Mengapa Kita Masih Mengandalkan Hukuman: Saat Disiplin Lebih Mirip Takut, Bukan Tumbuh dan Belajar

Deskripsi: Refleksi tentang kebiasaan menghukum demi disiplin, padahal anak butuh bimbingan, bukan ketakutan yang membekas.
Saya ingat satu momen di masa kecil yang begitu membekas—saat saya dihukum berdiri di depan kelas karena lupa membawa buku. Saat itu, bukan rasa tanggung jawab yang tumbuh, tapi malu, takut, dan perasaan tak berguna. Anehnya, saya justru semakin cemas setiap kali harus sekolah. Sejak itu, saya sering bertanya dalam hati: benarkah hukuman membuat anak menjadi lebih disiplin?
Dan kini, ketika saya telah menjadi orang tua sekaligus pengamat dalam dunia pendidikan, saya melihat pola serupa masih terus berulang. Hukuman masih dianggap sebagai cara ampuh untuk menertibkan, menegakkan aturan, dan mengontrol perilaku anak. Sayangnya, banyak yang tidak sadar bahwa yang ditegakkan sebenarnya lebih dekat pada rasa takut daripada kesadaran.
Disiplin dan Hukuman: Dua Hal yang Tak Sama
Banyak dari kita, mungkin karena warisan pola pengasuhan masa lalu, menyamakan disiplin dengan hukuman. Padahal, secara makna, keduanya berada di jalur yang berbeda. Disiplin berasal dari kata “disciple”, yang artinya murid atau pengikut—seseorang yang belajar, dibimbing, dan ditumbuhkan. Sedangkan hukuman seringkali hanya memberi efek jera, tapi tidak membuka ruang belajar.
Anak yang dihukum karena salah bicara, salah bertindak, atau salah memilih, sering kali tidak belajar kenapa hal itu salah. Ia hanya belajar bahwa ketika ia berbuat itu, ia akan dihukum. Akibatnya, ia memilih diam, patuh secara permukaan, atau melakukan kesalahan yang sama secara sembunyi-sembunyi. Disiplin semu ini berbahaya karena membentuk pribadi yang tampak baik di luar, namun hampa di dalam.
Hukuman: Cepat, Tapi Tidak Dalam
Sebagai orang tua atau guru, kita memang sering terjebak pada keinginan untuk melihat perubahan cepat. Hukuman menawarkan itu. Tapi seperti rumput liar yang ditebas tanpa dicabut akarnya, masalah perilaku anak hanya akan muncul lagi dalam bentuk lain.
Misalnya, anak yang sering dibentak karena malas belajar mungkin akan mulai belajar agar tidak dimarahi. Tapi apakah ia benar-benar suka belajar? Belum tentu. Bisa jadi, ia tumbuh menjadi pribadi yang hanya bekerja ketika takut dihukum, bukan karena cinta akan proses belajar itu sendiri.
Ketika hukuman menjadi alat utama, kita sebenarnya sedang menumbuhkan anak-anak yang tidak belajar dari dalam dirinya, melainkan dari tekanan luar. Mereka tidak belajar memilih karena sadar, tapi karena takut. Padahal, bukankah pendidikan sejatinya adalah proses menumbuhkan kesadaran?
Ketika Anak Dihukum, Apa yang Ia Rasakan?
Bayangkan kita berada di posisi anak. Ia dimarahi di depan teman-temannya karena lupa membawa PR. Ia dikucilkan karena dianggap malas. Apa yang mungkin tumbuh di hatinya? Bukan rasa tanggung jawab, tapi rasa malu, takut, atau bahkan benci. Dari sinilah luka batin bisa mulai terbentuk. Dan seringkali, luka ini dibawa hingga dewasa tanpa pernah benar-benar sembuh.
Anak-anak tidak punya kosakata emosional yang lengkap seperti orang dewasa. Mereka menyerap perlakuan kita sebagai kenyataan tentang siapa mereka. Maka ketika mereka dihukum berulang kali, bisa jadi mereka mulai percaya bahwa mereka memang nakal, tidak cukup baik, atau tak pantas dicintai.
Disiplin yang Membimbing, Bukan Menghukum
Ada alternatif yang lebih manusiawi, lebih membimbing, dan tetap mendidik: disiplin positif. Disiplin ini bukan berarti membiarkan semua kesalahan tanpa konsekuensi. Tapi kita mengajak anak memahami dampak dari perilakunya, bukan sekadar takut pada akibat.
Misalnya, ketika anak tidak membereskan mainannya, kita bisa berkata: “Mainan ini bisa rusak kalau tidak dirapikan. Yuk, kita simpan bersama.” Kita hadir sebagai pendamping, bukan sebagai algojo. Kita ajarkan sebab-akibat, bukan hanya sebab-hukuman.
Perlu waktu. Perlu kesabaran. Tapi hasilnya adalah anak yang tumbuh dengan kesadaran dan koneksi emosional yang sehat. Mereka tidak hanya patuh karena takut, tapi belajar karena paham.
Refleksi untuk Kita: Apa yang Kita Inginkan dari Anak?
Coba kita jujur pada diri sendiri: ketika kita menghukum, apa tujuan kita sebenarnya? Apakah karena ingin mendidik, atau karena kita sendiri sedang lelah, kesal, dan ingin melepaskan kontrol? Kadang, hukuman bukan tentang anak, tapi tentang emosi kita sendiri yang belum selesai.
Kita semua pernah salah. Kita semua sedang belajar. Termasuk kita, para orang tua dan pendidik. Tapi selama kita sadar, kita bisa memilih ulang. Kita bisa mulai mengganti kalimat “Harusnya kamu tahu ini salah!” menjadi “Apa yang kamu pikirkan saat melakukannya?” atau “Apa kamu bisa bantu aku memahami kenapa kamu melakukan itu?”
Menuju Perubahan yang Lebih Lembut
Perubahan memang tidak selalu cepat. Tapi perubahan yang datang dari hati lebih mungkin bertahan. Saat kita mulai mengganti hukuman dengan dialog, makian dengan pelukan, dan kekecewaan dengan bimbingan, kita sedang membentuk anak-anak yang punya pondasi kuat untuk masa depannya.
Bukan hanya anak-anak yang butuh bimbingan. Kita juga. Dan dalam perjalanan menjadi orang tua atau guru yang lebih baik, kita akan sering tergoda untuk kembali pada cara lama. Tapi setiap kali itu terjadi, ingatlah: tugas kita bukan membuat anak takut. Tugas kita adalah membuat mereka mengerti.[*]