Menerima Anak yang Tak Suka Pelukan: Saat Kasih Sayang Tak Selalu Harus Lewat Sentuhan Fisik

Deskripsi : Tak semua anak nyaman dengan pelukan. Kasih sayang tetap bisa sampai lewat bahasa yang berbeda—yang mereka pahami dan izinkan.
CHARACTER LEARNING – Aku ingat betul ketika pertama kali menyadari bahwa anakku bukan tipe yang suka disentuh. Ia menepis tanganku saat kupeluk terlalu lama. Ia terlihat tegang saat kupijat pundaknya sepulang sekolah. Bahkan saat sedang sedih, ia lebih memilih duduk menyendiri daripada duduk di pangkuanku.
Jujur, awalnya aku bingung. Aku ini orang yang sangat ekspresif secara fisik. Pelukan, belaian, ciuman di kening—bagiku itu bentuk cinta paling alami. Maka ketika anakku menolak itu semua, aku sempat berpikir: “Apakah aku kurang dekat dengannya? Apakah dia menjauh dariku?”
Namun seiring waktu, aku belajar. Menerima kenyataan bahwa cinta tidak selalu hadir dalam bentuk yang sama. Tidak semua anak nyaman menunjukkan atau menerima kasih sayang dengan cara yang kita kenal. Dan yang paling penting: mereka bukan anak yang “kurang hangat”. Mereka hanya punya bahasa cinta yang berbeda.
Bahasa Cinta yang Tak Selalu Sama
Setiap manusia membawa kecenderungan unik dalam mengekspresikan dan menerima kasih sayang. Konsep ini sering dikenal sebagai love language—bahasa cinta. Ada yang merasa dicintai lewat pelukan, ada yang melalui kata-kata, ada pula yang lebih nyaman ketika dibantu melakukan sesuatu atau saat ditemani.
Bagi sebagian anak, pelukan bisa terasa menenangkan. Tapi bagi anak lain, pelukan justru membuatnya tidak nyaman, canggung, atau bahkan terancam. Ini bukan karena mereka tidak mencintai kita. Bisa jadi, tubuh mereka hanya lebih sensitif. Atau pengalaman mereka di masa kecil membentuk batas-batas fisik yang kuat. Atau memang sejak lahir, sistem saraf mereka bereaksi berbeda terhadap sentuhan.
Ketika kita memaksakan pelukan sebagai bentuk cinta, tanpa sadar kita sedang mengatakan: “Cinta itu harus begini.” Padahal yang mereka butuhkan adalah: “Cinta itu bisa dipahami dalam cara yang kau izinkan.”
Melepaskan Ego, Belajar Menerima
Aku harus jujur, bagian tersulit dari perjalanan ini adalah menurunkan egoku sebagai orang tua. Aku ingin mencintai dengan caraku. Aku ingin anakku menerima cinta seperti yang aku pahami. Tapi perlahan aku sadar, itu bukan tentang aku. Ini tentang mereka. Tentang membuat mereka merasa aman, dilihat, dan dihargai.
Anakku memang tak suka pelukan, tapi ia selalu menyisakan potongan roti bakar untukku saat sarapan. Ia menaruh selimut ke kakiku saat aku tertidur di sofa. Ia mengajakku menonton film yang dia suka meski aku sering ketiduran di tengah-tengah. Kasih sayangnya ada. Tapi bentuknya halus, kecil, dan diam-diam.
Aku mulai belajar mengenali itu. Menyambut cara-cara kecil itu dengan hangat, tanpa menuntutnya menjadi seperti anak-anak lain yang suka bergelayut manja. Aku belajar mengekspresikan cinta dengan cara yang bisa ia terima: membereskan meja belajarnya, mengingat nama temannya, atau sekadar duduk di dekatnya tanpa banyak bicara.
Mencintai Tanpa Memaksa
Ada satu hal yang terus kupelajari: bahwa mencintai anak artinya mencintai batas-batasnya. Kita sering berpikir bahwa cinta itu berarti mendekat, menyentuh, menyatu. Tapi cinta sejati juga tahu kapan harus berhenti, memberi ruang, dan tidak melanggar batas kenyamanan yang ditetapkan anak.
Saat kita memaksa pelukan pada anak yang tidak nyaman disentuh, niat baik itu bisa berubah menjadi tekanan. Anak bisa merasa bersalah karena menolak cinta kita. Ia mungkin berpikir ada yang salah dengan dirinya. Atau lebih buruk: ia terbiasa menerima sentuhan meski tidak nyaman, karena takut menyakiti kita.
Padahal kita tidak ingin itu, bukan? Kita ingin anak kita tumbuh dengan perasaan aman atas tubuhnya sendiri. Kita ingin ia tahu bahwa ia berhak menolak sentuhan yang tidak ia inginkan, bahkan dari orang tuanya sekalipun. Karena itu adalah bentuk paling awal dari pendidikan tentang batas diri dan penghormatan atas tubuh.
Ketika Kita Belajar Bicara dengan Bahasa Mereka
Sejak memahami ini, aku mulai mengubah caraku menyapa cinta. Aku tak lagi buru-buru memeluk saat ia sedih, tapi duduk di sampingnya dan berkata, “Ayah/Ibu di sini kalau kamu butuh.” Aku tak lagi memaksa cium pipi sebelum tidur, tapi menyelimutinya dan berbisik, “Selamat istirahat ya, Nak.”
Dan ajaibnya, dalam bahasa yang ia pahami dan pilih sendiri, aku mulai melihat sinyal balik. Ia membalas perhatianku dengan caranya. Ia mulai membuka sedikit pintu ke ruang pribadinya. Kadang ia bertanya pendapatku, kadang ia minta ditemani ke warung, kadang ia menunjukkan video lucu di ponselnya.
Apakah ini berarti ia akhirnya suka pelukan? Tidak juga. Tapi kami mulai saling memahami. Kami mulai berbicara dalam bahasa cinta yang berbeda namun tetap saling sampai.
Cinta Tak Perlu Satu Wajah
Sebagai orang tua, kita punya kesempatan luar biasa untuk belajar mencintai dengan lebih dewasa. Kita bisa menjadi contoh bahwa cinta bukan tentang memaksakan bentuk, tapi menyelami makna. Bahwa cinta yang tidak ditunjukkan lewat pelukan tetap valid. Bahwa perhatian yang tenang, kehadiran yang lembut, dan penghargaan atas ruang pribadi adalah juga bentuk cinta yang dalam.
Anakku mengajarkanku hal itu. Bahwa sentuhan tidak selalu sama dengan kasih sayang. Bahwa kedekatan emosional bisa tumbuh tanpa keintiman fisik. Bahwa cinta bisa hadir tanpa suara, tanpa genggaman, tanpa pelukan—dan tetap utuh.
Penutup: Belajar Mencintai Tanpa Harus Dimengerti Dulu
Tidak semua anak suka disentuh, dan itu bukan masalah. Kita yang perlu belajar membacanya. Belajar mencintai mereka dalam bahasa mereka. Karena yang paling dibutuhkan anak bukan orang tua yang sempurna, tapi orang tua yang terus belajar mengerti dan menghargai.
Pelukan itu indah. Tapi kadang, cinta yang tak berbentuk justru terasa lebih dalam. Dan jika suatu hari anak kita membuka tangannya untuk pelukan, bukan karena kita memaksa, tapi karena ia merasa aman… maka pelukan itu akan terasa jauh lebih berarti.[*]