Mengorbankan Rasa Memiliki dalam Ibadah: Ketika Cinta Tak Lagi Menghitung Telah Berbuat Baik

Deskripsi :
Kadang kita merasa layak dicintai Tuhan karena telah beribadah. Padahal dalam tasawuf, cinta sejati justru lahir saat kita tak lagi merasa punya jasa. Ibadah bukan kebanggaan, tapi penghambaan.
CHARACTER LEARNING – “Aku sudah shalat, sudah berdoa, sudah bersedekah. Kenapa hidupku masih begini-begini saja?”
Pernahkah kalimat itu melintas di hati kita? Tak selalu terucap, tapi terasa. Seolah ada bagian dari diri kita yang diam-diam merasa pantas… merasa telah cukup berbuat baik untuk mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan. Dan saat kenyataan tak sesuai harapan, hati mulai goyah. Kita kecewa, bukan hanya pada hidup, tapi pada Tuhan itu sendiri.
Waktu pertama kali saya menyadari bahwa saya punya perasaan semacam itu, saya merasa malu. Ternyata selama ini saya beribadah tidak benar-benar karena cinta. Tapi karena ingin sesuatu. Dan lebih dalam lagi, karena ingin dianggap telah berbuat baik. Saya ingin merasa menjadi “orang saleh”. Merasa punya andil dalam ibadah saya sendiri.
Ketika Ibadah Menjadi Milik Ego
Dalam tasawuf, ada satu konsep yang sangat halus namun krusial: menanggalkan rasa memiliki atas amal.
Syekh Ibnu Atha’illah menulis dalam al-Hikam,
“Salah satu tanda bersandar pada amal adalah berkurangnya harap ketika jatuh dalam kesalahan.”
Karena orang yang bersandar pada amal, menganggap amal itu miliknya. Bahwa dialah yang sudah “berusaha baik”. Bahwa dialah yang sudah “berkorban banyak”.
Padahal, siapa yang memberi kekuatan untuk bangun malam? Siapa yang memberi waktu luang untuk shalat dhuha? Siapa yang membisikkan taufik dalam hati kita saat ingin membaca Al-Qur’an?
Jika kita jujur, kita akan tahu: bukan kita. Bukan semata-mata kita. Tapi Allah. Bahkan ibadah kita—yang kita banggakan—pun adalah anugerah-Nya. Maka bagaimana mungkin kita bisa merasa pantas karena itu?
Lepaskan Rasa ‘Aku Telah Berbuat’
Tasawuf tidak mengajak kita berhenti berbuat. Tidak. Justru sebaliknya: berbuatlah sebanyak mungkin, seikhlas mungkin. Tapi lepaskan rasa memiliki atas perbuatan itu. Seperti hujan yang jatuh tanpa pernah berkata, “Aku telah menyirami bumi.”
Saya belajar bahwa dalam hubungan cinta yang paling dalam, tidak ada tempat untuk mengungkit jasa. Kita tidak berkata, “Aku sudah cinta, maka cintailah aku balik.” Karena cinta sejati bukan transaksi. Cinta sejati adalah pengabdian yang tetap mengalir meski tidak pernah dipuji.
Dalam konteks ibadah, ini menjadi semakin dalam. Ketika kita sudah bisa shalat, puasa, mengaji, bukan untuk merasa lebih baik dari orang lain. Bukan pula untuk merasa sudah cukup. Tapi justru untuk menyadari betapa lemahnya diri ini tanpa taufik-Nya.
Aku Tak Punya Apa-Apa
Ada satu doa yang sangat saya sukai. Doa yang pelan-pelan mengikis rasa memiliki atas amal:
“Ya Allah, kalau Engkau terima ibadahku, itu karena kemurahan-Mu. Dan kalau Engkau tolak, itu karena kelemahanku. Tapi aku tetap datang. Karena aku tahu, aku tak punya apa-apa selain Engkau.”
Doa ini membuat saya merasa kecil, dan justru di situlah saya merasa lebih dekat. Karena saya tahu, saya tak sedang datang membawa “prestasi”, tapi membawa kerinduan. Bukan “laporan kebaikan”, tapi pengakuan bahwa saya tak bisa hidup tanpa Dia.
Tidak Ada yang Bisa Dibanggakan
Saya pernah iri melihat orang-orang yang ibadahnya terlihat begitu ringan dan konsisten. Dalam hati saya bertanya, “Bagaimana bisa mereka tetap istiqamah seperti itu?”
Tapi lama-lama saya sadar: orang-orang yang benar-benar dekat dengan Tuhan, justru tak pernah merasa dekat. Mereka selalu merasa butuh. Selalu merasa kerdil. Karena semakin dekat mereka dengan cahaya, semakin jelas pula bayangan gelap dalam dirinya.
Orang yang semakin mengenal Allah, akan semakin malu untuk membanggakan ibadah. Karena ia sadar, bahkan ibadahnya pun penuh cela. Ada riya yang tak sengaja. Ada kelalaian yang tak disadari. Ada pamrih yang samar. Maka siapa yang bisa benar-benar berkata, “Aku telah berbuat baik”?
Ibadah sebagai Bentuk Cinta, Bukan Klaim Hak
Ada perbedaan besar antara beribadah karena cinta dan beribadah karena ingin hak. Yang pertama adalah bentuk rindu, yang kedua adalah kontrak.
Saya ingin belajar beribadah seperti seorang kekasih yang diam-diam menyiapkan kejutan untuk orang yang ia cintai. Tanpa mengharapkan apa-apa. Tanpa mengungkit, “Aku sudah membuatkan ini, ya. Jadi kamu harus…” Tidak. Ia cukup bahagia hanya karena bisa memberi. Karena bisa mencintai.
Begitulah seharusnya ibadah. Bukan kewajiban yang membuat kita menuntut hak, tapi karunia yang membuat kita tak berhenti bersyukur.
Hanya dengan Rahmat-Nya
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Tidak seorang pun dari kalian akan masuk surga karena amalnya.”
Para sahabat terkejut, lalu bertanya, “Engkau juga tidak, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab:
“Aku juga tidak, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.”
Jika Rasulullah pun tak bersandar pada amalnya—yang begitu sempurna—lalu siapakah kita yang berani merasa layak karena shalat atau sedekah kita yang sedikit?
Penutup: Cintaku Tak Berharga, Tapi Tetap Akan Aku Berikan
Ya Allah,
aku datang bukan karena aku merasa pantas.
Tapi karena aku tak sanggup jauh dari-Mu.
Aku shalat bukan karena aku ingin disebut baik,
tapi karena aku rindu bersujud dalam sunyi.
Jika Kau hitung ibadahku, mungkin semuanya penuh cela.
Tapi jika Kau lihat hatiku, maka lihatlah:
ada cinta yang selalu berusaha tulus.
Ada cinta yang malu, tapi tetap ingin datang.
Jangan nilai aku dari banyaknya amal,
tapi dari kesungguhan yang terus ingin belajar mencintai-Mu.
Tanpa rasa memiliki.
Tanpa rasa layak.
Tanpa rasa “telah berbuat”.[*]