Pernah Jadi Ateis? Mungkin Itu Jalan Sunyimu untuk Mengenal Tuhan Lebih Dalam dan Bukan Sekadar Warisan

Deskripsi :
Kadang jalan menuju Tuhan bukan lewat masjid atau gereja, tapi lewat sunyi, keresahan, dan bahkan keraguan. Mungkin, pernah menjadi ateis adalah gerbang perjumpaan yang lebih tulus dengan-Nya.
CHARACTER LEARNING – Aku ingin memulai tulisan ini bukan dari menara keyakinan yang tinggi, tapi dari lembah keraguan yang pernah kupijak. Sebab, barangkali kamu juga sedang di sana, atau pernah melaluinya. Atau mungkin, seperti aku, kamu pernah diam-diam bertanya dalam hati, “Apa benar Tuhan itu ada? Atau semua ini hanya warisan dari keluarga, dari budaya, dari rasa takut akan neraka?”
Pertanyaan-pertanyaan itu dulu membuatku takut. Bukan karena aku merasa berdosa, tapi karena tak ada tempat aman untuk bertanya tanpa dicurigai, disesatkan, atau dikasih nasihat panjang yang tak menyentuh.
Tapi anehnya, justru di masa-masa itu aku merasa sangat jujur pada diriku sendiri. Aku berhenti mengikuti Tuhan yang diperkenalkan oleh buku-buku atau tradisi, dan mulai mencari Tuhan yang bisa benar-benar aku kenal.
Antara Warisan dan Pencarian
Sejak kecil kita diajari untuk percaya—percaya bahwa Tuhan itu satu, Maha Segalanya, dan bahwa surga serta neraka menanti. Tapi tak semua orang bisa puas hanya dengan percaya karena diajari. Beberapa orang, seperti aku, perlu meruntuhkan dulu semua yang diwariskan untuk tahu mana yang benar-benar miliknya.
Dan dalam proses meruntuhkan itu, aku menjadi ateis. Bukan karena ingin memberontak, tapi karena aku butuh mulai dari nol. Aku butuh meletakkan kembali batu-batu keyakinan bukan di tempat yang diajarkan, tapi di tempat yang aku yakini sendiri setelah mencarinya.
Ada rasa sakit di sana. Rasa sepi. Tapi juga rasa kejujuran yang sulit kujelaskan.
Tuhan yang Kutemukan di Tengah Sunyi
Menjadi ateis bukan hanya soal tak percaya Tuhan. Lebih dari itu, ini soal pencarian makna. Ketika semua doa terasa kosong, ritual terasa hampa, dan surga-neraka hanya seperti dongeng moral, kamu mulai bertanya—apa sebenarnya yang kucari?
Di tengah kekosongan itu, aku menemukan keheningan yang jujur. Tak ada basa-basi. Tak ada perasaan harus terlihat religius. Tak ada upaya untuk terlihat suci. Hanya aku dan pertanyaanku.
Dan anehnya, dari kekosongan itu, aku mulai mendengar sesuatu. Bukan suara dari langit. Tapi kehadiran—yang tak bisa dijelaskan tapi terasa. Bukan dalam bentuk jawaban langsung, tapi dalam bentuk ketenangan. Dalam bentuk kesadaran bahwa aku tak sendirian dalam pencarian ini.
Tuhan yang Tidak Takut Dipertanyakan
Aku belajar bahwa Tuhan yang sejati tidak takut dipertanyakan. Ia tidak akan runtuh hanya karena kita meragukan-Nya. Justru sebaliknya—pertanyaan tulus kita adalah bentuk cinta yang paling jujur.
Bukankah mencintai artinya ingin benar-benar mengenal? Dan mengenal artinya mempertanyakan—dengan rasa penasaran, bukan dengan kebencian.
Dari sana aku belajar bahwa perjalanan spiritual bukan soal percaya sejak lahir dan terus percaya sampai mati. Tapi soal berani tersesat untuk menemukan jalan pulang. Soal berani meruntuhkan agar bisa membangun yang lebih kokoh.
Dari Tidak Percaya Menuju Percaya yang Lebih Dalam
Kini, aku percaya pada Tuhan. Tapi bukan karena takut neraka atau karena ingin pahala. Aku percaya karena aku pernah tak percaya. Karena aku pernah merasakan hidup tanpa arah, tanpa makna, tanpa kehangatan iman.
Dan ketika aku kembali pada doa, ia tidak lagi terasa sebagai kewajiban. Tapi sebagai kebutuhan. Ketika aku menyebut nama-Nya, bukan lagi karena rutinitas, tapi karena rindu.
Aku tidak lebih suci dari siapa pun. Aku hanya ingin jujur bahwa terkadang, kehilangan iman bukan tanda kehancuran, tapi mungkin bagian dari penyucian. Mungkin, kita memang harus tersesat dulu untuk benar-benar memahami apa artinya pulang.
Jika Kamu Sedang Ragu, Tenang Saja
Jika kamu membaca ini dan sedang berada dalam fase tak percaya, aku ingin bilang: kamu tidak sendirian. Kamu tidak harus pura-pura kuat. Tidak harus berpura-pura yakin.
Tuhan tahu isi hatimu, bahkan sebelum kamu tahu. Dia tahu luka-luka yang membuatmu ragu, dan Dia tak membenci itu. Dia hanya ingin kamu mencari-Nya dengan jujur.
Dan mungkin, jalanmu memang harus melewati lembah itu. Bukan untuk selamanya tinggal di sana, tapi untuk tahu betapa hangatnya cahaya ketika akhirnya kamu kembali menemukannya.
Penutup: Iman yang Dipilih Sendiri
Iman yang tumbuh dari keraguan kadang justru yang paling kuat. Karena ia bukan hanya hasil pewarisan, tapi hasil pencarian.
Maka, jika kamu pernah jadi ateis, atau masih berada di titik itu, jangan merasa hancur. Jangan merasa gagal. Mungkin, itu bagian dari perjalananmu. Bagian dari cara Tuhan membuatmu benar-benar mengenal-Nya—bukan dari kata orang, tapi dari pencarianmu sendiri.
Dan ketika kamu sampai di sana, kamu akan tahu… bahwa ternyata Tuhan tidak pernah benar-benar jauh. Dia hanya menunggumu berhenti pura-pura tahu, dan mulai benar-benar mencari.[*]