Pernah Meremehkan Agama? Ternyata Justru dari Kejatuhan Itu, Rasa Ingin Mengenal Tuhan Tumbuh Diam-diam

Deskripsi: Kita pernah menyepelekan agama—menertawakan, menjauh, bahkan marah. Tapi justru di titik kosong itu, muncul rasa haus akan makna, dan dari sanalah jalan pulang kepada Tuhan perlahan terbuka.

CHARACTER LEARNING – Saya pernah berada di titik itu—titik di mana saya merasa agama hanyalah kumpulan aturan yang membatasi kebebasan berpikir. Saya merasa cukup dengan menjadi orang baik tanpa harus terikat pada serangkaian ibadah yang terasa kaku. Saya berkata pada diri sendiri, “Selama aku tidak menyakiti siapa-siapa, itu sudah cukup, kan?” Tapi ternyata, itu hanya pembelaan. Pembelaan dari hati yang bingung, yang pernah kecewa, dan mungkin—tanpa saya sadari—sedang mencari jalan pulang.

Saya tidak bangga dengan masa itu, tapi saya juga tidak ingin menghapusnya. Karena dari situlah saya belajar bahwa bahkan jarak dari Tuhan pun bisa menjadi bagian dari proses mendekat. Bahkan keraguan pun bisa menjadi jembatan yang mengantar pada keyakinan yang lebih utuh.

Awalnya Bukan Benci, Tapi Bingung

Waktu remaja dulu, saya sering merasa bahwa agama dipakai untuk menghakimi. Ada guru yang terlalu keras, ada ceramah yang menyalahkan tanpa memberi ruang tanya, ada teman yang merasa lebih suci hanya karena ibadahnya terlihat lebih sempurna. Lalu saya mulai bertanya-tanya: ini agama, atau aturan manusia? Ini jalan kebaikan, atau sekadar persaingan rohani?

Dari kebingungan itu, muncul rasa menjauh. Bukan karena saya membenci Tuhan, tapi karena saya belum mengerti siapa Dia sebenarnya. Saya tidak menolak keberadaan Tuhan. Saya hanya tidak mengerti cara mengenal-Nya. Dan dunia yang menyuguhkan agama sebagai hal yang “harus tunduk dan taat” tanpa ruang diskusi, membuat saya makin menjauh.

Saya mulai memilih hidup dengan “nilai-nilai umum” saja: jujur, bertanggung jawab, tidak menyakiti. Tapi tetap saja, ada lubang yang tak terisi. Ada malam-malam hampa meski dunia terlihat baik-baik saja. Ada suara kecil yang bertanya: “Benarkah ini cukup?”

Lelah yang Membuka Pintu

Titik balik itu datang bukan dari ceramah yang menggelegar. Bukan dari buku agama yang tebal. Tapi dari kelelahan. Dari rasa hampa. Dari malam-malam ketika saya merasa hidup berjalan cepat tapi kosong. Seolah saya punya segalanya tapi kehilangan makna.

Saya mulai diam. Merenung. Bukan karena saya jadi saleh, tapi karena saya lelah. Dan dari keheningan itu, ada satu suara lembut yang muncul: “Coba kamu mulai dari mengenal Tuhan, bukan takut pada-Nya.”

Itu titik awalnya. Bukan karena disuruh, bukan karena takut neraka, tapi karena saya ingin mengerti. Saya ingin punya hubungan yang jujur dengan Tuhan, bukan sekadar ritual karena takut dosa.

Ternyata, Agama Itu Bukan Takut, Tapi Rindu

Semakin saya membuka hati, semakin saya sadar bahwa selama ini saya melihat agama hanya dari bingkai sempit. Saya hanya melihat permukaannya, tanpa benar-benar menyentuh jiwanya.

Saya mulai membaca, tapi bukan buku-buku yang langsung mengajarkan halal dan haram, tapi buku-buku yang berbicara tentang Tuhan sebagai kekasih jiwa. Saya membaca kisah para sufi, mendengarkan puisi Jalaluddin Rumi, menyerap kalimat-kalimat Imam Al-Ghazali yang sejuk dan mengajak merenung.

Saya menangis. Bukan karena saya merasa berdosa, tapi karena saya merasa dicintai, bahkan setelah saya menjauh begitu lama. Saya merasa Tuhan tidak marah—Dia hanya menunggu.

Ternyata, agama bukan soal takut dihukum, tapi soal rindu untuk pulang. Dan saya tahu, banyak orang mungkin pernah merasa seperti saya. Merasa agama itu terlalu rumit, terlalu menakutkan. Tapi mungkin kita hanya belum menemukan pintu masuk yang sesuai dengan suara jiwa kita.

Jalan Pulang Itu Tidak Selalu Lurus

Saya tidak langsung menjadi pribadi yang rajin ibadah dan khusyuk setiap waktu. Tidak. Ada jatuh bangun. Ada hari-hari saya masih malas. Ada hari-hari saya masih merasa ragu. Tapi perbedaan besar adalah: kini saya tidak lagi menjauh.

Kini, saya tahu ke mana saya ingin kembali, setiap kali saya tersesat. Saya tahu bahwa Tuhan bukan hanya pengatur, tapi juga penenang. Bahwa agama bukan hanya sistem, tapi juga pelukan bagi jiwa yang letih.

Saya belajar bahwa tidak semua orang punya jalan spiritual yang sama. Ada yang menemukan Tuhan lewat salat malam. Ada yang menemukan-Nya lewat perjalanan sunyi di pegunungan. Ada yang lewat air mata saat kehilangan. Dan ada yang, seperti saya, justru menemukan-Nya setelah pernah meremehkan-Nya.

Jangan Takut dengan Keraguanmu

Jika hari ini kamu sedang merasa jauh dari agama, atau bahkan sinis terhadapnya, saya tidak akan menyalahkanmu. Saya justru ingin bilang: tidak apa-apa. Mungkin itu bagian dari jalanmu. Mungkin itu cara hatimu menguji kejujuranmu sendiri.

Tapi jangan berhenti mencari. Jangan padamkan rasa ingin tahu itu. Karena bisa jadi, rasa ingin tahu itu adalah panggilan. Dan jalan pulang itu akan terbuka pelan-pelan—bukan karena kamu dipaksa, tapi karena kamu memang ingin kembali. Dengan cara yang kamu pahami, dengan langkahmu sendiri, dengan luka-luka yang justru memperhalus hatimu.


Saya menulis ini bukan untuk menggurui, tapi untuk berbagi. Siapa tahu, di luar sana, ada yang sedang berada di fase yang sama seperti saya dulu—menjauh bukan karena benci, tapi karena belum mengerti. Dan jika kamu sedang berada di sana, semoga tulisan ini jadi tanda kecil bahwa kamu tidak sendiri. Bahwa masih ada jalan, dan jalan itu tak pernah benar-benar tertutup.

Tuhan itu sabar. Lebih sabar dari semua yang kita bayangkan. Dan cinta-Nya… bisa datang bahkan di saat kita sedang paling tidak layak. Karena ternyata, di balik keraguan, bisa tumbuh kerinduan yang paling tulus. Dan dari rasa meremehkan itu, bisa muncul rasa cinta yang tak pernah kita duga sebelumnya.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *