Mengikhlaskan Keinginan untuk Dimengerti: Saat Jalan Menuju Tuhan Membuatmu Terasa Asing di Dunia

Deskripsi :
Kadang cinta tertinggi menuntut pengorbanan paling sunyi—rasa ingin dimengerti, diakui, dan dicintai oleh manusia.
CHARACTER LEARNING – Kalimat ini sering terdengar puitis dan spiritual. Tapi ketika benar-benar dijalani, ia menjadi kenyataan yang mengguncang batin. Ada luka dalam prosesnya, ada kehilangan, ada kerinduan yang tak bisa dijawab manusia, dan ada kesepian yang tidak semua orang sanggup memeluknya.
Siapa di antara kita yang tidak ingin dimengerti? Tidak ingin didengarkan, diakui keberadaannya, atau dicintai apa adanya? Sejak kecil, kita tumbuh dengan kebutuhan itu—dipeluk saat menangis, dipuji saat berhasil, dikuatkan saat gagal. Namun ketika seseorang memilih jalan mendekat kepada Tuhan, sering kali justru kebutuhan-kebutuhan itu harus ia lepaskan, sedikit demi sedikit. Bukan karena tidak penting, tapi karena cinta kepada Tuhan sering menuntut tempat yang sepenuhnya bersih, tanpa sandaran selain Dia.
Aku tidak mengatakan ini mudah. Bahkan, jujur saja, ini menyakitkan. Ketika niat sudah lurus, tapi orang lain salah paham. Ketika kau ingin menolong, tapi dianggap mencari muka. Ketika kau menjaga jarak dari dunia, tapi dicap sombong. Ketika kau belajar berserah, tapi justru dianggap menyerah. Di titik-titik seperti ini, kita diuji: apakah kita berbuat demi pandangan manusia, atau demi pandangan Tuhan?
Ada kalanya aku bertanya, “Ya Allah, mengapa terasa sepi sekali?” Bahkan orang-orang terdekat pun seakan tidak mengerti. Tapi kemudian datang bisikan lembut dalam hati, yang tak terdengar telinga namun terasa nyata: “Bukankah Aku cukup bagimu?”
Saat itu, aku terdiam. Lalu menangis. Bukan karena lemah, tapi karena sadar—aku selama ini menggenggam terlalu banyak harapan dari manusia.
Ada satu momen yang sangat membekas dalam hidupku. Ketika aku merasa telah memberi begitu banyak, namun yang kuterima justru adalah penolakan. Aku mencoba menjelaskan, menjernihkan, tetapi tetap saja dianggap salah. Aku ingin membela diri, ingin mengatakan bahwa aku hanya manusia biasa yang juga ingin dipahami. Tapi kemudian aku sadar, apa yang aku kejar sebenarnya? Pemahaman mereka, atau ridha-Nya?
Dalam sunyi itu, aku mulai belajar satu hal penting: tak semua luka harus dijelaskan. Tak semua perjuangan harus diketahui. Tak semua niat harus dipahami. Sebab ada cinta yang hanya tumbuh dalam diam, dan ada kebenaran yang hanya Allah yang tahu.
Keinginan untuk dimengerti, diakui, dan dicintai oleh manusia, adalah fitrah. Tapi fitrah itu bisa menjerat kita jika tidak diarahkan. Kita bisa terjebak dalam lingkaran pengakuan: memoles diri agar terlihat baik, menampilkan wajah terbaik agar disukai, menekan luka agar tetap terlihat kuat.
Tapi di hadapan Tuhan, semua itu tak berlaku. Di hadapan-Nya, tak perlu topeng. Kita datang dengan sebenar-benarnya diri—luka, takut, kecewa, harap, dan cinta yang masih belajar bertumbuh.
Dan ketika kita mulai belajar mencintai Tuhan lebih dari pengakuan manusia, maka pengorbanan itu tak lagi terasa sia-sia. Ya, memang tetap ada tangis, ada rasa sakit. Tapi itu tangis yang membersihkan. Rasa sakit yang memurnikan.
Aku tidak sedang berkata bahwa kita harus jadi makhluk anti-sosial yang mengasingkan diri. Tidak. Tapi ada saatnya, kita harus membiarkan sebagian keinginan itu gugur, demi cinta yang lebih tinggi.
Seperti Nabi Ibrahim ketika harus memilih antara anaknya atau perintah Tuhan. Seperti Maryam ketika mengandung tanpa suami dan dipandang hina. Seperti Rasulullah ketika dimusuhi kaumnya sendiri. Mereka semua, pernah berada di titik paling sepi dalam hidupnya. Tapi justru di situlah, mereka menemukan kemuliaan yang tak diberikan kepada siapa pun kecuali orang yang rela kehilangan segalanya demi Tuhan.
Lalu bagaimana dengan kita? Apa yang sanggup kita korbankan?
Mungkin bukan anak. Mungkin bukan reputasi yang besar. Tapi mungkin, cukup dengan satu hal kecil tapi berat: tidak membalas ketika disalahpahami. Tidak menuntut pengakuan ketika sudah berbuat baik. Tidak mengemis cinta dari manusia, ketika tahu Allah lebih tahu isi hati.
Hari-hari ini, aku masih sering diuji. Kadang ingin marah karena disalahpahami. Kadang ingin menjelaskan segalanya. Tapi semakin aku belajar menahan, semakin aku merasa ringan. Ternyata tidak dimengerti bukan akhir dari dunia. Bahkan dalam ketidakmengertian itu, aku menemukan satu ruang khusus: ruang dialog paling jujur antara aku dan Tuhan.
Ketika tidak ada satu pun yang paham isi hatimu, maka hanya Tuhan yang bisa kau ajak bicara sepenuh-penuhnya. Dan sungguh, itu momen paling intim yang mungkin tidak akan pernah kau alami jika semua orang memujimu.
Apakah ini berarti kita tidak butuh manusia? Tidak juga. Tapi kita tidak menggantungkan kebahagiaan pada mereka. Kita bersyukur ketika dicintai, tapi tidak hancur ketika ditolak. Kita bahagia ketika dipahami, tapi tidak kehilangan arah ketika disalahpahami.
Cinta sejati pada Tuhan adalah cinta yang membebaskan. Membebaskan dari jerat keinginan yang tak pernah habis. Dan justru dalam kebebasan itu, kita bisa lebih jujur dalam mencintai manusia. Tanpa pamrih. Tanpa haus akan balasan.
Aku masih belajar. Kita semua masih belajar. Tapi jika kau hari ini sedang merasa lelah karena tak dipahami, ditolak, atau dicintai sepihak, mungkin ini saatnya menengok ke dalam: barangkali Tuhan sedang mengajakmu lebih dekat. Barangkali ini bukan kegagalan, tapi awal dari hubungan paling murni yang pernah kau punya—dengan Dia yang tak pernah salah paham, tak pernah lelah mencintaimu, bahkan ketika dunia memalingkan wajah.
Dan bila kau bertanya, “Masih layakkah aku mencintai Tuhan, dalam kondisi separah ini?” Jawabannya: “Bukan tentang layak atau tidak. Tapi tentang apakah kau mau datang.”
Karena bagi-Nya, yang datang dengan hati hancur tetap lebih berharga daripada yang sempurna tapi sombong.
Dan pada akhirnya, bila satu-satunya yang tersisa adalah penerimaan Tuhan, maka bukankah itu sudah lebih dari cukup?
Aku ridha meski dunia menolak, selama Engkau menerima.
Dan di sanalah, ketenangan sejati bermula.[*]