Mengorbankan Orang yang Kita Cintai: Melepaskan Ketergantungan Emosional Demi Cinta yang Lebih Tinggi

Deskripsi :

Cinta suci bukanlah keterikatan yang mengekang. Dalam tasawuf, melepaskan ketergantungan emosional adalah wujud cinta tertinggi—bukan karena tak cinta, tapi karena cinta kepada Allah lebih utama.


CHARACTER LEARNING – “Engkau kucintai, tapi cintaku padamu tak menghalangiku mencintai-Nya lebih.”

Kalimat itu tak mudah diucapkan, apalagi dihayati. Tapi setiap kali saya mengingat kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, hati saya selalu tertumbuk di sana. Karena di situlah letak pengorbanan sejati: bukan pada fisik yang ditinggalkan, tapi pada hati yang dimerdekakan dari ketergantungan.

Saya kira sebelumnya saya tahu apa itu cinta. Tapi rupanya banyak dari apa yang saya anggap “cinta”, hanyalah kemelekatan. Hanya rasa takut kehilangan yang dibungkus dengan kata-kata puitis. Hanya rasa ingin memiliki, agar saya tidak merasa sendiri.

Saya pernah begitu takut kehilangan orang yang saya cintai. Orang tua, pasangan, sahabat, anak. Saya kira rasa takut itu wajar, tapi ternyata dalam diam, saya telah meletakkan mereka di tempat yang terlalu tinggi dalam hati saya—bahkan lebih tinggi dari tempat yang seharusnya hanya milik-Nya.


Ketika Cinta Menjadi Ketergantungan

Tidak salah mencintai manusia. Bahkan itu fitrah. Tapi kita perlu jujur: apakah cinta itu murni atau terselubung pamrih? Apakah cinta itu membuat kita lebih dekat kepada Allah, atau justru membuat kita lupa bahwa semua cinta berasal dari-Nya?

Ada cinta yang sehat, dan ada cinta yang menjerat. Yang satu membebaskan, yang satu membelenggu.

Saya pernah mencintai seseorang begitu dalam, sampai merasa hidup saya akan hancur jika ia pergi. Saya menggantungkan kebahagiaan pada senyumnya, tenang karena pelukannya, dan kehilangan arah saat dia diam.

Tapi cinta seperti itu melelahkan. Karena cinta itu diam-diam membangun singgasana di hatiku yang seharusnya hanya dituju pada satu: Allah.


Melepaskan Bukan Berarti Meninggalkan

Kisah Nabi Ibrahim bukan tentang ayah yang membenci anak. Bukan pula tentang ketaatan yang mengorbankan rasa kasih. Justru di situlah letak cinta tertingginya. Karena ia mencintai Ismail, maka ia sanggup mempersembahkannya kepada Allah. Karena ia tidak menggenggam Ismail terlalu erat, maka hatinya tetap utuh saat Allah meminta. Dan karena itu pula, Ismail dikembalikan padanya.

Melepaskan dalam konteks ini bukan berarti menolak cinta, tapi memurnikannya. Kita tetap mencintai, tetap merawat, tetap bersyukur atas kehadiran orang-orang terkasih. Tapi kita tidak lagi bergantung.

Kita tidak mengatakan, “Aku tidak bisa hidup tanpamu.” Tapi berkata, “Aku bersyukur karena Allah menitipkanmu. Tapi jika suatu hari Ia mengambilmu, aku tetap punya-Nya.”


Kemerdekaan Hati adalah Kebebasan Sejati

Saya pelan-pelan belajar bahwa cinta yang dilekati rasa takut kehilangan justru merusak cinta itu sendiri. Karena kita jadi posesif. Kita jadi mudah curiga. Kita jadi tersiksa oleh pikiran “jangan-jangan dia akan pergi.” Padahal cinta seharusnya membahagiakan.

Di sinilah saya mulai mengenal konsep “takhalli”—melepaskan diri dari keterikatan selain Allah. Dalam tasawuf, ini bukan berarti tidak memiliki, tapi tidak melekatkan hati secara absolut.

Ketika saya bisa mencintai tanpa bergantung, maka saya bisa benar-benar hadir dalam cinta itu. Saya tidak mencintai karena saya butuh, tapi karena saya ingin memberi. Saya tidak mencintai karena takut sendiri, tapi karena saya ingin menemani. Dan jika mereka harus pergi, saya tetap punya Allah—cinta yang tak pernah pergi.


Cinta Sejati Membebaskan, Bukan Mengikat

Kadang saya melihat orang tua yang mengikat anak-anaknya dengan cinta yang berat. Anak tak boleh memilih jalan hidupnya, karena “kami sudah berkorban segalanya.” Pasangan yang menuntut, “Kalau kau cinta, maka jangan tinggalkan aku.” Padahal mencintai bukan berarti menggenggam, tapi memberi ruang untuk tumbuh.

Saya mulai sadar bahwa ketergantungan emosional adalah bentuk lain dari keegoisan yang tersamar. Kita mencintai bukan karena ingin melihat mereka bahagia, tapi karena ingin mereka selalu ada untuk menambal kekosongan kita.

Dan mungkin itulah kenapa Allah mengajarkan lewat Nabi Ibrahim: bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang bersedia mengembalikan semua yang kita cintai kepada Sang Pemilik Sejati.


Doa untuk Orang yang Kita Cintai

Kini, setiap kali saya merasa terlalu takut kehilangan orang-orang yang saya cintai, saya belajar untuk mendoakan mereka, bukan menggenggam mereka.

“Ya Allah, aku mencintai mereka karena-Mu. Maka jagalah mereka untuk-Mu. Dan jika Kau ingin mengambil mereka dariku, ambillah dengan cara yang membuatku tetap mencintai-Mu.”

Doa itu sederhana. Tapi bagi saya, itulah bentuk cinta yang paling dalam. Bukan rasa ingin memiliki, tapi rasa ingin menyandarkan segalanya pada Tuhan. Cinta yang tahu bahwa semua yang indah hanyalah titipan. Dan semua yang pergi bukan benar-benar pergi—hanya pulang ke asal.


Penutup: Engkau Kucintai, Tapi Aku Lebih Mencintai-Nya

Saya masih belajar. Masih sering menangis dalam doa karena takut kehilangan. Tapi setidaknya kini saya tahu: saya ingin mencintai dengan benar. Dengan ikhlas. Dengan tidak menggantungkan diri pada makhluk.

Saya ingin mencintai tanpa merampas kemerdekaan orang yang saya cintai. Dan yang paling penting: saya ingin mencintai dengan kesadaran bahwa semua cinta berasal dari-Nya—dan pada akhirnya, akan kembali kepada-Nya juga.

Dan jika suatu hari, saya harus melepaskan, maka semoga hati saya siap seperti Ibrahim:
meletakkan cinta di atas altar, lalu berkata, “Ya Allah, jika ini milik-Mu, maka kembalikan pada-Mu. Hatiku telah rela.”[*]


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *