Menyusui, Sebuah Tarekat Jiwa: Saat Rasa Lelah, Sakit, dan Cinta Menjadi Jalan Sunyi Menuju Puncak Spiritual

Deskripsi :
Menyusui bukan hanya memberi nutrisi, tapi pengalaman spiritual yang membentuk jiwa ibu—tentang sabar, ikhlas, dan cinta. Sebuah tarekat sunyi yang menuntun hati semakin dekat pada-Nya.


CHARACTER LEARNING – Ada hari-hari di mana aku merasa tubuh ini begitu asing. Payudara yang bengkak, puting yang perih, lelah yang menumpuk dari malam-malam tanpa tidur. Menyusui, katanya, adalah momen yang indah. Tapi tak banyak yang mengatakan betapa menyakitkannya, betapa menguras habis fisik, dan betapa menguji mentalnya.

Namun dari sanalah aku mulai mengerti: menyusui bukan sekadar proses biologis. Ia seperti sebuah tarekat—jalan spiritual yang perlahan-lahan membentuk batin seorang ibu.

    Malam itu, anakku menangis lagi. Belum genap dua jam sejak terakhir menyusu, tapi ia kembali menjerit. Dadaku masih nyeri, tubuhku lelah, dan mataku terasa berat. Tapi aku tahu, ia butuhku. Bukan hanya susu, tapi pelukan, kehangatan, dan rasa aman.

    Sambil memeluknya dan membiarkan ia kembali menyusu, aku memejamkan mata dan berbisik dalam hati:

    “Ya Allah, ternyata beginilah rasanya menyerahkan diri sepenuhnya.”

    Karena menyusui, pada akhirnya, mengajarkan aku tentang fana—tentang meleburkan kepentingan diri demi kebutuhan makhluk kecil yang bahkan belum bisa mengucap terima kasih. Tentang melepas rasa ingin dimengerti demi hanya memberikan. Tentang ikhlas yang tidak diucap, tapi dijalani setiap jam, setiap detik.

      Dulu aku kira perjalanan spiritual selalu berbau sajadah dan sunyi malam. Tapi setelah menjadi ibu, aku menemukan bentuk lain: dalam tangisan bayi dan tetesan ASI.

      Menyusui membuatku sadar bahwa jalan menuju Tuhan bukan hanya melalui bacaan panjang atau puasa sunnah. Tapi bisa juga melalui sakit yang kita terima tanpa protes, kantuk yang kita lawan tanpa pamrih, dan cinta yang kita beri bahkan ketika kita sendiri sedang rapuh.

      Dalam dunia tasawuf, seorang murid tarekat diuji dengan berbagai kesabaran dan kepatuhan. Mereka bangun malam, menahan lapar, dan terus berdzikir dalam diam. Dan kini aku melihat: bukankah menyusui juga begitu?

      Aku bangun malam, bukan untuk tahajud, tapi karena tangisan. Aku menahan lapar, bukan karena puasa, tapi karena belum sempat makan. Aku berdzikir dalam hati, kadang tanpa kata, hanya dengan menghela napas panjang dan mengucap lirih, “Ya Allah…”

      Dan setiap itu, aku merasa seperti sedang berada di jalan yang sunyi. Jalan yang tidak banyak dipahami, tapi justru penuh makna.

        Ada saat-saat aku bertanya, “Sampai kapan begini?” Saat tubuhku rasanya bukan lagi milikku, saat aku merasa kehilangan banyak dari diriku sendiri. Tapi kemudian, aku juga sadar: bukankah setiap perjalanan spiritual memang menuntut hilangnya ego?

        Menyusui mengajariku bahwa tubuh ini bukan milikku sepenuhnya. Ia adalah sarana untuk mencintai. Ia adalah jalan untuk memberi. Dan ketika aku mulai melihat tubuh bukan sebagai beban, tapi sebagai ladang ibadah, segalanya terasa berbeda.

          Aku juga belajar bahwa menyusui bukan hanya tentang ibu yang memberi, tapi tentang Tuhan yang membentuk.

          Aku dilatih untuk sabar, setiap kali bayi menangis tak kenal waktu. Aku diajar untuk tidak mengeluh, saat tubuh lelah dan sendirian. Aku dibentuk untuk lebih hadir, lebih peka, lebih terhubung dengan rasa—bukan dengan logika, tapi dengan nurani.

          Dan justru di situlah, jiwa ini dibentuk ulang. Tidak melalui kitab atau ceramah, tapi melalui pelukan kecil dan isak pelan di dadaku sendiri.

            Aku mulai percaya bahwa Tuhan sedang mendidikku lewat bayi ini.

            Setiap kali aku ingin menyerah, ada bisikan lembut dalam hati, “Sedikit lagi. Ini bukan hanya untuk anakmu, tapi untuk jiwamu juga.”
            Setiap kali aku merasa ditinggalkan dunia, ada keheningan yang berkata, “Kau tidak sendiri. Aku di sini, bersamamu.”

            Dan ya, di tengah kesunyian menyusui, aku merasa paling dekat dengan-Nya. Tidak ada yang bisa mengerti perasaan itu selain ibu-ibu yang pernah menyusui: saat tubuh remuk, tapi hati justru penuh.

            Penuh cinta. Penuh pengorbanan. Penuh harapan.

              Menyusui juga mengajarkan aku untuk pasrah. Karena seberapa keras aku ingin anakku kenyang, ada saatnya tubuh ini tak menghasilkan cukup. Di situ aku belajar bahwa segala sesuatu tetap dalam kendali-Nya.

              Aku boleh berusaha, tapi hasilnya tetap dari Dia. Dan di titik itu, aku belajar tentang tawakal—bukan sekadar konsep, tapi pengalaman.

                Kini aku tahu, mengapa menyusui bisa menjadi jalan tarekat jiwa. Karena di dalamnya, ada semua unsur yang membentuk ruhani:
                Ada sabar.
                Ada ikhlas.
                Ada tawakal.
                Ada cinta tanpa syarat.

                Semua berjalan dalam satu paket, tanpa teori, tanpa seminar. Hanya dalam pelukan antara ibu dan anak.

                Dan di momen itu, tak perlu ada pujian. Tak perlu ada pengakuan. Karena Tuhan sudah mencatat semuanya.

                Untukmu yang sedang menyusui, atau pernah menyusui, aku ingin bilang:
                Kau sedang menempuh jalan yang sunyi, tapi agung.
                Kau sedang berada di tarekat yang mungkin tak terlihat orang, tapi menyentuh langit.

                Jika suatu hari kau merasa tidak cukup baik karena tidak sempat beribadah seperti dulu, ingatlah:
                Kau sedang beribadah dengan bentuk yang berbeda.

                Dan mungkin… ini bentuk yang paling jujur. Yang tak dilihat banyak orang, tapi diam-diam mengubah jiwamu dari dalam.

                  Maka ketika anakmu tertidur di dadamu, dan kamu kelelahan tapi masih bisa tersenyum, katakan pelan dalam hati:
                  “Ini jalanku menuju-Mu, ya Rabb. Terima kasih telah memilihku.”

                  Dan percayalah, dalam setiap tetes ASI dan setiap rasa lelah itu, Tuhan sedang menuliskan cinta-Nya untukmu—dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh hati yang berserah.[*]

                  Tinggalkan Balasan

                  Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *