan diam-diam… aku rindu untuk dianggap.
Rindu dipuji. Rindu sekadar diakui bahwa semua ini tak mudah.

    Dulu, saat masih bekerja di luar rumah, aku terbiasa mendapat penghargaan.
    Setiap tugas selesai, ada apresiasi.
    Setiap ide bagus, ada yang memuji.
    Bahkan kelelahan pun dianggap perjuangan.

    Tapi kini, di rumah, semua itu nyaris hilang.
    Keberhasilanku menidurkan anak di tengah demam tak pernah diumumkan.
    Usahaku menjaga emosi saat lelah tak pernah masuk laporan bulanan.

    Dan tanpa kusadari, kehilangan pujian membuatku gelisah.
    “Kenapa semua ini seperti tak ada yang melihat?”

      Lalu suatu malam, di antara nyanyian jangkrik dan suara kipas yang berderit pelan, aku menangis.
      Bukan karena marah, tapi karena merasa kosong.

      Aku berkata lirih dalam hati:
      “Ya Allah… aku melakukan ini semua karena cinta. Tapi kenapa rasanya kosong tanpa pujian?”

      Dan malam itu, untuk pertama kalinya aku benar-benar menyadari, bahwa hatiku ternyata masih berharap dilihat manusia.
      Masih ingin dianggap luar biasa.
      Masih menunggu tepuk tangan yang tak kunjung datang.

        Rasanya seperti ditampar halus.
        Ternyata aku belum benar-benar ikhlas.
        Ternyata aku masih butuh panggung, meski kecil.

        Padahal dulu, aku sering berkata:
        “Aku ingin jadi ibu yang penuh cinta karena Allah.”

        Tapi malam itu, aku diuji.
        Bukan lewat tangisan anak atau pekerjaan rumah yang menumpuk.
        Tapi lewat sunyi.
        Lewat tidak adanya pujian.

          Dan justru di situlah aku belajar pelan-pelan,
          tentang makna syukur yang sejati.
          Tentang ibadah yang tak butuh tepuk tangan.
          Tentang cinta yang tak selalu terlihat, tapi tetap mengalir.

          Aku mulai paham, bahwa Allah memang Sang Maha Melihat.
          Ia melihat tanganku yang basah oleh air cucian.
          Ia melihat mataku yang berkaca-kaca saat lelah tak tertampung kata.
          Ia tahu isi hatiku, bahkan saat aku tak bisa menyuarakannya.

          Dan itu… cukup.

            Tidak mudah memang.
            Kadang rasa ingin dianggap muncul tiba-tiba.
            Saat melihat ibu lain dipuji karena gaya parenting-nya.
            Saat melihat orang lain dihargai karena prestasinya.

            Sedangkan aku…
            hanya punya peluh dan cerita yang sering tak terdengar.

            Tapi bukankah ini jalan sunyi yang banyak orang tak pilih?
            Jalan penuh pengorbanan tanpa sorotan.
            Jalan seorang ibu yang mencintai, bukan karena dipuji,
            tapi karena tahu bahwa ini adalah amanah—dan cinta sejati memang diam-diam bekerja.

              Aku mulai membiasakan diri berkata dalam hati:
              “Ya Allah, aku tahu Engkau melihatku.”
              “Ya Allah, aku bersyukur untuk kekuatan ini.”
              “Ya Allah, biarlah tak seorang pun melihatku, asalkan Engkau ridha padaku.”

              Dan kalimat-kalimat itu, ternyata adalah doa.
              Yang memulihkan.
              Yang menguatkan.
              Yang menggantikan tepuk tangan manusia dengan pelukan langit.

                Sekarang, ketika aku merasa tak dianggap, aku berhenti sejenak.
                Menarik napas.
                Dan mengingat bahwa memang begitulah cinta sejati bekerja:
                Diam, tapi nyata.
                Sunyi, tapi dalam.

                Aku mulai melatih diri untuk tidak lagi berharap dilihat.
                Bukan karena menyerah, tapi karena tahu bahwa yang paling penting sudah melihat sejak awal:
                Dia yang menciptakanku.

                  Ada satu titik dalam kehidupan ruhani seseorang,
                  di mana Tuhan mengajak kita naik level.
                  Dan seringkali, caranya adalah dengan mencabut apa yang biasa kita nikmati—
                  seperti pujian, pengakuan, dan perhatian.

                  Bukan untuk membuat kita menderita.
                  Tapi untuk melatih hati kita mencintai-Nya tanpa syarat.

                  Begitulah, kadang saat kita tak lagi dipuji,
                  Tuhan sedang mengajari kita untuk bersyukur dengan lebih dalam.
                  Bukan karena ada yang menyanjung,
                  tapi karena kita tahu,
                  kita sedang dituntun menuju cinta yang tak bergantung pada dunia.

                    Menjadi ibu mengajarkanku itu semua.
                    Bahwa syukur bukan hanya ketika aku dipuji.
                    Tapi ketika aku masih bisa mencintai, meski tak dilihat.
                    Ketika aku masih bisa melayani, meski tak dihargai.
                    Ketika aku masih bisa tersenyum, meski hati kadang menangis.

                    Karena mungkin…
                    di balik sunyi itu, ada Allah yang sedang memelukku erat.
                    Menguatkanku dalam diam.
                    Menyapa jiwaku dengan cinta-Nya yang tak pernah absen.

                      Jadi, jika kau seorang ibu yang merasa tak dianggap,
                      yang tak lagi dipuji,
                      yang kehadirannya seperti transparan di rumah sendiri,
                      maka peluklah dirimu pelan-pelan.

                      Karena bisa jadi, di situlah ruhanimu sedang tumbuh.
                      Bukan lewat zikir yang keras, tapi lewat kesabaran diam.
                      Bukan lewat pujian manusia, tapi lewat senyuman Allah dalam takdir yang kau jalani.

                      Dan ketika kau bisa bersyukur di titik itu,
                      itulah tanda:
                      kau sedang menuju ikhlas.
                      Yang sebenar-benarnya.[*]

                      Tinggalkan Balasan

                      Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *