Qurban: Bukan Soal Daging yang Sampai ke Langit, Tapi Hati yang Ikhlas dan Takwa yang Mengakar dalam Jiwa

Qurban: Bukan Tentang Daging yang Sampai, Tapi Takwa (Bing Image AI)

Deskripsi :
Qurban bukan tentang berapa kilogram daging yang dibagikan, tapi seberapa dalam kita belajar ikhlas, menyerah, dan bertakwa dari peristiwa penuh makna ini.


CHARACTER LEARNING – Saya masih ingat betul bagaimana suasana Iduladha di masa kecil. Kami bangun pagi-pagi, mengenakan baju terbaik, lalu berbondong-bondong ke masjid bersama keluarga dan tetangga. Setelah salat, kami menanti prosesi penyembelihan hewan kurban. Bagi anak-anak, momen itu mungkin lebih tentang kehebohan: melihat sapi besar ditarik, kambing digiring, dan daging yang nanti akan dibagikan. Tapi, di balik itu semua, ada pelajaran sunyi yang mulai saya pahami seiring bertambahnya usia: qurban bukan tentang daging yang sampai ke tangan manusia, tapi takwa yang sampai ke langit.

Allah sudah menegaskan dalam Al-Qur’an: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu-lah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)

Kita tidak sedang memberi Allah sesuatu. Kita sedang diajari untuk memberi hati kita sendiri.


Bukan Tentang Jumlah, Tapi Tentang Jiwa

Bukan hal yang salah bila kita bergembira saat berkurban. Bahkan bagus jika kita bisa memberikan hewan terbaik. Tapi kadang, tanpa sadar, fokus kita bergeser. Kita sibuk menghitung berapa sapi yang dikurbankan, berapa banyak daging yang dibagikan, siapa yang menyumbang paling besar, siapa yang tak ikut, siapa yang seharusnya bisa tapi tidak mau. Padahal qurban sejatinya bukan kompetisi sosial atau ajang gengsi. Ia adalah panggilan batin, sebuah pelatihan untuk menyerahkan yang kita cintai kepada Yang Lebih Mencintai.

Takwa tidak bisa ditimbang dalam kilogram, tidak bisa dikalkulasi dengan kamera atau pujian. Ia hidup di dalam hati—diam, namun nyata.


Belajar dari Ibrahim dan Ismail

Setiap kali merenungkan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, saya merasa seperti disiram oleh cahaya kesadaran baru. Betapa luar biasanya keikhlasan yang mereka tunjukkan. Ibrahim diminta untuk menyembelih anak yang telah ia tunggu bertahun-tahun. Ismail pun tidak menolak, bahkan berkata: “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan.”

Itu bukan soal darah dan pisau. Itu tentang cinta yang naik tingkat: dari cinta pada anak menuju cinta yang tertinggi kepada Allah.

Dan pada akhirnya, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba. Pesannya jelas: Allah tidak butuh darah Ismail. Tapi Allah ingin melihat, apakah hati Ibrahim dan Ismail masih milik dunia, atau sudah sepenuhnya milik-Nya?


Apa yang Kita Sembelih Hari Ini?

Di zaman sekarang, kita mungkin tidak diminta menyembelih anak kita. Tapi pertanyaannya tetap relevan: apa yang kita sembelih hari ini?

Mungkin ego kita.
Mungkin rasa kepemilikan yang berlebihan terhadap harta.
Mungkin amarah yang tak perlu dipertahankan.
Mungkin waktu yang lebih sering kita habiskan untuk dunia, tapi enggan kita serahkan pada Allah.

Qurban adalah tentang “mengorbankan”. Tapi bukan sekadar fisik. Ia adalah latihan spiritual untuk membuktikan bahwa kita sanggup melepaskan demi sesuatu yang lebih besar.


Qurban Bukan Hanya Sekali Setahun

Banyak orang berpikir bahwa qurban hanya terjadi setahun sekali. Tapi sebenarnya, semangat qurban bisa hadir setiap hari. Setiap kali kita ikhlas memberi, setiap kali kita menahan diri dari kemarahan, setiap kali kita memilih untuk taat meski tidak mudah—di situlah kita sedang berqurban.

Saya pernah bertemu seorang teman yang selalu mendahulukan kebutuhan orang lain, bahkan ketika dirinya sendiri kesusahan. Saya tanya, “Kenapa kamu selalu seperti itu?” Ia menjawab, “Karena aku merasa hidup ini bukan tentang aku saja. Setiap kali aku memberi, aku merasa lebih dekat dengan Allah.”

Jawaban itu membuat saya berpikir lama. Mungkin itulah esensi qurban: pengorbanan kecil yang menumbuhkan kedekatan besar dengan Allah.


Saat Daging Dibagikan, Jangan Lupa Hati Juga Harus Ikut Berbagi

Ada satu momen yang sering terlewatkan. Ketika daging dibagikan, kita sibuk dengan teknis: siapa dapat apa, berapa banyak, bagaimana mengemasnya, dan lain-lain. Itu penting, tentu saja. Tapi semoga di balik itu, kita juga ikut “berbagi hati”.

Berbagi hati berarti meniatkan semua itu sebagai ibadah. Berbagi hati berarti tidak mengungkit-ungkit, tidak membedakan siapa yang layak atau tidak. Karena dalam pandangan Allah, yang sampai bukan dagingnya, tapi niatnya.

Dan hati yang ikhlas, meski tak terlihat, selalu sampai kepada-Nya.


Menjadi Hamba yang Belajar Melepaskan

Saya pernah merasa berat untuk memberi. Berat untuk membantu. Berat untuk menyisihkan waktu. Tapi saat saya mulai belajar dari kisah Ibrahim, saya sadari: iman itu dibuktikan bukan di dalam lisan, tapi dalam tindakan yang kadang menyakitkan.

Kita tidak akan pernah bisa menjadi pribadi bertakwa kalau tidak siap melepaskan. Melepaskan bukan berarti kehilangan, tapi menunjukkan siapa pemilik sejati dari apa yang kita genggam.

Kadang, qurban itu bukan tentang memberi sesuatu yang besar. Tapi tentang membesarkan keikhlasan dalam hati.


Penutup: Qurban Itu Tentang Menyentuh Langit dengan Takwa

Kita bisa membeli sapi terbaik, kambing termahal, bahkan mengirim hewan qurban ke luar negeri. Tapi semua itu tak ada artinya jika hatinya kosong. Qurban sejati bukan tentang daging yang sampai ke tangan orang lain, tapi tentang takwa yang menyentuh langit.

Mari kita jadikan Iduladha bukan sekadar ritual tahunan, tapi momen pembelajaran spiritual. Kita belajar tentang ikhlas, tentang melepaskan, dan tentang bagaimana menjadi hamba yang tak hanya taat secara lahir, tapi juga tulus secara batin.

Karena pada akhirnya, yang Allah lihat bukan seberapa banyak daging yang kita berikan, tapi seberapa besar ketundukan dan cinta kita pada-Nya.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *