Menunda Baiat, Menyempurnakan Niat: Kedewasaan Spiritual yang Tumbuh dalam Kesabaran dan Kejujuran Hati

Deskripsi :
Baiat bukan sekadar momen, tapi kesiapan jiwa. Terkadang, menunda bukan berarti menolak, tapi memberi ruang bagi niat yang matang dan cinta yang lebih jernih.
CHARACTER LEARNING – Aku pernah berada di ambang itu.
Ambang ketika seseorang diundang untuk berbaiat—untuk memasuki jalan tarekat yang diyakini akan menuntunnya lebih dekat kepada Tuhan.
Ada haru. Ada takut. Ada getar.
Tapi aku tidak segera melangkah.
Bukan karena tak ingin. Bukan pula karena ragu akan kebenarannya.
Tapi karena aku merasa, ada sesuatu dalam diriku yang belum selesai.
Sesuatu yang masih riuh, yang belum cukup hening untuk mengatakan “ya” dengan sebenar-benarnya.
Di zaman sekarang, langkah spiritual sering digambarkan seperti perlombaan.
Ada yang merasa harus segera “naik kelas” dalam jalan ruhani.
Ada yang tergoda untuk mengaku “sudah sampai” agar tidak tertinggal.
Dan aku pun pernah hampir terjebak di situ.
Hampir mengiyakan ajakan berbaiat hanya karena malu untuk berkata belum siap.
Hampir menipu diri sendiri demi terlihat sudah matang secara batin.
Tapi suara kecil dalam diriku berbisik,
“Jika kau tidak jujur pada dirimu sendiri, bagaimana kau bisa jujur pada Tuhan?”
Baiat bukanlah formalitas.
Bukan sekadar prosesi.
Ia adalah janji.
Ia adalah komitmen antara hamba dan Rabb-nya—dalam bimbingan mursyid yang mewarisi jejak para kekasih Allah.
Dan aku tahu, janji yang tidak lahir dari niat yang jernih hanya akan menyiksa jiwa di kemudian hari.
Seperti menikah hanya karena tuntutan, bukan karena kesiapan mencintai.
Maka aku memilih menunda.
Bukan untuk lari.
Tapi untuk memurnikan niat.
Dalam penundaan itu, aku belajar banyak.
Aku belajar bahwa kesiapan ruhani bukan sesuatu yang bisa dipaksakan.
Ia tumbuh, perlahan, seperti tunas yang menunggu waktu untuk muncul ke permukaan.
Aku mulai memeriksa hatiku.
Apakah aku ingin berbaiat karena ingin lebih dekat kepada Allah?
Atau hanya karena ingin “terlihat” spiritual?
Apakah aku memahami konsekuensinya?
Atau hanya terbawa suasana, ingin cepat-cepat disebut salik?
Waktu berjalan.
Dan selama waktu itu, aku justru merasa dirawat oleh Tuhan dalam kesendirian.
Aku menemukan Tuhan tidak hanya di halaqah-halaqah dzikir, tapi juga dalam kesunyian kamar tidur, dalam sujud panjang yang tak ada saksinya.
Aku merasakan-Nya dalam tangisan, dalam kecemasan, dalam keraguan yang kupeluk dengan jujur.
Aku menangis bukan karena belum berbaiat, tapi karena merasa belum layak menyambut kasih sayang-Nya yang begitu luas.
Tapi, justru di sanalah aku mulai melihat bahwa kerendahan hati itu adalah gerbang.
Bahwa kesadaran akan ketidaksiapan bisa lebih mulia daripada merasa siap padahal masih penuh topeng.
Kesiapan spiritual, ternyata, bukan tentang hafalan kitab.
Bukan tentang berapa banyak wirid yang bisa kita baca.
Tapi tentang apakah hati kita sudah cukup jujur untuk menghadap kepada-Nya tanpa ambisi.
Tanpa berharap disanjung sebagai “murid mursyid.”
Tanpa menjadikan jalur sufi sebagai pelarian dari luka-luka dunia yang belum selesai kita hadapi.
Kadang, orang berlari ke jalan ruhani untuk melupakan dunia.
Padahal, Tuhan justru ingin kita menghadap-Nya dengan seluruh keberadaan kita—termasuk luka-luka itu.
Dan aku mulai memahami,
bahwa menunda bisa menjadi bentuk adab.
Bentuk hormat kepada jalan ini.
Bentuk cinta kepada Tuhan, yang tidak ingin kita dekati dengan tergesa-gesa.
Seperti kekasih yang tidak ingin menemui orang yang dicintainya dalam keadaan kotor.
Bukan karena takut ditolak,
tapi karena ingin memberikan versi terbaik dari dirinya.
Begitu pula aku.
Aku ingin bertemu Allah dengan jiwa yang tahu ke mana ia akan melangkah.
Dengan hati yang tidak sedang terbelah antara dunia dan Tuhan.
Menunda membuatku sadar:
bahwa setiap langkah harus punya ruh.
Setiap dzikir harus punya nyawa.
Dan setiap ikrar harus punya cinta.
Tidak ada yang terlambat dalam jalan menuju Tuhan.
Karena Dia tidak melihat cepatnya langkahmu,
tapi ketulusan niatmu.
Ada orang yang berbaiat cepat dan berjalan tegap.
Ada yang menunda lama, tapi akhirnya melangkah dengan mantap.
Dan keduanya tidak perlu saling membandingkan.
Karena yang dilihat Tuhan adalah kejujuran dalam hati masing-masing.
Pada akhirnya, waktu yang kuhabiskan untuk menunggu itu tidak sia-sia.
Justru di situlah hatiku dibentuk.
Tuhan mengajarku sabar, dalam menantikan saat yang tepat.
Tuhan mengajarku ikhlas, untuk tidak berlomba-lomba menjadi yang “paling sufi.”
Dan ketika akhirnya aku merasa siap,
bukan karena ingin menjadi lebih dari orang lain,
tapi karena ingin menjadi lebih rendah hati di hadapan-Nya—
barulah aku datang dan menyerahkan diri.
Kini, jika ada yang bertanya padaku,
“Kenapa dulu kamu menunda baiat?”
Aku akan menjawab pelan,
“Karena aku ingin memastikan, bahwa aku datang bukan karena ingin terlihat suci—
tapi karena ingin mencintai Tuhan dengan utuh.”
Dan mungkin, dalam dunia yang serba cepat ini,
menunda adalah bentuk perlawanan yang indah.
Perlawanan terhadap kepalsuan.
Dan pengakuan, bahwa kedewasaan ruhani juga butuh waktu.
Baiat bukan garis akhir.
Ia adalah awal perjalanan.
Dan awal itu, seharusnya dimulai dari kejujuran.
Bukan dari ketergesaan, bukan dari ingin diakui,
tapi dari hati yang tahu:
“Tuhan sedang memanggilku. Dan aku datang bukan dengan topeng—tapi dengan jiwa yang siap mencintai.”[*]