Mengapa Seorang Ibu Tak Perlu Iri pada yang Tampak “Lebih Sufi”: Ruhani Juga Tumbuh di Dapur dan Pelukan

Deskripsi :
Spiritualitas bukanlah perlombaan zikir atau banyaknya wirid. Untuk seorang ibu, ruhani bisa tumbuh dalam diam—di balik peluh, pelukan anak, dan cinta yang tak diumbar.


CHARACTER LEARNING – Aku pernah merasa tertinggal.
Bukan dalam hal karier, bukan pula soal pencapaian dunia. Tapi dalam soal yang jauh lebih sunyi—tentang kedekatan dengan Tuhan.

Setelah menjadi ibu, banyak hal berubah. Hari-hariku dipenuhi rutinitas domestik yang tak selesai. Mandi pun sering tak sempat, apalagi shalat sunah yang dulu bisa kulakukan dengan tenang. Dzikir panjang selepas subuh? Kini digantikan dengan suara tangis bayi dan suara kompor yang menyala.

Dan di tengah semua itu, aku melihat teman-temanku yang lain—yang hidupnya tampak “lebih suci.”

Ada yang rutin berbagi kutipan tasawuf, mendalami kitab para wali, ikut majelis zikir, dan berbicara tentang fana dan ma’rifat dengan kefasihan yang membuatku minder.

Aku mulai bertanya pada diri sendiri,
“Ya Rabb, apakah Engkau masih menganggapku hamba-Mu yang mendekat?”

    Dalam diam, aku sempat iri.
    Bukan iri karena mereka terkenal atau dihormati, tapi karena aku merasa kehilangan rasa ruhani yang dulu begitu dekat.
    Aku merasa menjadi ibu telah menjauhkan aku dari jalan spiritual yang dulu mulai kutapaki.

    Aku tidak punya waktu untuk menyepi, tidak punya ruang untuk merenung panjang, bahkan sering lupa zikir yang biasa kubaca.

    Lalu… datang hari itu. Hari ketika aku duduk sendiri, anakku tertidur dalam pelukan, rumah sedang sunyi sejenak.
    Dalam lelah yang menyusup ke sela-sela tulang, aku berkata lirih:

    “Ya Allah, jika menjadi ibu membuatku jauh dari-Mu, lalu kenapa Kau beri amanah ini?”

    Dan entah bagaimana, aku justru merasakan kehadiran-Nya yang halus. Seperti ada yang membisik:
    “Aku tidak pernah jauh. Kau saja yang membayangkan-Ku hanya di sajadah.”

      Sejak saat itu, aku mulai memahami sesuatu.
      Bahwa spiritualitas bukan perlombaan.
      Bukan soal siapa yang paling sering menulis kata “fana” atau “mahabbah” dalam status media sosial.
      Bukan soal banyaknya majelis yang diikuti atau kitab yang dikaji.

      Spiritualitas, sejatinya, adalah perjalanan batin—yang tidak selalu tampak di mata manusia.

      Dan untuk seorang ibu, jalan itu bisa sangat sunyi. Sangat sederhana. Tapi dalam.

        Aku mulai melihat kembali hariku.
        Saat aku bangun lebih awal demi mempersiapkan sarapan, meski kantuk belum pergi.
        Saat aku memeluk anak yang tantrum tanpa membalas dengan marah.
        Saat aku membersihkan kotoran dengan sabar, dan menahan diri untuk tidak mengeluh.

        Di situlah, ruhani tumbuh.
        Bukan lewat wirid panjang yang terdengar, tapi lewat sabar yang diam-diam.
        Bukan lewat kitab yang dibaca dengan khusyuk, tapi lewat kehadiran sepenuh hati untuk anak dan keluarga.

          Aku pernah membaca, para sufi sejati tidak sibuk menunjukkan kesufian mereka.
          Justru mereka bersembunyi di balik peran-peran biasa.
          Menjadi tukang kayu, penjual roti, bahkan ibu rumah tangga—tapi batin mereka penuh cinta dan dzikir.

          Kita, para ibu, bisa jadi termasuk di antaranya.
          Asal kita sadar bahwa setiap aktivitas kita bisa menjadi ibadah—jika dilakukan dengan niat yang benar dan kesadaran penuh.

            Aku tidak lagi iri seperti dulu.
            Karena aku tahu, Tuhan melihat dari dalam, bukan dari tampilan luar.
            Dan dalam diriku yang berantakan ini, aku masih menyimpan cinta untuk-Nya.

            Setiap kali aku menahan emosi, itu zikir.
            Setiap kali aku memilih sabar, itu ibadah.
            Setiap kali aku menangis karena lelah, lalu bangkit lagi demi anak, itu bentuk cinta.

            Bukankah cinta adalah inti dari tasawuf?

              Kita memang tidak punya waktu sebanyak mereka yang bisa menyendiri dan merenung.
              Tapi kita punya pengalaman jiwa yang mungkin tak bisa dirasakan siapa pun selain para ibu.

              Menyusui di malam hari, menggendong anak yang demam, memasak sambil menahan kantuk—semua itu adalah madrasah ruhani tersendiri.
              Dan jika kita menjalaninya dengan keikhlasan, kita tidak tertinggal dari siapa pun.

                Tuhan tidak hanya hadir di langgar yang sunyi.
                Ia juga hadir di dapur kita, di ruang tamu yang berantakan, di kamar bayi yang remang.

                Selama hati kita mengingat-Nya, selama cinta kita jujur, selama niat kita lurus—kita sedang menempuh jalan sufi, meski tanpa gelar dan panggilan mulia.

                Dan siapa tahu, mungkin di akhirat nanti, justru para ibu yang terlihat “biasa” inilah yang duduk paling dekat dengan-Nya.

                  Maka, wahai diriku—dan mungkin juga dirimu, ibu-ibu yang membaca ini—berhentilah merasa tidak cukup suci hanya karena tidak bisa melakukan apa yang orang lain lakukan.

                  Spiritualitas bukan kompetisi.
                  Ia bukan arena pamer, tapi ruang sepi antara hati dan Tuhannya.

                  Dan tidak ada yang lebih pribadi dari cinta seorang ibu yang melebur demi anaknya, semata karena ia merasa itu adalah bentuk cintanya kepada Tuhan.

                    Aku kini lebih tenang.
                    Aku tidak sedang kalah, aku hanya sedang berjalan di jalur yang berbeda.
                    Aku tidak perlu menjadi seperti orang lain, karena Tuhan telah menempatkanku di sini—di jalan ibu.

                    Dan jalan ini…
                    meski penuh cucian dan tangis anak,
                    meski tidak seindah status para sufi,
                    tetap bisa menjadi jalan menuju-Nya.

                    Asal hati ini tidak lupa untuk terus hadir, untuk terus mencintai, dan untuk terus yakin bahwa…
                    aku pun sedang menuju-Nya—setiap hari.[*]

                    Tinggalkan Balasan

                    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *