Perempuan dan Peran Ganda: Antara Tuntutan, Harapan, dan Kewajiban yang Diam-Diam Menguras Energi Jiwa


Peran Ganda yang Kerap Tak Terlihat (Gemini AI)

Deskripsi: Menjadi perempuan sering kali berarti menjalani dua, bahkan tiga peran sekaligus—tapi siapa yang bilang kita harus kuat terus?


CHARACTER LEARNING – Saya pernah duduk di ujung ranjang, masih mengenakan baju kerja, dengan cucian yang belum dilipat, anak yang merengek minta ditemani tidur, dan notifikasi pekerjaan yang terus berdenting di ponsel. Rasanya seperti menarik napas di bawah air—susah dan pendek-pendek.

Sebagai perempuan, saya tak sendirian dalam cerita ini. Banyak dari kita yang—secara sadar atau tidak—menjalani hidup dengan dua, tiga, bahkan lebih banyak peran sekaligus. Pekerja yang profesional di kantor, ibu yang penuh kasih di rumah, istri yang diharapkan tetap lembut dan sabar, anak perempuan yang diminta tetap patuh, sekaligus bagian dari komunitas yang aktif. Semua dijalani seakan tanpa ruang jeda.

Peran Ganda yang Kerap Tak Terlihat

Perempuan sering dipuji sebagai “multitasker alami.” Tapi apakah kita pernah bertanya: apa konsekuensinya?

Saat saya bertanya pada teman-teman perempuan, jawabannya beragam, tapi benang merahnya sama: lelah yang tak terlihat. “Kayak robot yang jalan otomatis,” kata seorang teman. Yang lain bilang, “Aku sampai lupa kapan terakhir kali benar-benar duduk tanpa rasa bersalah.”

Peran ganda bukan hanya soal bekerja di kantor dan mengurus rumah. Tapi tentang ekspektasi tak tertulis yang menempel pada kita: harus tetap tersenyum meski capek, harus bisa semuanya, harus kuat, harus tahan. Padahal, manusia mana yang tak lelah?

Warisan yang Tak Sadar Kita Bawa

Sebagian besar dari kita dibesarkan dalam budaya yang, secara halus tapi konsisten, menanamkan bahwa perempuan “sebaiknya” bisa mengurus semuanya. Dari kecil, kita dipuji saat “menolong mama masak,” diajarkan bahwa perempuan itu harus bisa “ngemong.” Saat dewasa, narasi itu berubah bentuk jadi “kalau bisa kerja, bagus, tapi rumah tangga tetap nomor satu ya.”

Tanpa sadar, kita pun membawa warisan beban itu ke dalam cara kita menjalani hidup. Kita merasa bersalah saat harus memilih, merasa gagal jika tidak bisa sempurna di semua peran.

Padahal, tidak ada manusia yang bisa 100% di segala hal. Dan mengakui bahwa kita lelah bukan tanda kelemahan—tapi keberanian.

Ruang untuk Bernapas

Saya mulai menyadari bahwa saya butuh ruang untuk bernapas. Bukan ruang fisik saja, tapi ruang mental dan emosional untuk mengatakan: saya cukup, meski tidak sempurna. Saya manusia, bukan mesin yang diprogram untuk menyenangkan semua orang.

Membuat batas—walau kecil—adalah salah satu bentuk kasih pada diri sendiri. Saya mulai belajar bilang “tidak,” mulai menetapkan jam tanpa gadget setelah jam kerja, dan memberi ruang bagi diri saya sendiri untuk istirahat tanpa rasa bersalah.

Ternyata, ini tidak mudah. Karena rasa bersalah itu menempel erat. Tapi perlahan, saya belajar melepaskannya. Tidak semua harus dikerjakan hari ini. Tidak semua harus saya kerjakan sendiri.

Mengubah Narasi, Sedikit Demi Sedikit

Kita mungkin tidak bisa langsung mengubah sistem atau ekspektasi sosial yang besar. Tapi kita bisa mulai dari mengubah narasi kecil dalam diri sendiri dan lingkungan terdekat.

Saya mencoba berhenti mengidolakan sosok “perempuan super.” Bukan karena mereka tidak hebat, tapi karena standar itu tidak manusiawi. Kita perlu berhenti menuntut perempuan untuk selalu tangguh. Kadang yang kita butuhkan bukan dorongan untuk “semangat terus,” tapi pelukan hangat dan kalimat, “nggak apa-apa kalau kamu capek.”

Saya juga belajar untuk tidak membandingkan perjalanan saya dengan orang lain. Media sosial bisa menjadi jebakan yang memunculkan ilusi bahwa semua orang baik-baik saja, padahal kenyataannya tidak sesederhana itu.

Dukungan yang Sesungguhnya

Salah satu hal paling menyentuh dalam perjalanan ini adalah saat saya mulai terbuka. Ketika saya berani bilang ke pasangan, “aku capek,” dan dia menjawab, “ya udah, hari ini kamu istirahat aja, biar aku yang urus rumah.”

Dukungan seperti ini bukan datang dari minta dikasihani. Tapi dari komunikasi yang jujur. Kita perlu berani menyuarakan kebutuhan kita, agar orang lain tahu bahwa kita juga butuh dukungan.

Dan sesama perempuan—mari kita rangkul, bukan saling menilai. Kita tidak pernah tahu beban yang sedang ditanggung seseorang hanya dari senyumnya.

Penutup: Hak untuk Menjadi Manusia

Perempuan bukanlah makhluk super. Kita tidak dilahirkan untuk menyenangkan semua orang dan mengurus segalanya. Kita adalah manusia, yang punya hak untuk beristirahat, merasa lelah, bahkan untuk gagal.

Menjalani peran ganda tidak harus selalu dibarengi dengan mengorbankan diri sendiri. Kita boleh berkata cukup. Kita boleh meminta tolong. Dan yang paling penting, kita berhak merawat diri kita sendiri—bukan sebagai bentuk egois, tapi sebagai bentuk keberlangsungan.

Karena sebelum menjadi apa pun, kita adalah manusia. Dan itu sudah cukup.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *