Menghadirkan Tuhan di Tengah Rewel dan Popok Kotor: Spiritualitas Ibu dalam Hiruk Pikuk yang Tak Terlihat

Deskripsi :
Ketika tangis anak dan cucian menumpuk jadi rutinitas, di situlah ibu bisa menemukan wajah Tuhan—bukan di luar, tapi di dalam. Sebuah refleksi tentang ibadah yang tersembunyi dalam keseharian.


Aku tidak sedang di masjid. Tidak pula tengah khusyuk dalam dzikir panjang selepas tahajud.
Aku berada di tengah rumah yang berantakan, suara tangis anak yang belum reda, dan aroma popok kotor yang harus segera diganti.

Dan anehnya, justru di sanalah aku mulai bertanya:
“Tuhan, Engkau di mana dalam semua ini?”

    Ada masa ketika aku merasa jauh dari spiritualitas. Sejak menjadi ibu, hidupku rasanya tidak lagi punya ruang untuk perenungan panjang atau ibadah yang tenang. Waktu-waktu mustajab terlewati begitu saja karena aku ketiduran sambil menyusui. Dzikir hanya mampu kuucap dalam hati sambil mengaduk bubur anak.

    Sungguh, kadang aku merasa kosong. Lelah. Dan… bersalah.
    Seolah telah meninggalkan jalan Tuhan, padahal aku hanya sedang berada di jalan yang lain—yang tak kusebut ibadah, karena tak terlihat seperti ibadah.

      Tapi hari itu, sesuatu berubah.

      Aku sedang mengganti popok anakku yang menolak diam, sambil sesekali menahan napas karena aromanya yang menyengat. Tanganku sibuk, pikiranku kacau. Tapi di antara itu semua, ada momen hening dalam batin yang berkata:

      “Kalau Tuhan memang Maha Hadir, mengapa aku mencarinya hanya di sajadah?”

      Pertanyaan itu seperti membuka pintu.

      Aku mulai memandang aktivitas harian yang dulu terasa remeh—menggendong, mencuci, menyuapi—dengan cara baru. Bahwa mungkin, Tuhan tidak menungguku dalam ritual yang tenang, tapi justru hadir dalam hiruk pikuk yang aku jalani dengan sepenuh cinta.

        Aku ingat, pernah seorang teman berkata, “Aku rindu masa-masa bisa berkhalwat. Sekarang, anak terus rewel, rumah tak pernah rapi.”

        Dan aku pun tertawa kecil, pahit. Karena aku juga merindukan itu. Tapi kemudian aku belajar, bahwa khalwat (menyepi untuk Tuhan) tidak selalu berarti menyendiri dalam sepi.

        Bisa jadi, ia justru terjadi dalam kekacauan yang kita hadapi dengan tenang. Dalam kehadiran yang utuh kita berikan pada anak. Dalam kesabaran menahan emosi ketika rewel tiada henti.

        Bukankah kesadaran yang penuh dalam momen—presence—adalah bentuk tertinggi dari dzikir?

          Saat aku menggendong anak yang demam, sambil bergantian menangis bersamanya karena kelelahan, ada bisikan lembut dalam hati:
          “Ini juga bentuk cinta, dan setiap cinta yang kau beri karena Aku, adalah ibadah.”

          Tanganku yang memeluknya, mataku yang terjaga, tubuhku yang remuk—semuanya menjadi bahasa cinta yang mungkin tidak dipahami dunia, tapi dicatat langit.

          Karena sesungguhnya, yang dilihat Tuhan bukanlah bentuk luar, tapi niat terdalam.

          Dan niatku waktu itu hanya satu: menjaga amanah-Nya.

            Dulu aku mengira, ibadah tertinggi selalu terjadi dalam keheningan. Tapi ternyata, Tuhan juga hadir dalam bising. Dalam jerit tangis. Dalam aroma popok. Dalam cucian menumpuk. Dalam dapur yang belum sempat dibersihkan.

            Tuhan tidak menunggu kita di tempat suci. Ia hadir dalam tempat yang kita sucikan dengan cinta.

              Aku teringat kisah Maryam yang mengandung tanpa suami. Ia sendiri, lelah, dan sakit menjelang melahirkan. Ia bahkan berharap bisa mati saja. Tapi saat itulah, Tuhan menghiburnya.

              Itu menyadarkanku: bahwa kehadiran Tuhan tidak selalu datang dalam tawa dan kemenangan. Seringkali, Ia datang dalam detik-detik rapuh kita.

              Saat kita merasa tak berdaya, tapi tetap melangkah.
              Saat kita ingin menyerah, tapi memilih bertahan.
              Saat kita tidak dipuji siapa pun, tapi tetap memberi.

              Di situlah Tuhan hadir—diam-diam, tapi nyata.

                Mungkin benar apa kata para sufi: bahwa Tuhan bisa ditemukan di mana saja, jika hati kita bersih dan sadar. Bahkan di antara tumpukan mainan anak dan piring-piring kotor.

                Yang penting bukan tempatnya, tapi bagaimana kita hadir.
                Yang penting bukan aktivitasnya, tapi bagaimana kita melakukannya.

                Saat menyuapi anak sambil bersyukur. Saat mencuci baju dengan sabar. Saat membersihkan rumah dengan cinta. Bukankah itu juga dzikir?

                  Kini, aku tak lagi menganggap rutinitas rumah tangga sebagai beban yang menjauhkan dari Tuhan. Tapi sebagai ladang zikir diam yang tiada henti.

                  Karena setiap tindakan yang dilakukan dengan cinta dan kesadaran, adalah bagian dari ibadah.
                  Dan setiap ibu yang menjalani hari-harinya dengan keikhlasan, sedang menapaki jalan spiritual yang dalam—meski ia tak sempat menyebutnya begitu.

                    Jika kamu, wahai para ibu, pernah merasa jauh dari Tuhan karena terlalu sibuk mengurus anak—berhentilah merasa bersalah.
                    Tuhan tidak menuntutmu hadir di tempat tertentu. Ia hanya ingin hatimu hadir dalam setiap tindakan.

                    Kamu tidak perlu menjadi seperti orang lain yang tampak lebih religius.
                    Karena bisa jadi, Tuhan lebih dekat denganmu yang bersujud lewat peluh dan air mata, dibanding mereka yang hanya memuja kata.

                      Dan ketika malam tiba, anakmu tertidur di pelukanmu, rumah belum terlalu rapi, tubuhmu lelah—cobalah pejamkan mata sejenak, dan bisikkan:

                      “Ya Allah, aku tidak sempat membaca doa panjang malam ini. Tapi Engkau tahu, hari ini aku mencintaiMu lewat anakku. Lewat kehadiranku yang penuh.”

                      Karena sesungguhnya, di situlah letak ibadah tersembunyi.
                      Ibadah yang tak tercatat di hadapan manusia, tapi harum di hadapan Tuhan.

                      Dan kau, ibu, sedang menjalaninya—setiap hari.[*]

                      Tinggalkan Balasan

                      Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *